ch 14

Setelah keluar dari klinik kesehatan aku menghubungi Farida mengabarkan kalau aku tidak masuk hari ini. Aku meminta tolong agar dia lembur menggantikanku sampai malam.

"Kita makan siang, setelah itu langsung pulang biar kamu bisa segera istirahat," kata Andric sedikit panik. Dokter menyatakan aku hanya kurang istirahat dan kelelahan. Tapi badanku sungguh makin panas dan kepalaku berasa mau meledak.

"Kata - katamu manis sekali, Andric," ujarku terkekeh. "Aku merasa tersanjung."

"Makan ini selagi hangat dan setelah itu minum obatmu, aku tidak ingin ada cewek kolaps di depanku!" perintah Andric.

Aku mengangguk dan mulai makan. Tidak seperti pagi tadi kali ini aku hanya mampu makan tiga sendok karena mual hebat. Aku minum obat yang diberikan dokter dan bernafas panjang - panjang untuk menghindari muntah.

"Alan mengkhawatirkanmu, dia terus menanyakanmu," kata Andric sambil membaca pesan masuk di ponselnya dan sesekali membalas.

"Seharusnya dia mengkhawatirkan kemarahan Wanda."

"Ya makanya dia tidak bisa menemui kamu sekarang, soalnya dia pulang mau menjaga anaknya, takut Wanda kalap dan anaknya jadi sasaran."

"Ohya, lalu gimana keadaan anaknya?"

"Baik aja, dia akan membawa anaknya ke rumah ibunya. Tapi Alan tidak menemukan Wanda di rumahnya, dia takut Wanda sedang merencanakan sesuatu untuk mencelakaimu, jadi dia sedang mencari Wanda."

Aku menelan ludah. Aku menatap Andric ngeri. 

Andric memapahku, "Kita pulang sekarang, kamu gemetaran kayak nenek - nenek."

Tapi, bukannya mengantar pulang Andric justru membawaku ke rumahnya. Aku menyesal di mobil tadi hanya memejamkan mata.

"Aku ingin istirahat di rumahku, aku ingin tidur. Badanku sangat lelah," protesku.

"Kamu bisa tidur di kamarku. Aku yakin itu yang kamu butuhkan sekarang, dan itu akan membuatmu bisa beristirahat lebih baik karena aku ada didekatmu. Bukankah waktu kesini sama Alan kemarin kamu bisa tidur lelap walaupun di sofa?"

Aku mengangguk pasrah pada akhirnya. Wajahku panas dan aliran darahku jadi lebih cepat ketika Andric membawaku ke kamarnya. Dia meminta asisten rumah tangganya membawakan air putih dan teh panas ke kamar.

Andric duduk di tepi ranjang. Dia kembali menempelkan punggung tangannya di dahiku untuk mengecek suhu tubuh, masih kurang puas dia membawa telapak tanganku untuk di tempelkan di pipinya, "Gila, kamu panas sekali. Kenapa obat turun panasnya belum bekerja?" Andric bergumam jengkel. "Mau di kompres?"

Aku menggeleng pelan, "Aku baik - baik aja." Aku memejamkan mata mengingat kata - kata Wanda tadi, "Andric, apa kamu ingat apa yang dikatakan Wanda tadi?"

"Ya, 'apa gak cukup aku aja', gitu  kan?" Andric masih memegang tanganku, memijat titik saraf samping ibu jariku.

"Bagaimana Wanda tau kalau aku sedang mengejarmu? Apakah Alan yang cerita? Atau kamu yang memberitahunya? Kalian saling mengenal." Aku meringis menahan sakit.

"Aku bahkan baru ketemu Wanda tadi itu, kurasa Alan tidak pernah membahas apapun tentangmu dengan Wanda,"

"Apa itu tidak mencurigakan? Mungkinkah…." Aku berhenti, tidak berani mengambil kesimpulan. Aku tidak mau berburuk sangka. "Sakit Andric," teriakku memelototinya ketika pijatannya makin keras di telapak tanganku.

"Ini bisa mengurangi sakit kepala, kata Abah sih," ujarnya serius. "Aku juga berpikiran kalau yang membuatmu begini ya Wanda."

"Tapi kenapa? Kenapa juga harus kamu yang kukejar?"

"Mungkin usahanya terhadap Alan tidak berhasil karena hanya bertahan sehari jadi terpaksa dia melakukannya padamu."

"Tapi kamu kan gak ada masalah sama Wanda."

"Orang seperti dia tidak butuh alasan untuk melampiaskan amarah. Lagian mau dipasangkan dengan siapa lagi, dia taunya kamu kan juga kenal sama aku. Masak iya mau dibuatnya kamu naksir anaknya presiden," katanya tertawa.

"Aku jadi merasa gimana gitu sama ancamannya tadi." Aku memejamkan mata ketika pijatan Andric di telapak tanganku menjadi lembut seperti usapan - usapan yang menenangkan.

"Everything will be okay honey," katanya lembut. Gombalan khas Sang Flamboyan.

Aku tertawa lirih sambil terpejam, "Jangan mengejekku, disini ceritanya hanya aku yang dibuat jatuh cinta, jadi gak usah ikut-ikutan, nanti kamu tersiksa seperti aku." 

Andric membawa tanganku untuk menyentuh pipinya, dia kelihatan jengkel dan gak sabar, "Masih panas."

Aku membuka mata karena tiba - tiba dia mengecup punggung tanganku.

"Tidurlah!" perintahnya dengan sangat manis.

"Aku sudah berusaha tapi tidak bisa, kepalaku sakit, mataku panas, otakku penuh kebanyakan pikiran," ucapku lirih seperti orang putus asa.

"Fokuslah padaku," kata Andric. 

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku ketika wajahnya mendekatiku. Aku menatap bibirnya lesu, aku menelan ludah menahan rasa inginku.

"Membantumu fokus," bisiknya di telingaku. Dia mengecup pipiku lembut, meletakkan tanganku di lehernya dan menyentuhkan bibirnya di sudut bibirku.

Aku memejamkan mata dan menariknya lebih rapat agar dia bisa memberikan sentuhan lebih padaku. Kubuka bibirku menantang kecupannya.

"Andric .... " Suaraku keluar serupa ******* ketika dia memperdalam ciumannya.

Makin lama kelebatan wajah Wanda, Alan, Pakde Karman, suara bisikan dan semua yang mengganggu kerja otakku menghilang. Pikiranku dipenuhi dengan Andric, bibirnya berasa seperti racun yang memabukkan, memberiku ketenangan sekaligus membuatku mengantuk.

Akhirnya aku terlelap setelah Andric melepas ciumannya.

***

Menjelang magrib aku terbangun, empat jam lebih aku tidur dengan sangat lelap. Aku keluar kamar mencari Andric, rupanya dia baru saja berangkat ke masjid.

Aku kembali ke kamar, mandi sekedarnya dan merapikan tampilanku. Meminjam mukena asisten Andric untuk menjalankan ibadah sholat magrib. Setelahnya aku menunggu Andric di ruang tamu.

Makan malam dihidangkan setelah Andric datang, tidak mewah tapi cukup menggugah selera.

"Aku gak tau apa yang salah, panas badanmu gak turun. Wajahmu jadi kemerahan kayak udang," kata Andric menggodaku jenaka. "Makanlah yang banyak, jika demammu tidak mereda setelah minum obat besok pagi aku antar ke rumah sakit, mungkin butuh pemeriksaan lebih lanjut."

"Tapi sakit kepalaku mereda, aku merasa lebih baik kok. Mungkin karena kurang tidur aja, jika malam ini aku istirahat total besok pagi pasti sudah membaik."

"Siapa yang akan jamin kalau kamu bisa tidur malam ini?"

"Ya setidaknya aku sudah cukup tidur siang ini, kalaupun nanti aku tidak bisa tidur aku akan membaca novel sambil menunggu pagi."

"Menginap saja di sini, gak usah pulang. Aku akan menemanimu membaca jika kamu gak bisa tidur," pintanya sambil mengedipkan sebelah matanya. "Aku akan menelpon kakakmu minta izin jika kamu setuju."

"No, thanks," jawabku cepat. Kami sudah selesai makan dan kembali ke ruang tamu.

'Kenapa? Apa kamu takut padaku sekarang?" Andric tertawa meledek.

Aku meringis malu, "Anggap saja begitu."

"Dina ... Dina, apa kamu lupa yang kena mantra pelet itu kamu. Jadi aku yang seharusnya takut kamu akan memperkosaku, bukan sebaliknya," kata - katanya vulgar dan tawanya meledak kemudian.

"Sialan kamu," kataku takjub karena tertebak dengan sempurna.

"Aku khawatir Wanda akan datang ke rumahmu dan bikin ribut, aku hanya ingin membantumu. Aku akan menjagamu di sini."

"Itu bukan cara kerja Wanda, dia tidak akan mengotori tangannya yang bisa membuat Alan membencinya. Dia akan bergerak dalam senyap," menurutku begitu.

"Baiklah, telepon aku jika ada apa - apa."

"Ada kakakku di rumah, aku tidak mau merepotkanmu. Hari ini saja aku sudah membuatmu tidak pergi bekerja."

"Anggap aja aku lagi waktunya off. Oh ya, Alan marah aku menahanmu di sini, dia cemburu berat. Aku yakin besok dia akan membunuhku." tawa Andric senang. "Besok pagi mungkin dia ke rumahmu."

"Oh no, bantu aku menjauhi Alan, tolong aku Andric!" pintaku memelas. "Aku tidak ingin masalah ini memburuk, aku masih sayang nyawaku," aku berusaha bercanda.

"Baiklah," dia mengecek suhu tubuhku lagi. Bukan memegang dahiku, tapi mengambil tanganku dan meletakkan di pipinya. Cara yang aneh, tapi aku menyukainya, romantis. "Panasmu loh gak turun - turun," katanya kesal. 

Andric menarik tanganku untuk masuk dalam dekapannya, itu sangat mengejutkan. "Andric?"

"Apa kamu merasa nyaman jika aku memelukmu begini?"

"Iya … tidak … aku tidak bisa menolakmu sekarang, kamu tau itu Andric. Jadi jangan memanfaatkanku," jawabku getir.

Pelukannya mengetat dan ditambahi dengan ciuman dalam, nafasnya memburu ketika melepaskanku.

"Itu bekal agar kamu tidak tersiksa malam ini," katanya santai ketika mengusap bibirku dengan ibu jarinya. Wajahku merah padam dibuatnya. "Ayo aku antar pulang sekarang."

***

Terpopuler

Comments

Eka Chusnul Msi

Eka Chusnul Msi

cari kesempatan dalam kesempitan 🤣🤣🤣🤣

2024-03-21

1

Rena Febriana

Rena Febriana

mbak2 kena pelet tuh kok syahdu banget yaaa 🤣🤣🤣🤣🤣

2023-07-28

0

Kardi Kardi

Kardi Kardi

hmmmmm. andricccc becarefullll youuuu

2022-12-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!