"*D*atanglah…."
"Datanglah padaku…."
"Datanglah padaku pengantinku…"
"Datanglah padaku sekarang…."
"Datanglah sebelum terlambat…."
Malam sangat sunyi. Suara memanggil serupa bisikan di telinga ini sangat mengusik tidurku. Ingin sekali aku berlari ke arah suara itu, tapi kemana aku harus menuju?
Panggilan manis ini membuat jantungku berdetak lebih cepat, mengirim gelanyar aneh ke seluruh tubuh. Suaranya seperti magnet yang menyihirku untuk mendatanginya, tapi aku masih belum tau dari mana asal bisikan ini. Terasa sangat dekat dengan telinga tapi seperti dihembuskan dari tempat yang amat jauh.
Aku tersadar dan membelalakkan mata, keringat di seluruh tubuh membasahi pakaian tidurku. Udara sangat dingin, hanya suara jam dinding yang terdengar. Tepat pukul dua belas malam.
Ini malam ketiga aku mendapatkan mimpi aneh. Bukan mimpi yang sebenarnya karena aku tidak bertemu siapapun dalam tidurku, aku hanya mendengar suara. Suara yang memanggilku dengan kelembutan. Suara yang ingin aku dengar lagi walaupun tubuhku kehilangan kendali. Suara yang menegakkan bulu kuduk.
Aku mengambil air minum dan termenung memikirkan panggilan itu. Menyalakan televisi di ruang tengah demi mengurangi sunyi malam dan mengalihkan ketakutan yang tidak bisa aku lawan.
"Ada apa lagi? masih mimpi yang sama?" tanya Mas Ari mengagetkan, aku tidak mendengarnya ketika keluar kamar dan mendatangiku. Dia duduk di sebelahku mencoba menikmati acara televisi juga.
"Iya Mas." Aku bergumam, "Aneh sekali, dan sekarang aku merasa ingin pergi ke Jombang ke rumah Pakde Karman."
Entah pikiran dari mana tiba - tiba aku ingin mengunjungi Pakde, apakah ini panggilan dari sana? mengapa pikiranku mengatakan demikian?. Terasa aneh dan membuatku ngeri, apalagi jika ingat kata 'pengantin' dan 'sebelum terlambat'.
"Kita diskusikan ini sama Bapak besok pagi ya!" kata Mas Ari. "Jangan gegabah sampai pergi ke sana Din, apapun yang akan kamu lakukan sebaiknya bicarakan dulu sama Mas," lanjut Mas Ari khawatir.
Aku mengangguk setuju, "Dina takut tidak bisa mengendalikan kemauan Mas."
"Tetaplah logis dan banyak berdoa, mungkin membaca Al Qur'an sekarang bisa lebih menenangkan dari pada menonton tv, Mas akan menunggu sampai kamu selesai."
"Iya Mas," jawabku singkat meninggalkan Mas Ari untuk mengambil air wudhu.
***
Alan menemuiku sore ini di tempat kerja setelah tiga hari tidak ada kabar. Wajahnya tidak seburuk waktu terakhir dia berkunjung ke rumah.
"Ayo makan di kantin bawah," ajak Alan. "Aku lapar sekali."
Sebenarnya aku enggan pergi sama Alan, takut sama Wanda. Tapi satu sisi aku ingin tau kabar anaknya yang hampir di racun ibunya itu. Aku juga penasaran yang terjadi padaku dan mimpiku tiga malam ini apa ada hubungannya dengan Alan. Aku masih ingat cerita Alan yang curiga dengan Wanda setelah menemukan foto mereka terikat benang di dalam lemari bajunya.
Aku mengangguk, "Makan soto aja ya, aku pingin makan yang panas - panas."
"Gimana kabarmu Din, kamu kelihatan tidak sehat. Sedikit pucat," kata Alan menatapku intens.
Aku mengambil sendok dan mulai makan, menelan suapan pertamaku baru menjawab, "Aku baik aja, hanya kurang tidur."
"Kamu lagi mikirin apa?" desak Alan ingin tau. "Mikirin aku atau yang lain?" ajaknya bercanda.
"Apa ada tertulis di sini namamu?" tunjukku ke daguku.
Alan terbahak-bahak, "Harusnya kamu menunjuk dahi sayang, bukan dagu. Ternyata kamu pandai bercanda juga, tapi aku serius tanya karena kamu seperti orang yang sedang banyak pikiran. Tidak seperti yang lalu - lalu."
"Aku hanya memikirkan mimpiku beberapa hari ini. Mimpi yang cukup aneh menurutku, tapi aku gak apa - apa, serius." Aku tidak ingin membagi apa yang kupikirkan tentang mimpiku sama Alan, "Jadi gimana anakmu? apa semua baik - baik aja?"
"Masih baik - baik aja sampai hari ini, gak tau ke depannya," jawab Alan dengan senyum masam. Sekarang dia yang kelihatan kelebihan beban pikiran. "Waktu aku pulang dari rumahmu itu susunya memang sudah dicampur dengan racun serangga, Wanda hanya tinggal memastikan aku datang atau aku akan kehilangan anakku."
"Wow, wanita yang cukup nekat." Aku benar-benar terkejut mendengar ini.
"Aku menamparnya, aku kesal dan gak bisa menahan diri lagi, rasanya ingin tak cekik aja perempuan sialan itu." Alan bercerita dengan menggebu - gebu.
Aku tidak berani memberikan tanggapan, takut menyinggung perasaan Alan. Aku hanya diam menunggu dia melanjutkan ceritanya.
"Itu termasuk salah satu alasan aku menceraikannya, Wanda selalu berkelakuan yang hanya benar menurutnya, sama sekali tidak berpikir panjang dan tidak pernah mendengar orang lain. Dia perempuan dengan ego yang sangat besar, selalu mengambil resiko yang buruk dalam setiap tindakannya." Alan bergidik ngeri ketika menceritakan kelakuan istrinya.
"Mungkin dia perlu dokter jiwa, coba bawa konsultasi siapa tau ada yang bisa kamu lakukan untuk menolongnya," kataku coba memberikan solusi.
"Aku capek Din, bicara dengan orang yang tidak bisa mendengar itu serasa percuma." Alan bersungut - sungut menahan kesal.
"Jadi apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku belum tau, kepalaku pusing menghadapi kelakuannya. Baru malam itu dia mau meracuni anaknya, siangnya dia coba bunuh diri dengan memotong nadi lengannya."
"Astaga …. " Aku melongo saking terkejutnya.
"Untungnya tidak parah, jadi hanya dijahit dan tidak sampai menginap di rumah sakit."
"Bagaimana keluarganya menanggapi semua itu?"
"Semua menyalahkan aku lah Din, semua penyebab kelakuan Wanda dianggap karena dia sedang mempertahankan rumah tangganya," jawab Alan getir.
"Ya memang masuk akal, mungkin hanya itu yang terpikir olehnya untuk menarik perhatianmu. Setelah sebelumnya tidak ada satupun dari usahanya yang bisa membuatmu tertarik lagi padanya." Aku tidak bermaksud membela Wanda, aku hanya menyuarakan pendapatku tanpa ada maksud ikut campur lebih jauh. "Maaf tidak bermaksud menggurui."
"Ya Wanda mendapatkanku, akhirnya aku setiap hari pulang ke rumahnya untuk meredam masalah ini."
"Kenapa tidak rujuk aja Mas? Kalau itu memang lebih baik buat anakmu, buat Wanda juga."
"Aku tidak tau, aku tidak lagi merasa bahagia hidup dengannya. Aku merasa tertekan."
"Cobalah ke konsultan rumah tangga Mas, siapa tau segala sesuatunya bisa diperbaiki. Aku yakin kalian masih saling mencintai."
"Aku tidak yakin masih mencintainya, aku rasa aku sudah jatuh cinta padamu Din. Aku sudah memutuskan untuk tetap menceraikannya, aku hanya butuh waktu untuk meyakinkan Wanda kalau kami sudah tidak bisa bersama lagi."
"Sepertinya itu bukan ide yang bagus." Jujur saja aku tidak menyukai gagasan Alan.
"Ya itu memang ide yang buruk. Itu menempatkanmu dalam bahaya, aku mengkhawatirkanmu. Wanda orang yang penuh amarah dan dendam."
"Jadi jauhi aku, jangan ada lagi pertemuan tidak penting seperti ini lagi," kataku kesal.
"Itu yang aku tidak bisa. Aku tidak akan mundur."
Mulutku ternganga. Jelas aku sedang dalam pertaruhan nyawa.
"Aku juga belum sempat mengunjungi Mbah Kyai di Jombang, Din."
Firasatku benar - benar buruk sekarang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Isnaaja
si_alan ini aneh, katanya tau dan faham kelakuan wanda, tapi bisa bisanya masih mendekati dinda dan membahayakannya. kesel ya lama lama😠
2025-02-09
1
Aslama NH4
firasatku juga buruk....entah kenapa
2024-11-27
1
FiaNasa
Alan bener nekad mau deketin Dina nih,,,aq juga jadi curiga sama pak denya yg paranormal itu,,jangan² yg slalu mencumbu Dina diwaktu tidur itu pakdenya ya,kan sakti dia..lagian Dina juga mau tidur gak baca doa paling
2024-10-09
1