Makoto tersenyum, akhirnya habis juga bubur buatannya. Aoi sangat doyan.
"Kamu istirahat sekarang. Biar besok bisa sekolah lagi," Makoto membenarkan rambut Aoi yang lupa di sisir.
Aoi mengangguk. "Ya udah, sana pulang," usir Aoi ketus.
Makoto menoleh, menatap Aoi. "Yakin nih? Masa gak kangen?"
"Gak! Mimpi aja dulu," Aoi masuk ke dalam rumah, biarkan saja Makoto berdiri sendirian disana.
'Duh tambah gemes deh,' senang? Iya, apalagi menemani Aoi sakit. Sifat galaknya tidak pernah hilang.
***
Aoi sudah siap dengan seragamnya. Akhirnya ia bisa bersekolah lagi setelah dua hari di rumah saja.
Saat ia berjalan menuju meja makan, tidak ada siapapun.
"Ma! Mama!" Aoi berteriak memanggil mamanya. Tumben banget sepi.
"Jam berapa sih?" Aoi menatap arloji di tangannya, masih jam 6.
"Orangnya gak ada, tapi makanannya ada. Aneh," Aoi duduk dan mengambil roti.
Tak lama kemudian...
"Dor!" seru semuanya kompak.
Aoi menoleh ke belakang, jadi mereka mau buat jantungnya copot?
"Ayah? Mama? Kenapa sih suka ngagetin aja," kesal Aoi. Ia masih syok.
Amschel terkekeh. "Ini semua rencana mamamu. Biar kita mau sarapan tuh gak sepi,"
"Ayo di habisin ya. Ayah bakal anterin kamu ke sekolah, gak boleh di tolak. Ya kan yah?"
Amschel mengangguk. "Ayah pingin nganterin kamu ke sekolah sekali aja. Terakhir kali, kamu masih cengeng dan takut sama suara traktor," Amschel meledek Aoi, putrinya itu takut dengan suara traktor, katanya menyeramkan.
"Ayah! Jangan ceritain itu lagi," Aoi malu mengingat masa kecilnya dulu.
Selesai sarapan, Aoi ingin jalan kaki saja. Amschel melarangnya, tapi Aoi berpura-pura menangis.
"Jangan nangis. Ayah gak suka liatnya. Udah, sana berangkat," ketus Amschel, air mata Aoi membuat hatinya sakit. Ia tau putrinya itu sekedar akting.
'Yess, bisa berangkat sendiri!' pekik Aoi dalam hatinya.
***
Makoto baru saja bangun, alarm masih berbunyi.
"Jam berapa sih?" Makoto mengucek matanya.
Jam 06:30 am.
"Apa?!" teriak Makoto panik. Aoi pasti sudah berangkat jalan kaki.
Dengan gerak cepat, Makoto hanya mandi gosok gigi cuci muka main lagi. Bukan saatnya bernyanyi.
Makoto mengabaikan mamanya yang menyuruh untuk sarapan bersama.
Dengan melajukan mobilnya mengebut, Makoto menelepon Aoi. Di angkat. Makoto meminggirkan mobilnya.
"Kamu dimana sekarang?"
"Halo? Tolongin aku, mereka mau-aaa!"
"Aoi? Kamu baik-baik aja kan? Halo?"
Tidak ada sahutan.
Makoto menambah kecepatan mobilnya, ia sudah tau dimana lokasi Aoi. Pasti tidak jauh dari gang itu.
Benar saja, Aoi berusaha memberontak saat dua preman menyeret Aoi di ujung gang.
Makoto berlari, menarik jaket jeans kedua preman itu dan memberikannya pukulan bertubi-tubi.
"Beraninya dengan perempuan. Lebih baik kalian pergi," Makoto menarik Aoi ke dalam dekapannya.
"Kamu gak ada yang luka kan?"
Aoi menggeleng. "Awas!"
Makoto menoleh, pelipisnya terkena pukulan balok kayu. Meskipun tidak terlalu kuat, tetap saja rasanya sakit.
"Kamu lari aja. Nanti aku nyusul," Makoto tak ingin Aoi terluka, lebih baik dirinya saja.
"Berani ya?" dengan amarah yang membuncah, Makoto melayangkan tendangan di perut salah satu preman itu, lalu membalas pukulan rahang preman yang sudah membuat wajah gantengnya ini lebam.
"Ampun. Kita pergi aja. Ayo," preman itu mengajak temannya pergi daripada mati tua.
Makoto mencari Aoi, cewek itu duduk di kursi panjang sendirian. Aoi menangis.
Makoto menghapus air mata itu.
"Kok nangis? Emang kamu di apain sama mereka?"
"M-mereka, mau bawa aku ke hot-el," dengan tersedu-sedu Aoi menjawabnya.
Makoto mengerti. "Oh, jangan nangis lagi. Ayo ke sekolah," Makoto menarik tangan Aoi, tapi cewek itu masih duduk.
Aoi menggeleng. "Gak mau. Gue bolos aja hari ini. Gue gak mood buat sekolah," ia masih terbayang-bayang bagaimana kedua preman itu hampir membuka kancing seragamnya dengan leluasa.
Aoi menatap wajah Makoto yang ada lebamnya. Apakah itu sakit?
"Lo terluka. Gak di obatin dulu?" tanya Aoi khawatir.
"Obatinnya di elus kamu ya?" Makoto tidur di pangkuan Aoi. Ia meraih tangan Aoi mengusap lukanya yang terasa perih itu.
"Kenapa jadi di elus? Emang bisa sembuh?" tanya Aoi sedikit ragu, apa hanya sekedar modus saja?
Makoto mengangguk pelan. "Bisa, tangan kamu ajaib. Bisa nyembuhin apa aja. Termasuk luka dan kangenku," gombalnya, mulai lagi deh.
"Iya-iya. Nih gue elus, sekalian aja di tampar biar tambah parah," kesal Aoi, tapi tangannya membelai pipi Makoto yang membiru.
"Jadi adem. Tangan kamu juga wangi, baru mandi ya?" tebak Makoto, biasanya tangan cewek kadang berbau bawang, terasi dan bumbu dapur lainnya.
"Masa gue gak mandi? Emangnya lo bangun tidur cuman cuci wajah aja?" tanya Aoi balik tapi nyelekit di hati.
Makoto tidak marah. Malah ia semakin gemas, kapan ya Aoi bisa jadi cewek feminim yang kalem?
"Kok tau sih? Ngintip ya? Hayo ngaku," Makoto menoel pipi Aoi.
Aoi menyingkiran tangan nakal Makoto. Apa tadi? Ngintip?
"Mending gue ngintip kambing mandi daripada lo. Ogah banget," Aoi menatap lurus, mata Makoto itu membuatnya tak berkedip. Mata sipit, dan berlensa coklat madu membius pesona siapa saja. Termasuk dirinya.
"Masa kita disini terus? Gak jalan-jalan gitu?"
Benar juga, Aoi lama-lama bosan duduk saja.
"Kita ke amusement park yuk?" Aoi tau tempat bermain yang pas, apalagi disana ada boneka teddy bear yang menari.
"Boleh, aku gak pernah kesana. Tapi kali ini sama cewek galak," sedikit menyindir, Makoto melirik Aoi yang menatapnya tajam.
"Ayo. Malah melototin aku, gak copot tuh matanya?"
"Boleh," Aoi mengangguk. "Gue yang akan takut-takutin lo," ia ingin mengerjai Makoto.
Tak ingin berdebat, Makoto meraih kepala Aoi dan ia piting.
"Gak baik kita berantem terus. Akur sekali-kali dong, biar rumah tangga kita-aww" Makoto meringis, Aoi menginjak kakinya.
"Gak usah mimpi deh. Nikah aja belum," tanpa sadar Aoi meminta kode kepada Makoto cepat-cepat menghalalkannya.
Makoto diam-diam menggendong Aoi. Cewek itu berteriak tak bisa diam. Untungnya jalanan sepi.
"Kamu kalau di sana naik apa? Roller coaster?" Makoto tidak takut, tapi demi Aoi senang ia pura-pura takut.
"Maunya jet coaster. Lebih seru tau. Terus aku mau-"
Makoto melihat Aoi melalui spion motornya. Rambut Aoi yang di terpa angin memancarkan kecantikannya yang natural.
'Kalau cerewet gini kenapa tambah cantik aja ya? Apalagi matanya, udah bulat kayak onde-onde, warna biru saphire, pakai maskara gak ya? Lentik banget bulu matanya,' Makoto meneliti setiap inchi wajah Aoi, kalau tomboynya di hilangkan dan berubah feminim mungkin Aoi akan anggun.
"Woy! Berhenti! Udah sampai di amusement park tau!" Aoi memukul bahu Makoto berkali-kali.
Makoto tersadar. "Iya ya? Kita beli makanan dulu aja yuk," Makoto menggandeng tangan Aoi, awalnya cewek itu tak mau dan mengomel terus-terusan.
"Mau kamu hilang disini?"
Aoi menggeleng. "Gak lah. Apalagi aku gak terlalu tau jalannya," menyeramkan juga jika hilang di amusement park, orang yang berlalu-lalang saja terlihat tak peduli.
Ponsel Aoi berdering.
"Ayah nelepon nih. Pasti gue bakal di marahin karena bolos," Aoi ragu mau menjawabnya atau pura-pura membiarkan saja.
"Angkat aja," Makoto akan ikut menjelaskan. Pasti Tuan Amschel dengan senang hati mengizinkannya.
"Kenapa hari ini tidak masuk sekolah Aoi? Ayah tau karena kamu tidak absen finger print. Kepala sekolah yang memberitahu ayah," Amschel marah, apalagi Aoi baru sekali bolos sekolah.
"Maaf yah. Aku-"
Makoto mengambil alih ponsel Aoi, mengatakan bahwa ada masalah yang tidak bisa di atasi.
"Apakah preman itu sudah mati?" tanya Amschel dingin.
"Tidak Tuan, mereka kabur. Tapi Aoi tidak apa-apa. Aku akan mengantarnya pulang sekarang," Makoto mematikan sambungan.
"Kok pulang sih? Gue pingin nyobain wahana disini!" Aoi merajuk. Lagipula di rumah sangat bosan.
"Kamu harus pulang. Kita bisa kesini lain kali aja. Ayo naik," Makoto mengulurkan tangannya, Aoi pendek.
'Huh, ayah gak seru. Mau main aja di suruh pulang,' batin Aoi kesal.
***
Lebih seru amusement park daripada park-nya sendiri. Di park cuman ada perosotan aja, ada Yuta sama Mio main disana.
See you...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments