Aoi tidak bisa tidur. Entah kenapa pikirannya bermasalah, selalu ada Makoto yang menjadi bayang-bayangnya.
"Kenapa mikirin dia sih? Bikin orang susah tidur aja," teriak Aoi frustasi. Untung saja kamarnya kedap suara, kalau tidak orang tuanya pasti khawatir.
Entah kenapa tubuhnya panas, mulai bersin-bersin dan pusing.
"Pasti gara-gara kehujanan," Aoi menarik selimut sebatas dada, mencoba tidur meskipun sangat sulit.
***
Makoto sudah lebih sehat dari sebelumnya. Saatnya bersemangat menjemput Aoi.
Saat sampai di rumah, Karin mengatakan Aoi sedang sakit. Tentu saja dirinya siaga jika calon istrinya itu sakit.
Aoi tidur dengan wajah damainya. Makoto saja yang melihat itu terasa adem.
"Kalau tidur aja kayak putri salju yang nunggu pangerannya datang. Sekarang udah ada disini loh. Yakin gak mau bangun?" Makoto mengajak Aoi bicara, entah cewek judes itu dengar atau tidak.
Aoi merasa terganggu dengan suara Makoto.
"Apa sih? Kok lo ada disini?" tanya Aoi terkejut. "Sana, ke sekolah. Masa guru bolos," sindirnya ketus.
Makoto menggeleng. "Kamu sakit. Gak semangat aku disana sendirian," ucapnya cemberut.
"Udah makan sama minum obat?" Makoto mengecek dahi Aoi, masih panas.
Aoi menggeleng. "Pahit. Gak mau," apalagi nasi yang rasanya manis pun bisa pahit kayak di tinggalin gitu aja.
"Aku buatin kamu bubur sama teh anget ya? Tunggu sebentar my princess," Makoto berlalu menuju dapur.
Aoi tersenyum. Makoto sangat perhatian.
"Gimana kalau nikah nanti ya? Pasti di masakin apa aja hehe," Aoi terkekeh, sudah gila memang. Tak apa, mumpung mamanya tidak lihat.
Sambil menunggu Makoto selesai membuatkan bubur, Aoi membaca novel digital di laptop. Lebih luas saja, Aoi sangat fokus dan terbawa suasana. Sampai matanya berkaca-kaca.
"Kenapa sih ceweknya mau aja di bohongi? Udah tau cowoknya selingkuh masih aja di pertahanin!" omelnya kesal. Menyalahkan laptop dan cerita itu. Kata laptop, apa salahku sampai kau tega memarahiku Aoi? Sayangnya laptop benda mati.
Makoto melongo melihat Aoi menangis di depan laptop.
Makoto meletakkan nampan di nakas. Menghampiri Aoi, apa menangis gara-gara pacarnya?
"Kok nangis? Kenapa?"
Aoi menunjuk laptopnya sebagai tersangka utama.
"Ceweknya mau aja di selingkuhin. Kalau gue jadi dia, mending selingkuh duluan. Biar tau rasa gimana rasanya sakit tak berdarah," ucap Aoi menggebu, menatap laptopnya seperti api yang perlu di siram air.
"Ayo makan. Percuma kamu marah-marah, yang ada kamu tambah sakit," Makoto mengambil nampan yang ada bubur dan teh hangat ala Makoto.
"Ayo buka mulutnya. Biar cepet sembuh," baru kali ini dirinya sangat perhatian dengan seorang perempuan, dan itu Aoi.
Aoi menurut. "Habisnya jadi-"
"Sttt, udah makan. Jangan ngomong dulu. Nanti keselek cintaku gimana?"
Aoi memukul bahu Makoto kesal. "Apa sih? Mulai deh gombalnya," tapi bibirnya tersenyum.
"Kamu aja senyum. Berarti seneng dong kalau aku gombalin?" entah sejak kapan dirinya bisa romantis, sebelumnya masa bodoh dengan cinta dan wanita.
"Wah seneng banget ya? Mama boleh gabung gak? Kayaknya seru," Karin yang sedari tadi menguping penasaran, sepertinya Aoi sangat cocok dengan Makoto.
"Boleh banget ma. Ini Aoi doyan banget sama masakan saya, katanya mau lagi," ucap Makoto, berbeda fakta sebenarnya Aoi tidak suka makan bubur. Tapi menghargai Makoto tidak ada salahnya.
"Aoi kemarin habis kehujanan ya?"
Makoto mengangguk. "Emangnya Aoi gak bawa payung atau jas hujan ya ma?"
Karin menggeleng. "Gak mau. Katanya berat, apalagi pelajarannya yang banyak," sudah pernah ia menyuruh Aoi membawa jas hujan atau payung, katanya merepotkan.
Rasanya Aoi terjebak moment awkard. Di tambah lagi kehadiran mamanya, kurang nyaman.
Aoi mencari cara agar Haruka dan Fumie ke rumahnya.
Kebetulan Aoi sedang mengisi daya baterai ponselnya. Sudah penuh. Aoi mengetikkan pesan kepada Haruka.
Anda
Kesini dong, bosen tau. Apalagi sendirian aja di kamar. Ajak Fumie sekalian, yuk kita nonton film bareng-bareng sambil habisin camilan. Saatnya berpesta dong
Tak lama kemudian Haruka membalas pesannya.
Haruka
Siap! Aku sama Fumie siap-siap kabur dari sekolah. Demi rumah kamu rame dan camilan cepet habis, kita rela kok nemenin kamu.
Aoi tersenyum. Dengan adanya Haruka dan Fumie, Aoi bisa memiliki ruang tersendiri tanpa Makoto tentunya.
"Kamu kenapa? Kok berdiri terus?" Makoto mendongak menatap Aoi yang tersenyum sendiri.
"Nyari angin. Disini gerah," Aoi melangkah keluar kamar. Satu ruangan dengan Makoto saja sesak napas, jantung deg-degan. Ia tak tau apa maksud reaksi tubuhnya.
Langkah Aoi menuju halaman rumah. Duduk di ayunan menikmati semilir angin. Rasanya sejuk dan menenangkan hati.
"Andai aja hidup setenang ini," Aoi menghela mafasnya. "Mungkin aku banyak pikiran, jadi sakit begini," Aoi menatap lurus bunga hias milik mamanya yang terawat rapi dan indah itu.
"Haruka! Jangan lari! Jatuh tau rasa hahaha!"
Haruka menoleh. "Makannya jangan gendutan. Jadi lambat kan kalau lari?" Haruka menunggu Fumie mendekat.
Fumie menatap sengit Haruka. Apa tadi? Gendutan?
"Aku kurus tau! Masa di bilang gendut sih? Kamu aja tuh, seragamnya udah gak muat," Fumie tak mau kalah. Lagipula ia paling semangat lari saat pelajaran olahraga daripada Haruka yang mengeluh capek dan panas.
Aoi yang mendegar keributan pun melangkah menuju gerbang depan. Ternyata dua sahabatnya datang.
"Ada apa sih? Ribut banget kalian," rasanya senang Haruka dan Fumie bisa datang secepat ini.
"Eh? Kamu gak istirahat aja? Kok malah keluar?" tanya Haruka khawatir.
"Emang kepalanya gak pusing? Udah mendingan kan?" Fumie juga khawatir. Aoi jarang sakit, cewek itu sangat menjaga pola makannya.
"Pasti makan yang gak bener nih, jadinya sakit kan," tuduh Fumie marah-marah. Sehari tanpa Aoi di sekolah, siapa lagi yang akan memberikan contekan jawaban? Tidak mungkin kalian bukan?
"Kemarin aku pulangnya kehujanan. Kalian enak udah di jemput. Aku jalan kaki," jawab Aoi bosan.
"Yuk duduk di ayunan aja. Males di dalem, gerah," Aoi beralasan. Yang ada Haruka dan Fumie akan menggodanya, kapan sih Makoto pulang dari rumahnya?
'Ngobrol apa ya kira-kira sama mama? Awas aja ya sampai macem-macem,' batin Aoi was-was. Bisa saja Makoto membahas tentang persiapan nikah dan bulan madu tentunya. Argh! Memikirkannya saja membuat dirinya gila, tidak bisa di biarkan.
"Aoi! Kok ngelamun sih? Kita daritadi diem-dieman loh," Haruka sedikit membentak, Aoi terkejut.
Aoi tersenyum kikuk. "Maaf, kalau aku sakit suka halu," Aoi menggaruk kepalanya yang memang gatal.
"Aoi! Kenapa di luar? Kamu harus istirahat," suara panggilan Makoto itu membuat Aoi ingin menghilang saja sekarang.
"Loh? Kok pak Makoto ada disini?" tanya Haruka bingung.
Makoto membawa bubur. Menghampiri Aoi.
"Kamu tuh harus makan yang banyak terus istirahat biar cepet sembuh," nasehat Makoto perhatian.
"Kayaknya kita pulang aja deh. Bye Aoi," Haruka menarik tangan Fumie, Aoi butuh waktu berdua dengan Makoto.
"Heh! Kok pergi sih? Sini balik!" teriak Aoi, tapi percuma saja dua sahabatnya itu menghilang di balik pagar.
Makoto akhirnya bisa duduk bersebelahan dengan Aoi.
"Aku susah-susah buatin bubur loh, masa gak di makan?"
Aoi mengangguk. "Gue bisa makan sendiri tanpa lo suapin. Gue bukan anak kecil kali," ketusnya meraih mangkok bubur yang sudah dingin itu.
Makoto terkekeh. "Kamu kalau tiap hari marah-marah tambah cantik. Malah melebihi bidadari," gombal Makoto.
"Gak usah makan ah. Males," Aoi menyerahkan bubur itu kepada Makoto.
"Iya maaf. Janji deh gak gombal sebelum nikah, kalau udah sih boleh," Makoto senyumnya tak luntur, dekat dengan Aoi bisa bahagia dan gemas.
Karin yang di ambang pintu hanya tersenyum.
"Semoga kalian selalu bahagia sampai nikah nanti," Karin memejamkan matanya dan berdoa kepasa sang Kuasa, semoga saja.
***
Telat update, mood lagi gak enak. Jadi berpengaruh banget sama tulisan aku.
See you...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Fraha Kaisan Prasetio
ayo semangat Thor..
d'tunggu selanjut'a
2021-04-30
1