ch 2

Perjalanan ke Jombang terasa membosankan. Aku tidak jadi menyewa mobil karena Alan berbaik  hati mengantarkan kami dengan mobilnya. 

Sebenarnya aku lebih suka nyetir sendiri dan bisa bercerita bebas dengan kedua orang tuaku, tapi sekarang orang tuaku malah asyik ngobrol sama Alan di mobil, sementara aku hanya diam mendengarkan, tidak ada niat untuk ikut campur.

Hampir jam dua belas malam ketika kami sampai di rumah Paklek Budiono, adik Bapak. Aku langsung ke kamar yang disediakan untuk istirahat bersama ibu. Sementara Alan dan Bapak ngobrol di ruang tamu sama Paklek. Sayup - sayup suara obrolan mereka terdengar karena kamar ini memang dekat dengan ruang tamu.

"Alan itu umurnya berapa Nduk? kelihatannya sudah matang ya?" tanya ibu.

"Dina nggak tau Bu, Dina juga kan baru kenal sama Alan."

"Ibu suka sama Alan, dia dewasa, sopan dan menyenangkan. Kelihatannya dia juga sudah cukup mapan untuk menikah. Ibu harap kamu nggak menolaknya Nduk, umurmu sudah mau 29 tahun."

"Tapi Dina nggak suka sama Alan Bu, lagian ini terlalu cepat, Dina belum begitu mengenal Alan."

"Setelah menikah semua orang akan adaptasi dan kenalan lagi dengan pasangannya walaupun sudah bertahun - tahun pacaran. Jadi pacaran lama juga nggak ada untungnya, semua yang ditunjukkan pada saat pacaran itu semu. Setelah menikah baru tau kenyataan dan sifat asli pasangan, bukan jaminan pernikahan yang bahagia karena sudah sangat mengenal pasangannya sebelumnya," Ibu menjelaskan dengan bijak.

Aku tidak mau berdebat dengan ibu, jadi aku memilih diam dan bersiap tidur. 

Dari ruang tamu aku mendengar obrolan Bapak dan Alan seputar kejadian yang dialami Alan kemarin. Dia bercerita bahwa tubuhnya kadang tidak terkendali ketika berdekatan dengan seseorang yang punya kelebihan seperti Bapak. 

Diapun mengatakan bahwa dia mendapatkan firasat bahwa aku akan membawanya pada kesembuhan. Aku tidak memahami pembicaraan yang hanya aku dengar sebagian itu karena selanjutnya aku terlelap dalam tidurku hingga pagi menjelang.

***

Paginya aku dan keluarga diantar ke rumah Kyai Husni sesuai permintaan Bapak. Aku tidak banyak bertanya, mungkin Bapak berniat membantu Alan dengan membawanya ke Mbah Kyai tersebut. 

Kyai Husni sudah sangat tua, beliau pun tidak banyak bicara seolah - olah tau apa maksud kedatangan tamunya.

Seorang pemuda membantu Kyai Husni membawakan minyak dalam piring - piring kecil. Aku tidak tau apa itu, kami sekeluarga hanya menuruti perintah untuk meminum minyak tersebut. 

Aku lihat bapak mengusapkan sisa - sisa minyak ke lengan dan rambutnya. Jelas sekali bapak tidak mau membuang minyak tersebut sedikitpun. Dan kami semua mengikuti apa yang Bapak lakukan.

Keluar dari rumah Kyai Husni kami melanjutkan perjalanan lagi mengunjungi saudara Bapak yang lain. Kali ini ke saudara yang belum pernah aku tau sebelumnya, Bapak bilang saudara dari adik kakek buyutku. Pakde Karman namanya.

Rumahnya megah dan cukup ramai, bahkan ada tukang parkir yang mengatur kendaraan datang. Aku bertanya apa saudara Bapak ini pejabat atau orang penting, karena tamunya banyak sekali. 

"Bukan pejabat Nduk, pakdemu ini paranormal yang sudah punya nama," jawab Bapak santai.

"Trus kita ke sini ngapain Pak?" aku bertanya curiga.

"Silaturahmi, sejak menikah dengan Ibumu, Bapak tidak pernah lagi bertemu Pakdemu."

Aku tidak bertanya lagi, hanya mengikuti Bapak menemui pakde. Sambutan yang luar biasa ramah dari Pakde, jamuan makan yang cukup mewah disajikan sambil menunggu pakde yang sibuk menangani tamu - tamunya.

Setelah selesai makan aku pergi ke samping rumah, duduk di taman dengan kolam ikan kecil dan patung buaya di tengahnya. Semilir angin membuatku mengantuk dan terlelap beberapa saat di sofa itu. 

Laki - laki itu besar sekali dan berwajah kaku menyeramkan, pakaian hitam dengan ikat kepala warna senada mengingatkan aku pada seorang pendekar di film laga yang pernah kutonton. 

Badanku terasa tegang dan tidak bisa bergerak, terhipnotis matanya yang liar menatapku, bahkan sekarang dia mendatangiku. Tangannya yang besar mengambil daguku dan mencium bibirku dengan bernafsu. Aku berusaha memberontak tapi tidak ada yang terjadi, aku seperti tersihir dan diam menikmati cumbuan itu.

"Din, jangan tidur di sini!" Aku mendengar suara Alan dari jauh. Bahuku seperti diguncang seseorang, "Din, bangun," Alan memanggilku lagi, kali ini terasa lebih dekat. Tiba - tiba aku bisa membuka mataku dan tersadar dari tidur lelapku. Aku melupakan mimpiku.

Aku dan Alan kembali ke ruangan tempat keluargaku berkumpul, ternyata Pakde sudah bergabung dan sedang mengobrol seru dengan Bapak. 

Pakde badannya kurus dan tampak pucat seperti orang sakit, tapi dari suara bicaranya menunjukkan kalau beliau sangat sehat. Tatapan matanya dalam dan cukup menusuk, ada sesuatu yang membuatku merasa lemah ketika dia menatapku. Aku takut.

"Senang sekali kamu datang mengunjungi Pakdemu ini, seperti mimpi kejatuhan bulan," kata pakde sembari tersenyum menatapku. Senyum ganjil yang lebih mirip seperti seringai.

Aku mengangguk, "terima kasih Pakde, maaf sudah mengganggu waktu pakde".

"Kamu bisa minta tolong pakde jika kamu punya kesulitan. Kata Bapakmu kamu belum menikah, kamu mau suami yang bagaimana Nduk, yang tampan, yang kaya? Sebutkan saja siapa orangnya Pakde akan mewujudkan keinginanmu!"

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum kaku.  Alan melirikku tajam.

Setelah satu jam mengobrol dengan Pakde akhirnya kami pamit pulang. Pakde juga sudah ditunggu tamu - tamunya.

Sebelum pulang aku minta ijin ke kamar mandi sebentar, dengan diantar pembantu. Bau kemenyan begitu pekat di ruangan yang aku lewati, ternyata ruangan itu untuk meletakkan sesaji. 

Aku terkejut melihat besarnya sesaji yang digelar di ruangan itu. Meja seukuran tempat tidur king size penuh dengan hidangan makanan, minuman, buah, tumpeng dan yang paling mengejutkan dua kepala sapi di sebelah kiri dan kanan nasi tumpengnya. Asap mengepul dari kemenyan yang dibakar di antara hidangan - hidangan itu. 

Aku berjalan cepat menuju mobil setelah dari kamar mandi, ekor mataku menangkap sosok hitam laki - laki dalam mimpiku tadi menyeringai dari ruang sesaji. Jantungku berdegup kencang karena rasa takut, namun ketika aku sengaja melirik kearah ruangan itu tidak ada siapapun di sana. Kepalaku mendadak terasa berat. 

Alan melajukan mobil perlahan sambil menikmati sore, kami hanya akan mengantar bapak dan ibu ke rumah Bulek Siti. Mereka akan menginap di sana malam ini.

"Kepalaku pusing sekali" Alan mengeluh padaku.

"Mau gantian aku aja yang bawa mobilnya? Mungkin kamu kecapekan," jawabku.

"Sebentar lagi sampai kan? Nanti aku istirahat di rumah bulekmu aja dulu sebelum kita balik ke Surabaya," Alan menyahut dengan wajah pucat seperti menahan rasa sakit.

"Oke". Aku setuju saja. "Alan..." teriakku karena dia mengerem mendadak ketika mobil akan melewati jembatan.

Kepala Alan menyandar menengadah dengan mata melotot, tangannya masih memegang setir. Aku segera memasang hand rem. "Pak, Alan kenapa pak?"

Alan tiba - tiba mengeluarkan suara erangan tidak jelas, tubuhnya mulai tegang dengan mata yang masih melotot keatas.

"Turun semua dari mobil!" perintah Bapak.

Alan kerasukan lagi.

***

Terpopuler

Comments

Ita Andriyani

Ita Andriyani

sudah ke 3 kali baca ini,
tapi masih seru banget
sukses selalu mas

2024-11-18

1

FiaNasa

FiaNasa

ikutan panik nih

2024-10-09

0

Al Fatih

Al Fatih

menegangkan

2024-08-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!