Malam belum larut, aku masih membaca novel petualangan yang menceritakan suku bangsa Skandinavia yang terjebak badai di laut. "Viking yang malang," aku bergumam sendiri sambil menyeruput kopi di teras.
Sudah setengah sebelas malam tapi Mas Ari dan Mbak Rahma belum datang. Aku lebih baik menunggu mereka di dalam rumah. Angin mulai dingin di luar, langit sangat gelap. Sepertinya sebentar lagi mau turun hujan.
Aku menutup bacaanku dan meletakkan kertas pembatas, aku akan melanjutkan membaca besok. Nonton televisi lebih baik untuk memecah sepinya rumah.
"Hallo Din, Mas nginep di rumah Mbakmu, hujan deres banget di sini. Kamu gak apa - apa kan di rumah sendiri?" suara Mas Ari terdengar kecil dari seberang telepon kalah dengan suara hujan dan petir yang menggelegar.
Akhirnya aku menghubungi Kakakku karena malam makin larut dan dia tidak memberi kabar apapun.
"Iya Mas, Dina gak apa - apa. Ya udah Dina mau ke depan dulu, kirain Mas pulang jadi gerbang depan belum Dina gembok."
"Oke, hati - hati ya. Telpon Mas kalau ada apa - apa, kalau hujan segera mereda Mas usahain pulang aja gak jadi nginep. Kasihan kamu di rumah sendirian, malam Jum'at pula."
"Oke, bye." Aku menutup panggilan dan jalan ke depan rumah mengunci gerbang. Rupanya rintik hujan mulai turun, dan kilat di kejauhan sudah kelihatan jelas.
Melihat ke langit yang makin hitam dan mendung menggelayut di kakinya menunjukkan sebentar lagi hujan akan sangat deras bercampur dengan petir.
Aku segera masuk rumah, mematikan televisi dan mengambil minum untuk persediaan di kamar. Tidak lupa membawa masuk lampu darurat buat jaga - jaga listrik padam.
Coba Mas Ari ngabari dari tadi, setidaknya aku bisa mengajak Yeni nginap di sini. Aku masih ingat panggilan dalam mimpiku di tiga malam berturut-turut. Dan sekarang malam Jum'at, jelas aja aku meradang memikirkan harus tidur sendirian.
Waktu baru menunjukkan pukul sebelas malam, akhirnya hujan turun dengan derasnya dan petir mulai terdengar keras. Aku belum mengantuk jadi aku kembali membaca novel.
"Subhanallah," aku kaget dan berjingkat seketika mendengar suara petir yang sangat keras, dan benar saja setelahnya listrik pun padam. Menyambut tengah malam dengan kegelapan membuat nyaliku menciut.
Lampu darurat sudah menyala sempurna, tapi aku tidak lagi berniat membaca. Aku ingin cepat tidur agar malam segera berlalu. Selimut tebal sudah menutupi tubuhku sampai dada, malam sangat dingin. Aku memejamkan mata dan melupakan segalanya.
"Terlambat…."
"Pengantinku…."
"Sudah terlambat…."
Suara petir menggelegar menenggelamkan suara - suara bisikan yang indah itu. Aku masih ingin mendengarnya, tapi aku terbangun karena kerasnya suara ledakan petir di atas rumah.
Aku duduk di tepi ranjang dan minum air putih untuk menenangkan degup jantungku. Listrik masih padam, aku melirik jam dinding menunjukkan pas tengah malam. Ternyata baru satu jam aku terlelap.
Hujan makin deras dan petir masih bersahutan laksana suara ledakan kembang api di malam tahun baru.
Kali ini aku tidak ingin terganggu, aku tidak mau memikirkan mimpi barusan. Aku berusaha tidak memikirkan pesan yang disampaikan lewat mimpi itu. Aku juga tidak mampu mencerna kata - kata yang selalu dibisikkan. 'Sudah terlambat', ya mungkin memang sudah terlambat. Aku tidak perduli.
Aku kembali merapatkan selimut dan ternyata tidak butuh waktu lama untuk kembali terlelap.
"Sun moto ajiku…."
"Kencono…."
"Sun jalakake jagat wetan…."
"Opo maneh jabang bayine…."
"Aran asih marang…."
"Godhong kayu kanthil lulut karo…."
"Teko welas teko asih…."
"Asiho…."
Tiba - tiba aku sadar. Aku membuka mata ketika suara - suara seperti berbisik dalam kepalaku itu menghilang. Aku menggigil kedinginan tapi tubuhku penuh keringat. Seluruh bulu di tubuhku berdiri tegak seperti ditarik sesuatu yang tidak terlihat.
Aku menangis tanpa sebab, aku bingung dengan perasaanku. Seperti ada seseorang yang sangat kurindukan. Aku seperti sedang jatuh cinta dan tidak tahan ingin bertemu dengannya. Tapi 'dengan siapa?'
Bisikan yang kudengar barusan berbeda, kata - katanya berbeda, Bukan panggilan seperti sebelumnya tapi seperti aku dipaksa mendengarkan orang membaca.
Berbahasa Jawa, aku mengingatnya sedikit sekali meskipun yang diucapkan dalam mimpiku terdengar banyak dan lama. Ini seperti rentetan mantra. Otakku mengatakan ini mantra, ada yang mengirimkan mantra ini kepadaku. 'Kenapa aku bisa mendengarnya?'
Aku mengusap air mataku, waktu menunjukkan pukul dua dini hari, listrik sudah kembali menyala. Hujan sudah reda, petir pun sudah tidak terdengar. Hanya rintik - rintik air dan desau angin yang masih lirih terdengar. Aku lelah dan tidak mampu lagi membuka mata. Aku kembali tidur, kali ini sampai pagi tanpa ada gangguan lagi.
***
"Siang Din" sapa Alan. Kami tidak sengaja bertemu di kantin. Dia juga mau makan bersama Andric sedangkan aku dan Yeni sudah duduk siap menyantap makan siang yang sudah kami pesan. "Boleh gabung ya?"
"Siang." Aku mengangguk mempersilakan mereka makan satu meja dengan kami.
"Dari mana Mas?" tanya Yeni pada Alan.
"Dari cari sparepart untuk servis, kebetulan ketemu Andric yang sedang kelaparan jadilah kami di sini sekarang."
"Pasar lagi bagus ya Din? Tokomu ramai terus beberapa hari ini." tanya Alan.
"Iya, penjualan naik akhir - akhir ini. Mas Andric juga mengalami peningkatan penjualan?" aku menatap Andric takjub, perasaanku mengatakan Andric hari ini terlihat jauh lebih tampan dari pada saat terakhir kami bertemu.
"Ya begitulah, alhamdulillah." Andric menjawab singkat.
Aku melihat Andric dan Alan secara bergantian, terus menerus begitu. Ada perasaan senang yang membuatku tersenyum bahagia. Ya entah apa yang membuat aku merasa bahagia bertemu mereka.
"Gimana hasilnya waktu ke Jombang kapan hari Mas? Apa masalah Mas Andric sudah selesai? Uangnya udah ketemu tah?" tanyaku beruntun.
"Sudah aku ikhlasin Din, kalau memang masih rezeki nanti juga balik ke aku lagi."
"Loh berarti ke Pakde itu gak ada penyelesaian?" tanyaku. Tiba - tiba aku merasa deg - degan ketika menyebut kata Pakde.
"Aku gak balik ke sana lagi. Pakdemu meminta aku ke sana lagi membawa syarat yang diperlukan untuk ritual mencari orang yang kabur bawa uangku itu, tapi aku merasa kurang cocok dengan metodenya."
"Oh apa aja syarat yang diminta Pakde Mas?"
"Banyak, seperti bunga tujuh rupa, ayam jago warna hitam dan remeh temeh lainnya."
" ... " Aku memahami permintaan tersebut akan digunakan untuk sesaji nyuguh Sing Mbaurekso (kekuatan yang akan dipanggil untuk dimintai tolong).
"Aku lebih sreg berdoa pada Tuhan," tukasnya kemudian. "Aku tidak bermaksud mengecilkan kepandaian Pakdemu, aku tau Beliau paranormal hebat. Aku hanya merasa tidak sreg, maaf!".
Andric tulus memohon maaf dalam tatapannya, aku tau dia tidak bermaksud menyinggungku. Aku tersenyum dan ikut senang dengan pilihannya tidak menggunakan jasa Pakde untuk menyelesaikan masalahnya.
Tidak ada komentar apapun dari Alan, wajahnya mengungkapkan rasa tidak senang. Mungkin dia cemburu aku hanya mengajak ngobrol Andric. Atau mungkin dia tidak senang karena sudah membuang waktunya mengantar Andric ke Jombang. Sementara Yeni hanya menyimak karena dia memang tidak tau apa - apa soal ini.
"Oh no .... " Gumamku, aku langsung menyeret lengan Yeni untuk segera meninggalkan obrolan. Aku tidak peduli dengan makanan yang belum kami habiskan, bahkan aku tidak pamit pada Alan dan Andric. Otakku memerintah untuk menjauhi Alan secepatnya.
Wanda menggandeng anaknya yang masih balita berjalan mendekati meja Alan dan Andric. Dia tersenyum padaku. Senyuman yang sangat sinis.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Rika Iftakul
apa andric pkai pelet thor
2025-01-26
1
FiaNasa
kenapa gak Dina mimpi buruk gitu gak langsung bangun,,ambil wudhu trus sholat ma ngaji biar gak.diganggu setan
2024-10-09
2
Ali B.U
next,
2024-05-15
2