Leah Cou
Aku baru saja keluar dari rumah sakit dan berjalan ke halte. Tiba- tiba saja seorang pencuri datang dan menyabet tas yang sedang ku tenteng. Tanpa ragu-ragu segera mengejarnya hingga dia masuk ke gang kecil yang hanya punya satu penerangan di ujung.
Wajar saja jika berteriak memanggilnya pencuri, tapi siapa sangka teriakan ku menganggu seseorang. Pencuri itu mendekat ke arah lelaki bertubuh kekar. Seketika lelaki itu menangkap si pencuri dan langsung mencekiknya hingga membuat lehernya patah.
Aku tersentak kaget melihat si pencuri itu dijatuhkan begitu saja dengan mudahnya. Takut? tentu saja sangat takut, sampai-sampi aku kendali atas kakiku sendiri dan membuat tubuhku jatuh ke tanah.
Lelaki bertubuh besar itu mengambil tasku dan mendekat. Aku berusaha menghindar, namun dia menangkapku seketika. Tatapan pria itu begitu dingin, terlalu dingin sampai membuat seluruh tubuhku kaku.
Dia meraih Id yang menempel di saku sebelah kanan. Dengan penerangan yang minim, pria membaca Id Card ku dengn sangat jelas. Matanya seperti mata burung hantu yang bisa menembus gelapnya malam.
Saat itu dia menanyakan identitas yang tertera dan keahlianku dalam menjahit. Harusnya aku tidak menjawabnya dengan benar, itu membuatku berada dalam posisi seperti ini.
Ahh ....
Aku melepaskan baju putih kesayanganku yang penuh dengan bekas noda dan mencoba membersihkannya, namun noda darah itu terlalu pekat hingga sulit untuk menghilangkan bekasnya.
“Aahh baju delapan puluh dolarku!” pekikku kesal sambil melemparnya ke washtafel.
Lelah dengan noda darah yang tak kunjung hilang. Aku pun dengan berat hati membuangnya ke tempat sampah. Lalu segera berganti pakaian dengan baju yang sudah dia siapkan.
Setelah ini apa yang akan terjadi? Aku melihatnya, dia membunuh dengan mudah. Apa aku akan dibunuh juga setelah ini?
Ya Tuhan, tolong bantu aku. Aku masih ingin hidup. Sup ayam di lemari pendingin masih menungguku untuk pulang.
*tok tok*
Ooh astaga!!
Ketukan itu mengagetkanku!
“Sudah selesai?” tanya lelaki itu dari balik pintu.
“Ya Ya, sudah. Aku akan keluar.”
Aku menghela nafas panjang sebelum membuka pintu. Dia berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan. Kaki ku sedikit berat saat melangkah mengikutinya.
Ada bau yang cukup mengoda selera. Hidungku memang cukup sensitif jika mencium bau makanan. Rupanya benar, meja yang ada di tengah ruangan itu penuh dengan makanan.
“Duduk!” cetusnya dengan nada memerintah.
Aku masih berdiri terpaku dengan mata yang fokus melihat banyak makanan di meja.
Lapar. Aku ingin memakannya, tapi ....
Apa dia menuangkan racun di sana?
Bagaimana jika dia memaksaku bunuh diri?
“Duduk dan makan!”
“Apa kamu takut aku menaruh racun disini?” lanjutnya sembari menatap tajam.
Dia mengambil beberapa hidangan dan memakannya dengan lahap.
“Sudah? Gak terjadi apa- apa kan?”
“Duduk dan makanlah!”
Benar ngak ada racun kan?
Ini terlalu royal untuk menyambut orang asing.
Dengan ragu aku melangkahkan kaki perlahan dan duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya.
“Makanlah!”
Hatiku menolak untuk makan, tapi tubuhku sepertinya tak menurutinya. Tanganku memegang sendok, lalu mengambil beberapa lauk dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Ini enak!” batinku dengan rasa haru saat merasakan asin, gurih bercampur menjadi satu di dalam mulut.
Suap demi sesuap masuk ke dalam mulut dengan cepat. Aku sampai melupakan lelaki dingin dan cukup berbahaya itu sedang duduk di hadapanku dengan santai.
Seperti serigala yang memberi wortel untuk kelinci. Menunggunya hingga kenyang lalu melahapnya secara berutal.
*uhuukk uhukk*
Membayangkan itu membuatku tersedak sampai hampir mati. Aku mengambil segelas air putih yang ada di meja, dan meneguknya dengan cepat. Pandanganku tiba- tiba tertuju pada lelaki itu, lelaki yang tiba-tiba senyum menyerigai.
Dia tersenyum licik. Seperti telah berhasil menjalankan rencananya. Tunggu.!!!!
Dia mencicipi makananya tapi tidak dengan minumannya.
*prrfff*
“Responmu lambat!” cetus lelaki itu.
“Kau ....! Kau mau melakukan apa?”
“Gak ada. Aku cuma menawarkan makan dan minum. Namun seseorang malah berfikir jika pria sepolos ini akan memberinya racun.”
“Hei! Kau membawaku secara paksa! Membuatku mengobati lukamu di tempat... tempat yang aneh.”
“Aneh?” Pria itu menatapku dengan nyalang, membuat bulu halus di tanganku tiba-tiba aktif.
Dia menyandarkan punggung dengan santai, dengan tatapan yang masih tajam mengarah padaku.
“Tu-tuan, aku salah, tolong maafkan aku. Aku akan melupakan semua kejadian ini,” kataku sembari membungkukkan badan beberapa kali.
“Aku ini orangnya sangat pelupa kok, jadi Anda tidak perlu khawatir,” bujukku lagi dengan sangat sopan.
“Pelupa? Benarkah?”
“Ya, yaa tentu saja. Aku sangat pelupa.”
“Lulus sekolah menengah tingkat akhir hanya 2 tahun. Kuliah Cumlaude dengan nilai tertinggi. Menjadi dokter kandungan diusia 23 tahun.” Pria itu melipat dua tangannya.
“Apa kau fikir Lupa adalah alasan yang tepat?”
Mataku terbelalak, perkataannya membuatku kembali sadar dengan kekuatan yang dia miliki. Seperti cerita tentang CEO hebat di sebuah drama atau novel, yang dapat mengorek informasi dari seseorang hanya dalam waktu singkat.
Aku berdiri, perlahan mendekat dengan tubuh yang gemetar. Kakiku tiba- tiba lemas tepat di hadapannya.
“Tu-tuan. Aku ... aku salah. Tolong ... tolong lepaskan aku. Aku akan melupakan semuanya. Tentang apa yang terjadi malam ini.”
“Apa kau pernah mendengar pepatah? Hanya orang mati yang bisa menjaga rahasia.”
Orang mati. Apa itu isyarat untukku?
Dia akan membunuhku?
Ngak!! Aku harus kabur dan lapor polisi. Orang ini jauh berbahaya dari perampok.
“A-aku akan melakukan apa saja! Jadi ku mohon, lepaskan aku.”
“Kalau begitu, aku mau tubuhmu!”
Apa lelaki ini gila? Ini bahkan belum lewat setengah hari dari pertemuan kita. Tanpa rasa malu berbicara seperti itu. Bahakan, ekspresinya datar tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
Hanya dapat tertunduk lesu. Mataku hilang arah karna terhalang air mata.
Apa aku harus kehilangan martabat hanya untuk hidup?
“Bisakah ... anda melakukan satu tembakan dengan cepat?” tanyaku dengan spontan.
Dia hanya terdiam tak memberiku jawaban. Aku mencoba melihat sekitar dan mendapati sebuah pistol ada di atas meja, tepat di samping sofa yang dia duduki.
Mungkin memang mati dengan bermartabat lebih baik dari pada hidup dengan menanggung aib. Aku berdiri dengan cepat dan mengambil pistol lalu meletakkan ujung pistol tepat di pelipis.
.
Dibaca aja dulu.
Kalau penasaran tinggal tekan love merah dibawah 👇🏻👇🏻👇🏻
Allhamdulillah kalau di Like juga ☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Stanis Belalawe
lanjut
2025-02-01
0
Joni Fitriyadi
lanjuut . .
2023-02-11
0
RH
masih teringat makanan di kulkas 😅
2022-09-02
0