"Yen, lihat Andric gak seharian ini?"
"Belum Mbak Din, mungkin gak datang ke tokonya, biasanya kalau ada pasti kelihatan kok," jawab Yeni agak heran melihatku.
Aku gelisah sekali. Dari sejak ketemu Andric kemarin ada sesuatu yang gak beres dalam otakku. Aku ingin bertemu lagi dengannya. Obrolan kemarin terlalu singkat, aku masih penasaran dengan ceritanya dan pendapatnya tentang Pakde.
Seharian ini aku diam - diam menunggunya, selalu melirik ke arah tokonya berada dan tidak malu bertanya pada Yeni. Aku sadar ini di luar kebiasaanku tapi aku tidak bisa mengendalikan diri untuk bertemu dengan Andric.
Aku mengenali perasaan ini, rindu yang dalam dan sedih yang terasa janggal aku dapatkan malam Jum'at kemarin. Aku mencoba mengingat tiap kejadian beberapa malam terakhir, mimpi - mimpi aneh itu sekarang aku sama sekali tidak mengingatnya.
Bisikan dan mantra yang ingin sekali kuingat sudah pergi entah kemana. Otakku seperti diatur hanya untuk mengingat Andric.
"Yen, Andric rumahnya dimana ya?"
Yeni tertawa mendengar pertanyaanku, "Waduh, aku gak tau Mbak Din."
"Kalau nomer teleponnya punya?"
"Gak punya juga Mbak," jawab Yeni, sekarang dia mulai melihatku dengan seksama. Rautnya benar - benar ingin tau arah pertanyaanku.
"Kira - kira dimana ya dia sekarang?" Aku bertanya pada diriku sendiri.
Yeni menyahut, "Aku carikan info bentar. Mbak tunggu aja, coba aku tanyakan ke karyawan tokonya."
Aku frustasi tanpa sebab, konsentrasi terhadap pekerjaan buyar, mood berubah jadi sangat buruk. Aku sudah tidak tidur lebih dari 24 jam, aku juga tidak makan dari kemarin "Oh Tuhan."
"Pulang aja Din, biar aku yang setor ke bank besok kalau kamu masih kurang sehat, istirahatlah!" Farida rupanya memperhatikan aku.
"Aku gak apa - apa Farida, mungkin karena kurang tidur. Besok pasti udah baikan," kataku ragu - ragu.
"Kamu pucat kayak gak punya darah," lanjutnya bercanda.
Aku tertawa sumbang mendengar kata - kata Farida, "Setidaknya aku masih hidup." Aku merinding mendengar ucapanku sendiri.
Yeni datang membawa kabar kalau Andric tidak ke toko, aku langsung kecewa mendengarnya. Air mataku hampir menetes, aku merasa sangat sedih.
"Ini nomer telepon sama alamat rumahnya Mbak," Yeni menyodorkan kertas kecil ke arahku.
Aku menerima kertas itu, membacanya dan mengucapkan terima kasih.
***
Senja hampir berakhir dan gelap mulai menyapa. Aku keluar mall dengan hati gundah. Bukannya senang jam kerjaku telah berakhir, aku justru sedih karena orang yang aku tunggu seharian ini tidak muncul.
Aku bertemu Alan di parkiran, dia baru datang. Mataku langsung mencari Andric, Alan kawan dekatnya dan mereka sering keluar bersama. Alan pasti tau dimana Andric.
"Mana Andric?" tanyaku tanpa basa basi.
Alan bengong, "Ada apa dengan Andric? kenapa kamu mencarinya Din?"
"Aku ingin bertemu dengannya."
"Ada urusan apa? nanti aku sampaikan."
"Gak perlu, aku akan menemuinya," tukasku meninggalkan Alan.
"Tunggu Din," Alan mencekal lenganku menatapku tajam. "Kamu kenapa?"
"Dimana Andric?" tanyaku marah, aku bahkan mengabaikan pertanyaan Alan.
"Aku gak tau Andric dimana, aku belum ketemu dia hari ini. Kita bisa ke rumahnya kalau ada sesuatu yang penting." Alan bicara santai, tapi aku tau dia penasaran dan aku juga tau dia juga cemburu.
"Antarkan aku ke rumahnya!" pintaku dingin.
"Eh, sekarang? Apa sangat penting?" tanya Alan heran campur panik.
"Gak, seratus tahun lagi," jawabku ketus. "Ya sekarang Alan…!" Aku melotot berteriak menghardik dan tidak lagi menyebut namanya dengan Mas. Sungguh menyebalkan.
Selama perjalanan ke rumah Andric aku tidak bisa berhenti untuk terus bertanya pada Alan. Aku tidak peduli dia tidak suka, aku juga tidak peduli dia tidak konsentrasi mengemudi hingga hampir menabrak orang yang sedang menyeberang jalan.
"Kamu berisik sekali Din," gerutu Alan.
Aku tidak mau mendengar protesnya, "Kenapa Andric tidak ke toko?"
"Mana aku tau Din, aku bukan ibunya."
"Kemana dia pergi seharian ini?"
"Hah? Aku juga bukan istrinya."
"Jadi dia sudah punya istri?"
"Belum," jawab Alan malas, dia mulai kesal.
"Kenapa dia belum punya istri?"
"Tanyakan sendiri padanya, aku bukan Tuhan yang maha tau segalanya, dan stop ngomongin Andric atau kita gak jadi ke rumahnya."
"Well, kamu mengancamku sekarang, oh Alan aku takut sekali," jawabku sambil tertawa seperti orang gila.
Alan menahan rasa geram, dia menepikan mobilnya.
"Apa kamu merasa sakit? Wajahmu pucat," suara Alan lembut terdengar di telingaku.
"Tidak, hanya sakit kepala biasa."
"Apa ada sesuatu yang aneh dan tidak biasa yang kamu rasakan?"
"Tidak ada, semua normal kok."
"Mimpi buruk mungkin?" Alan terus mendesak dan aku sudah sangat tidak sabar bertemu Andric. Aku mulai marah karenanya.
Aku berpikir keras mengingat kembali mimpiku, "Aku lupa."
"Good, kamu terus menanyakan Andric seperti orang gila tapi kamu merasa tidak ada keanehan yang terjadi."
Aku hanya diam, aku tidak merasa ini aneh, aku hanya merasa sedang jatuh cinta.
"Apa kamu menyukai Andric?" tanya Alan menatapku.
"Iya," jawabku ragu. "Tidak."
"Iya atau tidak?" selidik Alan.
Aku diam tidak menjawab, air mataku sudah meleleh di pipi. Bahkan aku tidak tau kenapa menangis.
"Oke, kita ke rumahnya sekarang, perumahan depan itu tempatnya." Alan kembali menjalankan mobilnya.
Begitu melihat Andric dirumahnya, rasa sedih itu berganti dengan bahagia. Senyumku mengembang sempurna.
Aku merasakan semua tubuhku bereaksi dan kembali normal. Aku makan brownies yang disajikan dengan lahap seperti orang kelaparan, hanya butuh waktu lima menit untuk mengosongkan piring dan gelas minumku.
Obrolan Andric dan Alan awalnya hanya seputar pekerjaan, aku sama sekali tidak ingin terlibat. Aku hanya mendengarkan dengan seksama. Suara Andric seperti lagu nina bobo yang membuatku mengantuk, aku memejamkan mata menikmatinya.
"Ada apa sebenarnya Bro? Kamu gak kesini karena mau pamer pacar kan?" tanya Andric mengubah topik pembicaraan.
"Harusnya aku yang bertanya ada apa dengan kamu dan Dina, aku mengantarnya ke sini karena dia terus menanyakanmu."
"Tidak ada yang terjadi, kita masih makan siang bersamanya kemarin. Setelah itu aku tidak bertemu lagi, tidak ada kepentingan ataupun janji yang mengharuskan dia bertemu lagi denganku. Dia jadi sedikit aneh ya?"
"Bukan sedikit, dia jadi sangat aneh. Ada hal yang telah mengubahnya jadi seperti ini, apa kamu tidak merasa bertanggung jawab?" nada bicara Alan terdengar mulai terbawa emosi.
"Maksudnya gimana? Aku tidak melakukan apapun." jawab Andric membela diri.
"Jangan pura-pura Bro, aku tau ketidaknormalan Dina karena hal gaib. Aku peringatkan padamu untuk tidak bermain-main dengan Dina."
"Astaga, bicaramu gak enak sekali Bro. Aku tidak kembali ke Jombang ke paranormal itu kamu juga tau sebabnya. Gak ada alasan jika yang kamu maksud aku pake guna - guna untuk mendapatkan Dina," suara Andric yang marah membuatku makin tak bisa menahan kantuk.
"Aku yakin ada yang mengirimkan mantra pelet padanya." Ya itu dia, mantra, aku ingat sekarang. Ada yang membacakan mantra dalam tidurku.
"Bagaimana kamu begitu yakin, Bro?"
"Karena aku pernah belajar. Aku pernah berguru ke Banyuwangi mempelajari hal-hal seperti itu. Dulu aku pernah sangat tertarik ketika melihat bagaimana keris bisa berdiri dan diterbangkan.
Namun sekarang aku menyesal karena semua itu membuat pintuku terbuka, aku mudah kesurupan. Pelet bukan hal yang menarik buatku, tapi aku tau pasti karena itu termasuk ilmu dasar."
Aku sama sekali tidak kaget dengan penjelasan Alan. Alan tidak sedang berbohong dan Aku juga tau kalau yang dikatakannya benar.
"Allah," desah Andric lirih mendengar kisah Alan. Tapi itu terdengar seperti lagu pengantar tidur yang indah yang dinyanyikannya khusus untukku, aku merasa tenang dan akhirnya terlelap di sofa rumahnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Rika Iftakul
dinara edan gila nih
kan klo nabrak ya gak jadi ktemu andric loe din
2025-01-27
0
Hulatus Sundusiyah
kasihan dinara...
penasaran sih..sapa yg melet dia
2024-09-27
1
Ali B.U
next
2024-05-15
3