Makoto bangun jam 4 subuh. Berkutat di dapur setelah sholat, Himarin melarangnya memasak.
"Aku pingin masak buat Aoi ma," ucap Makoto memelas. Ternyata masak tak semudah yang ia pikirkan.
Dan Makoto memilih nasi goreng karena paling mudah. Tapi bumbunya ia tidak tau.
"Udah, mama aja yang masak. Ntar keasinan lagi, mending kamu nyapu rumah dulu ya. Sana," ujar Himarin lembut.
Makoto menggeleng. "Mama masak nasi goreng kok enak? Bumbunya apa sih ma?" tanya Makoto kepo.
"Kalau itu rahasia. Udah sana nyapu, kalau mama yang masak pasti nagih mau lagi," ucap Himarin bangga. Hanya kali ini Makoto mau ke dapur, sebelumnya tak mau karena terciprat minyak goreng yang panas.
"Apa di goreng sama minyak juga ma?"
Anaknya ini terlalu banyak tanya. Tapi lucu, Himarin suka itu.
"Iya. Nanti kamu kecipratan lagi mau? Panas loh," sengaja Himarin bohong, Makoto masak dapur sudah bukan lagi dapur, tapi pasar.
Makoto bergidik ngeri. Se-menyeramkan itu ya masak nasi goreng daripada yang lain.
Setelah beberapa menit, Himarin selesai membuat nasi goreng ala keluarga Anekawa. Apalagi di tambah toping sosis.
Makoto mencium aroma nasi goreng. Seperinya sudah selesai. Ia tak sabar ingin mencicipi rasanya.
Saat di dapur, di meja makan sudah ada menu nasi goreng dan bekal merah muda cantik.
"Ma, kok merah muda?" siapa tau di sekolah nanti ada yang melihatnya bawa bekal merah muda, turun sudah gelar cool dan macho-nya.
"Ini buat Aoi. Kamu mandi dulu sana. Bau asem," Himarin menutup hidungnya.
Makoto cemberut. "Wangi kok. Mama pilek kali,"
"Mandi, atau bekalnya mama kasih ke ayahmu," ancam Himarin.
"Iya-iya nih mau mandi," jangan sampai bekal itu jatuh di tangan ayahnya.
Setelah selesai mandi dan bergaya cool, semprot parfum sana-sini, pelicin rambut tambah macho. Makoto tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin.
Makoto menuruni tangga dengan tergesa. Rasanya tak sabar ingin memberikan bekal itu kepada Aoi.
Keluarga Anekawa sudah berkumpul sarapan di meja makan. Ada Junya Anekawa ayah Makoto, Himarin Hanazono, dan Syougo Anekawa. Adiknya itu juga satu kelas dengan Aoi.
Syougo menatap Makoto datar. Kakaknya itu selalu bergaya, apalagi kacamata kuno yang melekat iti sebagai ciri khas.
"Tumben lebih rapi daripada biasanya. Mau kemana?" tanya Syougo heran.
"Mau ketemu Aoi. Biasalah, biar tambah deket sama calon istrinya," jawab Himarin.
"Aku berangkat duluan aja ma. Mau jemout Aoi dulu, nanti Tuan Amschel marah," Makoto salim dan pamit pada Himarin dan Junya.
"Hati-hati. Jangan lupa, gombalin Aoi," Himarin memberikan bekal nasi goreng itu.
Makoto mengangguk. "Siap ma!" rasanya tak sabar bertemu Aoi, andai ia bisa teleportasi langsung ke mansion Rotschild yang menempuh 20 menit perjalanan.
***
Saat Makoto sampai di mansion Rotschild, Aoi duduk di ayunan menunggunya dengan wajah masam.
Makoto tersenyum. "Ciee yang nungguin," godanya menoel pipi Aoi.
Aoi menepis tangan Makoto yang nakal itu. "Apaan sih, cepet berangkat sekarang. Gue gak ada waktu ya," tegasnya ketus.
Makoto memberikan bekal merah muda itu.
"Dari mama. Kalau perlu aku suapin sekarang. Lagian masih belum jam enam. Gak ada salahnya kita santai dulu," Makoto duduk di sebelah Aoi.
"Kenapa harus di suapin?"
Karin memanggil Aoi tak ada sahutan, hingga ia mendapati anak semata wayangnya itu duduk berdua dengan Makoto. Di lihat begini kan adem.
"Aoi! Black card ketinggalan. Suka lupa sih, mau kamu gak jajan di sekolah?"
Aoi tersenyum, akhirnya ada sang mama yang bisa menyelamatkan moment awkard ini.
"Makasih ma. Aoi buru-buru ni. Piket kelas," Aoi meraih black card pribadinya itu.
"Kayaknya Makoto udah mulai suka sama kamu," ucap Karin membuat Aoi tersenyum kikuk.
"Aoi berangkat ya ma. Bye bye!" Aoi melambaikan tangannya. Karin hanya membalas senyum kalemnya.
Saat di dalam mobil, Makoto memaksa Aoi makan dengan syarat dirinya yang menyuapi.
"Udah gue bilang gak laper! Kok maksa sih?" ketus Aoi kesal. Selembar roti saja sudah cukup mengganjal perutnya.
"Makan sekarang, atau aku cium disini," tegas Makoto. Sedikit ancaman membuat Aoi terdiam mematung. Kelemahannya ini toh.
Aoi membuka mulutnya. "Dikit aja, gue gak suka makan banyak-banyak," ujarnya.
"Yakin? Awas aja ya kalau di habisin. Aku cium pipi kamu yang gembul itu," Makoto menyukai pipi Aoi yang menggembung, persis seperti ikan buntal.
Suapan pertama saja Aoi ingin menghabiskan nasi goreng itu. Tapi gengsi, karena Makoto akan menyentuh pipinya. Tidak bisa di biarkan, pipinya ini harus aman dari tangan nakal pria bermata empat itu, alias berkacamata.
"Tambah lagi. Aku tiba-tiba lapar," ucap Aoi beralasan.
"Oh ya?" Makoto tak percaya. "Palingan kamu mau lagi kan? Hayo ngaku," Makoto menoel pipi gembul itu. Ingin ia gigit tapi sadar, belum waktunya.
"Gak! Ya udah. Biarin aja gue sakit, sekalian aja ma-emm" mulut Aoi di bungkam.
"Sstt, ngomongnya gak boleh gitu. Aku suapin lagi, gak usah gengsi kalau mau lagi Aoi. Bilang aja, di pendam terus itu gak enak loh," entah sejak kapan Makoto berbicara panjang lebar. Intinya karena Aoi.
"Y" singkatnya cuek.
Makoto menyuapi Aoi dengan telaten. Nasi goreng buatan mamanya habis. Aoi sangat doyan.
"Kalau berani nyubit pipi gue, siap-siap aja gelud sama Aoi Mianami Rotschild," dengan senyum licik, Aoi tidak takut dengan Makoto. Kalau pria itu macam-macam, tinggal menelepon ayahnya saja sudah beres. Biar di batalkan perjodohan ini.
"Silahkan. Cewek itu feminim, bukan suka berantem," Makoto mencapit hidung Aoi gemas. Cewek si hadapnnya ini tidak ada sisi jinaknya, selalu saja ngegas dan marah-marah.
Aoi menepis tangan Makoto. "Ok. Gue turun aja, mending jalan kaki daripada bareng sama cowok genit," Aoi membuka pintu mobil, untung saja tidak di kunci seperti waktu itu.
Makoto mengejar langkah Aoi. Cewek itu mudah ngambek dan badmood.
"Sayang. Jangan marah dong," Makoto meraih tangan Aoi.
Di panggil sayang sembarangan membuat Aoi melotot.
"Sayang-sayang. Nih, makan sayangnya!" Aoi menginjak sepatu Makoto. Pria itu mengadu kesakitan.
Aoi gunakan itu berlari sejauh mungkin. Mencari ojekan daripada harus berangkat dengan Makoto.
Sampai di pangkalan ojek, Aoi menyuruh pak ojek langganannya itu ngebut.
"Tapi neng, jalanan lagi macet loh. Yang ada bisa kecelakaan nanti. Pelan aja, yang penting selamat neng," ujarnya menolak secara halus.
"Ya udah. Saya bayar sepuluh kali lipat," tawar Aoi. Ini genting, jangan sampai Makoto berhasil menemukan keberadaannya.
Pak ojek itu mengangguk. Siapa juga yang tidak mau uang sebanyak itu?
Aoi bernafas lega. Akhirnya bisa lepas dari jeratan Makoto.
***
Mau gak jadi ojeknya? Lumayan beli cilok tuh
See you next part...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments