Matahari sudah condong ke arah barat. Cahaya keemasannya sebentar lagi akan berubah menjadi kemerahan. Dan setelah itu menghilang di bawah garis cakrawala.
Aku baru terbangun dari tidur nyenyak. Bahkan Bapak dan Mas Ari tidak membangunkan aku yang lelap dari pagi.
Begitu sampai rumah aku sudah sangat mengantuk, Alan juga langsung pamit pulang karena sudah tidak tahan dengan bau wangi yang menempel di tubuhnya.
Kondisiku jauh lebih baik, badanku juga tidak sepanas kemarin. Aku mengguyur tubuhku dengan cepat. Bayangan Andric memanggil menghantuiku. Aku harus menemuinya atau aku akan segera jadi gila.
Andric sedang ada di tokonya, aku langsung mendatanginya. Aku melewati toko tempatku bekerja, melambaikan tangan pada Yeni dan Farida yang kebetulan melihatku melintas.
Pergi ke toko Andric artinya juga harus melewati tempat Alan buka servis. Aku lihat dia juga ada di sana. Dan lagi ada Wanda. Aku tidak ingin cari masalah, aku lewat begitu saja tanpa menoleh seolah-olah tidak pernah kenal.
Andric langsung membawaku ke bagian belakang tempat menyimpan stok barang yang akan dijual. Hanya ada satu unit komputer dan dua kursi di sana. Aku langsung memeluknya begitu masuk ruangan itu dan Andric membalasnya. Ya ini bagian yang menyenangkan dari Andric, dia sungguh mengerti bagaimana menghadapiku.
"Bagaimana wisata religinya? Alan bilang kamu pingsan kelelahan di Giri." Andric mengambil duduk di kursi depan komputer, memundurkan kursinya dan menarikku untuk duduk di pangkuannya. Aku langsung sesak nafas menghadapi cowok flamboyan satu ini.
"Eh…. Ya, begitulah. Tiba - tiba aja itu terjadi." Ingatanku langsung kembali ke kakek dengan baju Surjan yang bahkan tidak sempat kulihat wajahnya. Tapi aku masih ingat jelas apa saja yang di sampaikannya padaku.
"Mana bekas lukanya?" Andric menarik lenganku untuk melihatnya. "Alan bilang ada luka gores seperti bekas cakaran, mana? Kok tetep mulus gini." Katanya iseng sambil mengusap lenganku, bahkan pelukannya semakin di perketat.
"Andric, don't…." Suaraku tercekat karena dia sangat dekat. Nafasnya hangat berhembus di leherku.
"I don't do anything yet, honey," jawabnya terkekeh. "Kita tidak akan melakukan apapun di sini selain kissing."
Wajahku memanas dengan cepat melihat senyum setan yang ditampilkannya. Ciumannya mendarat dengan manis, membakar hasrat lebih dalam. Aku kehabisan nafas ketika pintu di ketuk dari luar oleh pegawai Andric, "Bang, ditunggu Pak Alan sama Istrinya di luar."
Andric menghentikan ciumannya yang membuatku kecewa dan merasa kehilangan. Aku merutuki mantra sialan yang sudah mengubahku jadi ja*lang seperti ini.
"Jangan ikut keluar, aku gak mau ada keributan di sini!" kata Andric mengusap lembut pipiku.
"Mana dia Andric? Aku ingin bicara berdua sebagai sesama wanita sama dia," kata Wanda dengan bengisnya. Aku mendengar jelas suaranya dari ruangan ini.
"Sudahlah, jangan bikin malu di tempat orang bisa gak sih kamu!" kata Alan mencoba menasehati.
Wanda tidak menggubris kata - kata Alan, "Panggilkan dia Andric, aku tau cewek murahan itu ada di dalam!"
"Sebaiknya kamu pergi Wanda, atau aku akan memanggil security untuk mengusirmu. Aku tidak mau ada keributan di sini, kamu sudah mengganggu kenyamanan customerku, dan aku tidak suka itu," kata Andric penuh penekanan dan ancaman.
"Brengsek …. " Wanda menggebrak etalase toko.
Aku sudah tidak mendengar pembicaraan mereka di luar. Mungkin Alan dan Wanda sudah pergi. Benar saja, Andric kembali masuk menemuiku.
"Sebaiknya aku pulang, aku memancing keributan yang nggak penting di sini." Aku merapikan rambut dan memakai tas selempangku. "Maafkan aku Andric, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mendatangimu," ucapku tulus sambil menarik kemejanya lebih rendah agar aku bisa mengecup pipinya.
"Ayo aku antar!"
"Tidak perlu, aku bawa motor."
"Aku antar sampai parkiran." Aku tau Andric melakukannya untuk melindungi kalau - kalau singa betina Alan menyerangku. "Boleh aku berkunjung ke rumahmu honey?"
"No, not today."
"Kenapa nggak boleh? kalau Alan kok boleh? Not today thats mean tomorrow?"
"Alan tamu Bapakku, itu berbeda. Dia punya keperluan dan kepentingan lain. Aku tidak bisa mengenalkan orang yang tidak ada hubungan spesial dengan orang tuaku, did you know that Andric? and stop call me honey." Tukasku tajam.
"Baiklah, oh ya aku kamis ini pulang ke Pasuruan, mau ikut?"
"Berapa lama kamu pulang?"
"Belum tau."
"Kill me Andric!" Aku menghirup udara dengan frustasi mendengar jawaban tidak pasti berapa lama dia akan di sana.
"Kalau gitu ikut aja ya! Ada acara istighosah di sana. Siapa tau ada yang bisa kulakukan untuk membantumu melepasku, kabari aku kalau kamu mau ikut." Andric mengambil helm dan memasangkannya di kepalaku. "Hati - hati ... call me later!"
***
Alan datang lagi ke rumah sekitar jam delapan malam. Mungkin dia nunggu kerjaannya beres, atau mungkin juga harus mengantar Wanda pulang dan menemui anaknya dulu. Dia kan juga seorang Ayah.
Alan minta maaf padaku soal kejadian sore tadi di depan Bapak. Aku tidak menanggapi, justru Bapak yang menjawab, "Baiknya Nak Alan menjauh dari Dina dulu sampai semua masalah selesai."
"Masalah saya dengan mantan istri sudah selesai Pak, tinggal nunggu proses sidang pengadilan. Saya serius sama Dina Pak, kalau Bapak berkenan saya akan menikahi Dina. Mungkin siri dulu sambil nunggu akta cerai saya keluar."
Aku mendelik mendengarnya, nggak tanya dulu nih orang sama calonnya bersedia apa nggak, malah langsung nembak ke Bapak cari dukungan, percaya diri banget.
"Bapak kurang setuju dengan siri Nak, selesaikan saja dulu urusanmu!"
Akhirnya Bapak bijaksana menyikapi Alan walaupun tidak memberikan alasan penolakan nikah siri yang ditawarkan Alan.
"Iya Pak, saya minta maaf kalau terburu - buru, saya cuma mau menunjukkan kalau saya serius."
"Kalau memang jodoh nanti kan dimudahkan urusannya sama Gusti Allah," jawab Bapak.
Pembicaraan segera beralih ke hal lain. Alan memang selalu bisa menemani Bapak ngobrol. Dari hal umum sampai hal yang berbau mistis.
"Ohya pak, tadi pagi saya dapat ini," kata Alan mengulurkan batu kecil berwarna merah. "Ini merah delima ya Pak?"
Bapak mengamati benda sebesar kacang tanah itu, sedikit lonjong dan keindahannya menghipnotis. Mungkin karena ada sisi magisnya.
"Iya itu merah delima, barang gaib yang mujud," kata Bapak menegaskan.
"Tapi ini kosong Pak," kataku ketika menyentuhnya. "Mas Alan dapat dari mana?"
"Pagi tadi pulang dari Giri, pas sampai rumah buka baju tiba - tiba jatuh dari kantong."
"Kayaknya itu hadiah dari khodam punggungmu karena sudah menjamasnya di Ampel kemarin." Bapak menerangkan kemungkinan batu itu sebagai ucapan terima kasih dari penjaganya.
"Ini aman kan Pak kalau dipakai Dina? Saya pesankan cincinnya besok ya Din. Ini cantik banget batunya." Alan menggambarkan keindahan batunya seperti penjual akik.
"Jangan dipakai dulu, takutnya ada apa - apanya!" Bapak melarang keras aku menggunakan batu itu untuk perhiasan.
Akhirnya Bapak yang menyimpan batu merah itu.
"Dina masalahnya sedang banyak Nak Alan, Bapak takut itu bisa jadi pemicu bahaya yang lain."
"Iya Pak saya mengerti, apa mantra pelet yang kena Dina begitu kuatnya pak? Gimana cara mengatasinya?"
"Iya kuat, karena terus ditambahi dan dibacakan berulang kali. Kalau Bapak tidak salah tebak itu efeknya bisa sampai 40 hari, setelah itu korbannya akan jadi gila. Bapak sedang berusaha meredamnya, semoga ada hasilnya."
"Gimana dengan kiriman yang ada dalam bedak Dina itu, Pak?"
"Kalau yang itu benda santet, ada yang ingin Dina celaka."
Duh Gusti, salah apa aku sampai orang ingin aku sengsara.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Rika Iftakul
waduh siapa lgi selain wanda yg nyantet dina
2025-01-27
0
Aslama NH4
🥱
2024-11-28
0
Ali B.U
next.
2024-06-25
1