ch 19

Waktu hampir tengah malam ketika kami sampai di makam Sunan Giri. Parkiran masih lumayan ramai, artinya masih banyak pengunjung yang sedang ziarah malam ini.

Makam utama ada di atas bukit, mengharuskan kami sedikit membakar kalori untuk meniti tangga. Bapak berjalan menyusuri bentangan besi stainless steel yang dipasang di sepanjang bagian pinggir tangga. Sedangkan Aku berjalan di belakangnya.

Nafasku tersengal karena lelah, kondisi badan yang tidak fit membuat mataku berkunang-kunang, Alan berjalan sambil menarik tanganku. Rasanya perjalanan ini sangat berat.

Ketika akhirnya sampai di atas aku sudah tidak tahan lagi, aku muntah - muntah sehingga kami putuskan untuk duduk beristirahat sebelum masuk ke makam Sunan Giri.

Kepalaku pusing dan pandanganku berputar, seluruh badanku gemetaran. Bapak memberikan pijatan di bahu, kepala dan telapak tangan.

Setelah sedikit membaik kami segera menuju makam, mencari tempat duduk dan mulai mengaji.

Begitu selesai aku langsung keluar menunggu Bapak dan Alan di bawah. Aku tidak ikut berzikir karena sakit kepala membuatku mual dan kembali muntah.

Aku mengambil ponsel dari dalam tas dan melihat waktu yang menunjukkan pukul satu dini hari. Aku membuka pesan masuk yang kuabaikan beberapa jam ini.

'Are you okay my love?' pesan dari Andric. Aku tersenyum sendiri memikirkan begitu manis perhatiannya.

'Aku merindukanmu', hanya itu jawaban yang kukirimkan. Mungkin akan terbaca pagi saat Andric bangun mengingat sekarang sudah waktunya orang tidur.

Aku menyimpan kembali ponselku, Bapak dan Alan sudah turun menghampiriku. Kami bergerak turun menyusuri tangga dengan perlahan dan berencana mencari minuman hangat di bawah.

Tidak sedikit penduduk sekitar yang membuka usaha berjualan makanan untuk menambah pendapatan mereka. Banyaknya peziarah setiap hari merupakan peluang yang sangat menguntungkan.

Kami ngobrol ringan tentang sejarah dan sepak terjang Sunan Giri yang juga merupakan raja Giri Kedaton di masa lalu itu, ketika Beliau menyebarkan agama islam melalui kesenian.

Bapak begitu antusias membahas tentang Gending Asmaradana dengan Alan. Aku yang berjalan di depan mereka hanya mendengarkan sekilas. Suara mereka terbawa angin yang bertiup dari arah bawah sehingga kadang terdengar jelas kadang menghilang.

Pandanganku mulai berkabut dan kakiku goyah. Suara Bapak dan Alan yang sedang mengobrol tidak lagi ada, menghilang entah kemana. Aku tidak lagi mampu menahan tubuhku sehingga aku terhuyung ke depan siap jatuh terjerembab. Dunia serasa di jungkir balik dan tiba - tiba semua yang kulihat berubah jadi bayangan samar. 

Sebelum kehilangan kesadaran ekor mataku menangkap sesuatu yang besar serupa harimau melompat melewatiku. Cakarnya yang besar menggores lengan kiri yang kugunakan untuk melindungi wajahku. Alan menangkap tubuhku dengan sigap sebelum aku terjatuh. 

Aku merasa berada di kegelapan total, aku tidak mampu membuka mata dan mengembalikan kesadaranku. Aku mendengar dari jauh Alan terus memanggilku, aku juga mendengar lantunan doa yang dibaca Bapak, suaranya seperti gemerincing lonceng yang mengajakku untuk bangun. 

Hembusan angin di telinga aku rasakan bergantian, aku merasa bapak yang sedang melakukannya, ya Bapak yang meniupkan udara itu di telingaku.

'Tempat apa ini? Kenapa aku tertidur diatas bale bambu? Siapa orang berbaju Surjan (baju Jawa) kuno yang duduk di atas kursi rotan dan memunggungiku?' 

"Wis tangi Ngger? Lungguh kene karo Simbah!" (Sudah bangun Nak? Duduk sini sama Kakek). Beliau menunjuk kursi kosong di sebelah kanannya.

Seperti terhipnotis dengan suara Kakek itu aku mendatanginya dan duduk disebelahnya. Tempat ini sungguh minim cahaya, aku merasa berada di teras rumah dengan pemandangan malam yang tidak kelihatan. Hanya bulan tertutup awan sebagai pencahayaan.

Dan entah kenapa aku tidak bisa bicara, seolah-olah aku di sana hanya untuk mendengarkan.

"Ngelmu iku mupangat Ngger, ngelmu iku kelakone kanthi laku." (Menguasai ilmu itu sangat bermanfaat nak, menguasai ilmu itu tercapainya lewat proses perjalanan lahir dan bathin).

Aku mengangguk setuju. 

"Tansah eling lan waspodo bakal nembus ing sela selaning garu, mugi elingo marang Manunggaling Kawulo Gusti." (Hati - Hati dan waspada agar selamat dari kekacauan dunia, menyatulah dengan kekuasaan Tuhan). 

Hening sesaat, memberikan aku waktu untuk mencerna nasehat yang kira - kira artinya seperti itu. Aku kembali mengangguk.

"Manungso kui mung ngunduh wohing pakerti, dadi sopo sing nandur mesti ngunduh Ngger." (Manusia itu bertanggung jawab dengan segala perbuatannya, jadi siapa yang menanam itu yang memanen.)

Dan lagi aku hanya mengangguk.

"Sadumuk bathuk, sanyari bumi di tohi pati, elingo paribasan iku Ngger." (Ingatlah peribahasa itu)

Aku mencoba mengingat arti peribahasa Jawa tentang harga diri dan kehormatan itu. Tentang pahlawan yang mempertahankan tanah kelahirannya dengan darah dan nyawanya, tentang pria atau wanita yang pantang pasangan hidupnya diganggu atau disentuh orang lain. Bukan masalah kerugian secara fisik, tapi karena itu adalah lambang harga diri dan kehormatan.

Aku mengangguk untuk yang terakhir kalinya karena mendadak angin berhembus dingin dan mengembalikanku ke kegelapan lagi. 

Aku kembali mendengar suara Bapak memanggil namaku, aku bahkan merasakan tangan Bapak mengusap wajahku. Aku membuka mata, kesadaranku pulih. Ternyata aku masih di tempat terakhir kali mendengar obrolan tentang Gending Asmaradana.

Suasana makam masih ramai, aku masih mendengar peziarah naik dan turun tangga. Beberapa orang menoleh ke arah kami, mungkin heran melihatku pingsan di sini.

Aku berdiri di bantu Alan, aku merasa tangan kiriku sedikit sakit. Bekas cakar menggurat kulitku, ada lima garis bekas kuku sepanjang 10 cm di lengan bagian dalam. 

Itu kelihatan seperti bekas luka cambuk yang baru dibersihkan. Tidak ada darah di kulitku, tapi bekas luka itu membengkak. Aku mengingatnya sangat jelas, apa yang menyebabkan lenganku seperti itu.

Bapak mengusapkan tangannya lembut di atas luka itu, "Nggak apa-apa, ini cuma kesababan (penyebab)." Dan sakitnya pun menghilang begitu saja.

Tanpa membahasnya lebih lanjut kamipun kembali turun menyusuri tangga. Kali ini Alan memegang tanganku untuk memastikan aku tidak terjatuh karena kondisiku yang lemas.

Sesampainya di parkiran Alan membeli teh panas dan nasi bungkus. Dia tampak khawatir sekali, berbeda dengan Bapak yang tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

Adzan subuh menggema dari masjid, Bapak mengajak untuk shalat dulu sebelum pulang.

Mobil melaju membelah jalanan kota Gresik. Walaupun masih gelap tapi aktivitas penduduk sudah mulai tampak, para petani dan pedagang sudah mulai sibuk mengais rezeki.

"Dina perlu dibawa ke dokter Pak?, Ada klinik dekat sini kalau mau mampir."

Aku merasa lebih baik dan lebih sehat. Hanya saja mataku mengantuk karena semalaman tidak tidur. Ya, aku sangat kurang tidur beberapa hari ini.

"Nggak usah Mas, aku udah nggak apa-apa, cuma ngantuk."

Lenganku membaik, bengkaknya berkurang signifikan. Hanya tersisa lima garis tipis di sana. Dan ketika matahari terbit seluruh luka di lenganku hilang tanpa bekas. Tidak ada apapun yang tertinggal di sana, kulitku kembali normal seperti tidak pernah tergores apapun.

***

Terpopuler

Comments

Al Fatih

Al Fatih

semakin penasaran

2024-08-24

1

Ali B.U

Ali B.U

next

2024-06-24

1

𝕃α²¹ℓ 𝕊єησяιтα 🇵🇸🇮🇩

𝕃α²¹ℓ 𝕊єησяιтα 🇵🇸🇮🇩

Artina naon tuhh Sadumuk bathuk , sanyari di tohi pati.

2024-05-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!