ch 17

Hari yang sangat manis dan menyenangkan. Bagaimana tidak, Andric memberikan seluruh waktunya untukku. Kami kencan layaknya sepasang kekasih. 

Aku sudah menyerahkan surat izin tidak masuk dan memberikan Farida beberapa tugas administrasi ringan seperti laporan arus kas, setoran tunai ke Bank dan menjadwalkan rencana pembayaran hutang jatuh tempo tiga hari ke depan. 

Sedangkan pekerjaan pembukuan kas Bank dan laporan rugi laba tetap aku sendiri yang mengerjakan setelah kembali masuk kerja. Aku menyesal belum mengajari Farida tugas yang ini, karena ini akan jadi kendala saat aku mau resign.

Setelah dari toko, Andric mengajakku makan siang romantis dan jalan - jalan ke toko buku. Dia bahkan membelikan dua novel untukku. Aku juga membeli bedak baru.

"Sudah setengah empat Din. Kamu butuh istirahat, demammu belum juga turun," katanya dengan wajah kasihan. "Oh ya Alan mencarimu dari tadi, katanya kamu gak bisa dihubungi."

"Iya hp aku silent." Aku mengambil ponselku dan mengecek sebentar, panggilan dari Alan delapan kali. Aku membiarkannya, aku sedang tidak ingin diganggu.

"Itu Alan telepon lagi, kenapa gak diangkat? Mungkin ada hal penting yang mau disampaikan. Pagi tadi dia pergi bawa wadah bedakmu kan."

Aku mengangkatnya sebentar dan menyimpan lagi ponselku, "Alan dalam perjalanan ke sini."

"Kita tunggu di depan aja, aku haus." Andric menarik tanganku untuk mengikutinya beli minuman dan duduk menunggu Alan di sana. "Kita pulang setelah ini."

"Pulang kemana?"

Andric tertawa mendengar pertanyaanku. "Kamu naif sekali Dina, kamu menginginkanku tapi kamu takut aku bawa pulang ke rumahku."

"Ya kadang aku kan masih waras, Andric."

"Bagaimana kamu bisa membedakan itu keinginanmu yang asli atau palsu?"

"Aku tidak bisa membedakannya, hanya saja dalam kondisi waras aku ingat sebelumnya aku tidak tertarik padamu."

Andric terkekeh, "Jadi kamu tertarik pada Alan?"

"Tidak juga, aku … aku rasa tidak perlu menjelaskan apapun padamu."

" ... " Andric diam dengan tatapan iba.

"Jangan melihatku seperti itu, Andric! Aku malas membicarakan sebuah hubungan, sudah cukup keluargaku yang selalu meributkan statusku."

"Jadi Alan itu sebenarnya calonmu ya? Apa orang tuamu sudah setuju? Kelihatannya dia percaya diri sekali diterima keluargamu," cerca Andric penuh canda.

"Bagus ... sekarang kamu meledekku, aku tidak mau menjawabnya," jawabku merajuk.

"Tidak menjawab berarti iya," tawa Andric pecah.

Aku memukul bahunya kesal. Alan datang dengan wajah masam. Dia pasti tau aku sedang bercanda dengan Andric.

"Kenapa kamu tidak istirahat di rumah Din? Kondisimu sedang tidak fit, kamu bisa kolaps kalau memaksakan diri bersama Andric terus."

Well, Alan sudah seperti ibu sekarang. Penuh kekhawatiran dan nasehat. "Aku baik aja, ini juga sudah mau diantar Andric pulang."

"Pulang ke rumahnya? Apa kamu masih belum mengerti juga Din?"

"Kamu sangat tau rasanya kena guna-guna Mas Alan yang ganteng, bahkan kamu biarkan dirimu bercinta berkali-kali dengan Wanda tanpa bisa menahannya.

Sekarang jawab aku, apa yang akan kamu lakukan jika saat itu Wanda menolakmu? Memaksanya melayanimu atau malah mencekiknya? Atau mungkin kamu malah membunuh dirimu sendiri?"

Aku benar-benar kesal dan marah. Alan sudah keterlaluan, dia lupa siapa yang membawa permasalahan ini padaku. Aku hanya tidak bisa membuktikan saja kalau istri sialannya itu yang memanipulasi perasaanku.

"Apa yang sudah kamu katakan padanya, Bro? sebaiknya kamu tidak meracuni pikirannya juga." Geram Alan pada Andric.

Andric tidak menjawab, hanya mengangkat sebelah alisnya, tidak percaya temannya mengatakan itu padanya.

Aku mendelik, "Sudah cukup Alan, jangan ke sini kalau hanya mau berdebat! Kepalaku makin pusing mendengarnya." 

"Baiklah, aku ada keperluan pekerjaan. Pulanglah dengan Andric! Aku akan ke rumahmu setelah magrib." 

Alan pergi meninggalkan kami begitu saja.

***

Bapak datang sebelum magrib. Aku tidak perlu menjemput karena Beliau naik travel dan turun di depan rumah.

Aku mencium tangannya dan bertanya kabar ibu.

"Badanmu panas, Nduk, apa sudah berobat?"

"Sudah Pak, kata dokter karena kelelahan. Gimana Ibu Pak?"

"Gula darahnya naik lagi jadi Ibumu memilih nggak ikut ke sini. Tapi ya lebih baik Ibumu di rumah aja, nanti kalau di sini malah khawatir sama keadaanmu." 

Aku membawakan tas Bapak masuk, "Ada titipan dari Ibu gak Pak?" Aku mencari oleh - oleh yang biasa ibu bawakan kalau datang mengunjungiku. Bakpia pathok kacang hijau kesukaanku.

"Ada, bongkar aja tas Bapak. Dipacking jadi satu sama ibumu, katanya biar Bapak nggak susah bawanya. Bapak mau mandi, gerah."

"Yihuuuu, Ibu emang the best," kataku bahagia. "Terima kasih ya Pak! Dina siapkan makan sama kopinya."

Mas Ari datang tidak lama setelah Bapak selesai mandi. Bapak menyuruhnya segera mandi dan diajak Bapak makan bersama. Beliau sudah lapar sekali, tadi nggak makan waktu perjalanan ke sini.

Setelah magriban di mushola kami ngobrol di teras seperti biasanya. Udara Surabaya yang lumayan panas membuat kami lebih suka menghabiskan waktu ngopi dan ngobrol di teras dari pada di dalam rumah.

Bapak menceritakan keadaan rumah dan Ibu di Yogya, setelah itu menyimak cerita kami.

Aku dan Mas Ari bergantian menceritakan situasi yang terjadi semenjak ditinggal Bapak pulang.

"Bawa sini keris yang kamu simpan Ar!, Bapak mau lihat." Bapak tetap tenang meskipun kami bercerita dengan rasa ngeri. "Yang satunya mana? Yang ketemu di dalam bedak Dina."

"Oh yang itu dibawa Alan Pak, katanya habis magrib dia mau ke sini."

"Lha itu musholla udah adzan isya anaknya belum datang juga," jawab Bapak gak sabar nunggu kedatangan Alan.

Baru saja dibicarakan Alan menelponku.

"Din, bisa tolong jemput aku?" Suaranya terdengar seperti orang ketakutan.

"Dimana? Ada apa?"

Aku sedikit panik mendengar Alan tidak seperti biasanya.

"Di Jalan Trunojoyo, pemakaman umum."

"Ngapain malam - malam di sana, Mas?"

Tempat pemakaman umum Trunojoyo hanya berjarak 1 km dari rumah. Tapi aku gak habis pikir Alan mengunjungi makam di malam hari. 

"Aku mau ke rumahmu Din, bisa jemput aku sekarang?"

"Kamu naik apa ke sana tadi?" Aku menanyakan kendaraan yang dibawanya untuk menyiapkan penjemputan.

"Ada apa Nduk?" tanya Bapak penasaran melihatku panik.

"Alan Pak, minta di jemput di TPU dekat sini, katanya tadi mau ke sini, nggak tau kok malah ada di pemakaman malam - malam gini, aneh!" Aku berbicara setengahnya menggerutu.

"Ya sana berangkat sekarang sama Masmu, Bapak tunggu di sini. Semoga gak ada apa- apa. Dia masih bisa menghubungimu artinya masih sadar."

Mas Ari mengeluarkan motor dan dua helm, dia juga menggerutu malam - malam harus ke pemakaman. "Ini orang benar - benar merepotkan," katanya sambil memberikan aku helm.

"Dina pergi dulu Pak, doakan tidak ada sesuatu yang aneh."

"Hmmm, iya Nduk." Bapak menjawab sambil memejamkan mata.

Sesampai di area makam aku lihat Alan berdiri di pintu gerbangnya seperti orang linglung. Wajahnya tampak bodoh dan pandangannya tidak fokus padaku ketika aku dan Mas Ari menghampirinya.

"Mas, Mas parkir dimana mobilnya?" tanyaku ketika sudah turun dari motor.

Makam itu sepi walaupun belum jam delapan malam, letaknya memang tidak di pinggir jalan raya, tapi sedikit masuk ke perkampungan.

Gerbang tempat Alan berdiri pun hanya diterangi satu lampu neon yang sudah pudar cahayanya. Sementara di dalam area makam tidak ada lagi pencahayaan.

Aroma bunga kamboja menambah suasana makam makin terasa seram malam ini, angin berhembus dingin membawa hawa kematian.

Alan menunjuk mobilnya yang parkir tidak jauh di seberang pemakaman itu, mengulurkan tangannya memberikan kunci mobilnya.

"Ayo pulang!" kataku menarik tangannya ke arah mobil.

Aku tidak mengajak Alan bicara, hanya membuka pintu penumpang untuknya dan memastikan dia sudah duduk tenang. Aku mengemudikan mobil dan disusul Mas Ari mengiringi dari belakang.

Bapak memberikan Alan air putih untuk diminum dan memberikan usapan pada wajahnya. 

"Ada apa Alan? Kenapa kamu bisa tersesat ke pemakaman?" 

"Saya juga nggak paham Pak, tiba - tiba saya sudah di area makam dan bingung mau pergi dari sana. Jalannya menghilang, saya memutari pemakaman itu sampai tiga kali nyari dimana mobil saya parkir tapi nggak ketemu."

"Syukurlah kamu gak apa-apa," kata Bapak bersimpati.

"Saya cuma ingat Dina, jadi saya menghubunginya. Pas Dina datang menghampiri, baru saya bisa melihat jalan."

"Apa kamu ke sini membawa isi dalam bedak Dina?"

"Iya Pak, ini." Alan merogoh wadah bedakku dari kantongnya dan memberikan pada Bapak.

"Ini biang masalahnya, ya nanti biar Bapak yang urus. Nggak usah khawatir, kamu udah aman dari pengaruh barang ini."

"Bukan ngusir ya Mas, Bapak mau ngajak Dina ke Ampel malam ini, jadi Mas Alan sebaiknya pulang istirahat di rumah." Bapak memang bikin rencana dadakan ke Ampel, ingin wisata religi malam hari katanya.

"Berangkat jam berapa Pak? Saya boleh ikut?" tanya Alan penuh harap. 

"Boleh aja, jam 9 aja ya berangkatnya? Bapak ingin wisata religi malam," jawab Bapak tertawa penuh maksud.

"Kalau Alan ikut, Ari gak jadi nganter ya Pak, Ari nemani Rahma aja di rumah ibunya?"

"Ya, temani aja istrimu. Bapak sama Dina biar diantar Alan."

***

Terpopuler

Comments

yamink oi

yamink oi

jadi penasaran sapa sing....

2022-11-25

2

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

horor yaaa mrinding bener

2022-10-25

1

𝓐𝔂⃝❥ℛᵉˣиσνιє⒋ⷨ͢⚤☠️⃝⃟𝑽𝐀⃝🥀

𝓐𝔂⃝❥ℛᵉˣиσνιє⒋ⷨ͢⚤☠️⃝⃟𝑽𝐀⃝🥀

Aku pernah lho thoor diubeng2ke gitu di area makam tengah kampung makame cuma 2 tok tapi suasanane 😱😱😱 bikin merinding,untung ada orang lewat trus ditunjukin jalan pulang hiiiii 😱😱😱

2022-09-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!