ch 8

"Punya minyak kayu putih Din? kepalaku sakit sekali, aku mau ke rumah ibuku". Alan sambil memijat dahinya menahan nyeri yang mendadak. Tadi dia baik - baik saja, hanya terlihat kurang tidur.

"Mungkin masuk angin, tunggu sebentar aku ambilkan obat sama minyaknya." Aku masuk ke dalam rumah secepatnya, entah mengapa aku merinding. 

Tidak sampai tiga menit aku sudah kembali ke teras, tapi Alan sudah tidak duduk di kursinya.

"Ya Allah," aku segera mendekat begitu mendengar suara erangan, ternyata Alan terlentang di bawah meja dengan mata melotot dan tangan mengepal di samping tubuh. "Alan," panggilku pelan. "Alan," suaraku mengeras tapi tidak ada respon sama sekali dari Alan, matanya tetap melotot menatap ke atas. Alan tidak dalam kondisi sadar.

Otakku berpikir keras, aku butuh bantuan. Aku sendirian di rumah dan gak tau apa yang harus aku lakukan untuk memberikan pertolongan pertama pada Alan. Erangan tidak jelas masih terdengar dari mulutnya.

"Pak, Pak Pras tolong!," teriakku sambil menggedor - gedor pintu tetangga sebelah rumah. Tidak ada sahutan ataupun pintu yang terbuka. Aku mengulang beberapa kali ketukan dan panggilan tapi tidak ada hasil. 

Aku yakin Beliau ada di rumah karena kendaraan yang biasa digunakannya ada di depan rumah. Pak Pras tinggal bersama istri, dua anak gadis dan ibu mertuanya. Rasanya mustahil tidak ada yang mendengar suaraku. Apalagi ini baru jam sepuluh malam.

Aku meninggalkan rumah Pak Pras dan berlari ke rumah Pak Jamil yang rumahnya berada di depan rumahku. Aku juga mengetuk cepat dan terus memanggil tetanggaku itu. Pak Jamil, istrinya dan anaknya yang bujangan pun seperti tidak mendengar suaraku, "Pak Jamil, tolong, tolong pak!"

Mataku berkeliaran mencari orang lewat yang sekiranya bisa memberi bantuan. Tapi tidak satupun manusia yang aku lihat di sekitar rumahku. Jangankan pemuda - pemuda yang biasanya pulang malam, penjual sate dan nasi goreng kelilingpun tidak ada yang lewat. Aku panik dan ketakutan.

Malam terasa sunyi, suara jangkrik pun tidak terdengar. Angin dingin berhembus membawa aroma dupa. Dunia seakan tanpa kehidupan, seperti ilmu sirep yang digadang - gadang bisa menidurkan semua makhluk hidup sedang bekerja. Alam bawah sadarku mengatakan ini seperti di kuburan. Mungkin itu yang sedang terjadi sekarang. Sirep, ya ada yang merapal mantra sirep yang terlintas di pikiranku

Aku pulang dan mengambil ponsel, menghubungi mas Ari. Beberapa panggilanku terabaikan tapi aku  tetap berusaha. Akhirnya ada jawaban, "Mas, pulang sekarang. Alan kejang - kejang, matanya melotot dan terkapar di bawah meja teras rumah kita."

"Bicara pelan - pelan Din, ada apa dengan Alan?"

Aku menjelaskan situasi yang terjadi dan meminta Mas Ari sesegera mungkin kembali ke rumah. Aku setidaknya harus menunggu lima belas menit sampai kakakku itu datang. 

Teringat Bapak, langsung aja aku menghubungi Beliau dan menceritakan secara singkat apa yang sedang ku hadapi. 

"Kerasukan lagi itu Nduk," kata Bapak.

Aku mendekati Alan tapi tidak memutuskan panggilanku dengan Bapak. Aku mulai mendengar Alan bergumam sedikit jelas, "aku akan membawa anak ini, aku akan membawanya, ampun Kyai Husni, ampun."

Apa yang dikatakan Alan aku sampaikan kepada Bapak.

"Hihihihihihi aku akan membawa anak ini. Hikhikhik ampun Kyai Husni," suara Alan terdengar lirih antara tertawa dan menangis sedih.

"Pak, apa yang harus Dina lakukan? Alan sekarang melotot ke arah Dina Pak," suaraku tercekat di tenggorokan ketika mengatakan itu, Alan dengan mata merahnya melotot padaku, untunglah tubuhnya hanya bisa berbaring, tangannya menggapai - gapai ke arahku.

"Keraskan suara hp ini dan dekatkan ke telinganya, Bapak bantu doa dari sini." 

Aku lebih mendekat untuk meletakkan ponselku dekat telinga Alan, pengeras suaranya sudah aku aktifkan. Tangan Alan coba menggapai leherku, mungkin dia berniat mencekik. Sementara sorot matanya sangat marah. "Sudah Dina taruh dekat Alan Pak hp nya."

Bapak mulai berbicara mengusir makhluk halus yang menguasai tubuh Alan dan dilanjutkan dengan bacaan doa - doa. 

Alan berteriak minta ampun. Suara tangisan seperti suara perempuan keluar dari mulut Alan. "Kuntilanak kah itu?" gumamku memperhatikan Alan dari jarak aman. Suara tawa dan tangisannya menegakkan bulu roma, terdengar sangat mengerikan.

Mas Ari datang tergopoh - gopoh masuk rumah dan mengambil air wudhu. Tanpa takut dia mendekati Alan dan mengusap wajah Alan yang masih melotot ke arahku. Suara Bapak melantunan ayat - ayat suci masih terdengar dari ponselku. 

"Ampun Kyai Husni," Alan berteriak dan matanya melotot ke atas sehingga yang terlihat hampir warna putihnya saja. Dan kemudian dia tersadar, badannya melemas dan matanya kembali menatap normal.

Mas Ari membantunya kembali duduk di kursi dan menepuk pundaknya menenangkan.

"Ambilkan air minum buat Alan Din," kata Mas Ari sambil mengulurkan ponselku. Aku segera mengabari Bapak kalau Alan sudah sadar dan mengambilkan air minum.

"Aku kenapa Mas?" tanya Alan setelah meneguk minumnya.

"Ada gangguan lagi, kayaknya kamu harus pergi ke Kyai Husni di Jombang untuk meminta pertolongan. Makhluk halus yang merasukimu takut dengan Mbah Kyai itu."

"Oh apa karena minyak yang diberikan Mbah Kyai itu ya Mas?"

Mas Ari hanya mengangguk. Minyak Al-Qur'an itu memberikan perlindungan sehingga makhluk itu merasa terancam ketika merasuki Alan.

"Badanku sakit semua, kepalaku juga pusing," keluh Alan. "Besok bisa ikut nganter aku ke Jombang Din?"

"Aku gak bisa Mas, aku besok kerja. Mas Alan minta anter Andric aja, atau kalau gak ya sama Wanda kan bisa kalau mau ke Mbah Kyai." Aku tidak mau melibatkan diri dalam masalah lagi, bukan hal yang gak mungkin jika Wanda tau aku menemani suaminya ke Jombang dia akan melabrakku, bahkan membunuhku. 

Pikiranku sedang tidak jernih menghadapi apa yang baru saja terjadi dan aku tidak boleh gegabah.

Mas Ari memberikan nasehat bijak, "Dina benar, kamu kalau mau ke Jombang sebaiknya pergi bersama keluarga. Bagaimanapun kamu kan sedang mencari kesembuhan. Aku gak tau kenapa kamu begitu mudah kerasukan. Keluargamu harusnya tau kondisimu, jadi jika dalam proses pengobatan ada faktor yang menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi kami tidak disalahkan. Ini juga untuk menjaga nama baik Dinara, jangan sampai dia jadi bahan omongan rusaknya rumah tangga mu."

Kata - kata terakhir yang disampaikan Mas Ari dengan penuh tekanan dan tatapan yang mengatakan 'Jauhi adikku'. 

Sejak aku kelepasan bicara waktu ngopi sama Bapak akhirnya aku menceritakan posisi Alan yang sedang dalam proses bercerai. Mas Ari langsung mengatakan 'Cari laki - laki lain, yang masih bujang banyak, kenapa ribet sama duda', itu kata - katanya yang masih kuingat jelas.

Alan mengangguk lesu, tidak ada pembelaan yang disampaikannya. Dia membuka ponselnya ketika ada bunyi notifikasi masuk, "Aku pamit Din, Mas. Aku pulang ke rumah Wanda, dia mengancam memasukkan racun dalam susu anakku."

Alan menunjukkan foto anaknya yang sedang tidur, di sampingnya ada botol susu dan racun serangga cair. Aku bergidik membayangkan kelakuan Wanda.

Alan terburu-buru, wajahnya menahan amarah. Dia mengulurkan tangan menyalami Mas Ari, "Maaf Mas, membawa Dina dalam masalah ini. Terima kasih banyak sudah membantu mengembalikan kesadaran saya, terima kasih untuk semua bantuan dari keluarga Mas."

Aku hanya mengangguk ketika dia keluar.

***

Terpopuler

Comments

Isnaaja

Isnaaja

udah mah duda suka kerasukan lagi,nanti merepotkan. mending cari yang lain saja

2025-02-09

0

Aslama NH4

Aslama NH4

satsitsutsetsot

2024-11-27

0

andin cute

andin cute

wokawokawok

2024-06-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!