Wajah Alan merah padam menahan marah. Jelas sekali dia tidak suka Andric menyentuhkan tangannya padaku. Perhatian Andric membuatnya cemburu.
"Aku kan cuma tanya kabar, kenapa harus marah, Bro?" jawab Andric santai.
"Kamu memanfaatkan situasi, Dina sedang dalam pengaruh mantra pelet tapi kamu justru menggodanya." Alan terbakar emosi, kata-katanya bernada ketus dan mengancam.
"Itukan memang gayaku, kamu sudah kenal aku lama," kata Andric tertawa geli melihat kegusaran Alan.
"Sudah-sudah jangan bikin kepalaku makin pusing, kalau mau bertengkar sana ke lapangan aja," kataku melerai. Mereka sungguh kekanakan.
"Iya sayang, jadi gimana kondisimu hari ini? Kita ke Dokter lagi aja ya, badanmu masih panas," bujuk Andric. Suaranya memang lembut dan manis. Aku menyukainya.
Aku melirik Alan yang menahan geram mendengar rayuan Andric, jika tidak di depanku mungkin Alan sudah memukul kepalanya. Aku tersenyum membayangkan jika itu terjadi.
"Aku baik aja, hanya sedikit lemas."
Sebenarnya aku memang harus ke dokter untuk buat surat keterangan sakit, tapi aku putuskan untuk pergi sendiri.
"Ehm ... kamu nggak terlihat baik. Matamu menghitam seperti zombie dan wajahmu jadi sedikit tidak manis karena pucat dan berantakan."
Aku tertawa terbahak-bahak, "Itu karena aku belum mandi, Andric. Aku baru aja bangun tidur wajar kalau kelihatan berantakan."
"I see," katanya lembut tapi sorot matanya tajam menghunjam jantungku.
"Mau teh juga?"
"Kalau kamu tidak keberatan membuatnya untukku."
"Ya, tunggu bentar."
"Norak," kata Alan, membuatku tertawa melihat betapa cemburunya dia.
"Ini tehnya! Aku tinggal mandi sebentar ya!"
Obrolan Andric dan Alan terdengar serius walaupun aku tidak bisa menyimak dengan benar, sepertinya mereka sedang membahas sesuatu yang mengkhawatirkan.
Setelah berpakaian aku menyemprotkan parfum kesukaanku, menyisir rambut dan mungkin akan memakai bedak dan lipstik untuk menyamarkan wajah pucatku.
Aku mengambil bedak dan membukanya, ketika memulaskan sponnya ke bedak tiba - tiba aku menjerit. Tanganku sakit dan kebas.
"Ya Allah," teriakku. Bedakku spontan terlepas dari tangan dan jatuh ke lantai kamar. Tutupnya lepas dan isinya bertaburan di lantai. Suara lengkingan perempuan tertawa terdengar menjauh. Jantungku berdegup tak terkendali.
Alan dan Andric muncul di kamarku dengan wajah panik. Pertanyaan 'ada apa' mereka lontarkan hampir bersamaan. Aku hanya menunjuk bedak padatku yang pecah berantakan tanpa bisa bicara.
Andric mendekapku memberikan perlindungan, dia tau aku ketakutan.
Sedangkan Alan memungut wadah bedak yang isinya sudah bertebaran.
"Astagfirullah Dina," kata yang keluar dari bibir Alan sontak membuat aku dan Andric menatapnya penuh tanya.
"Kenapa, Bro?" tanya Andric, dia makin ketat memelukku, menyandarkan kepalaku menghadap dadanya agar tidak melihat apa yang di ambil Alan.
"Kita ke depan, gak enak di sini," kata Alan segera keluar kamar dan kamipun mengikutinya ke ruang tamu.
"Apa itu?" tanya Andric penasaran.
Alan mengambil benda yang ada dalam wadah bedak, benda berwarna emas itu terjebak di sana karena masih ada sisa bedak padat yang tidak pecah menghambur di lantai.
Ukurannya hanya sebesar batang korek api, memiliki beberapa lekuk dan ujungnya meruncing. Aku tidak bisa memastikan benda itu kepalanya berbentuk apa karena masih diamati Alan. Tampaknya terbuat dari kuningan dan itu seperti keris.
"Keris, kepalanya berbentuk buaya," kata Alan bergumam pelan.
"Hah?" Aku dan Andric memberikan reflek suara tertahan yang hampir sama. Aku menutup mulutku dengan tangan yang gemetaran.
"Ada yang sedang main-main dengan Dina," kata Alan geram.
"Kamu gak apa-apa? kenapa tadi teriak? ada yang sakit?" Tanya Andric nggak sabar.
Aku menggeleng, "Cuma tangan kanan aja sakit kayak kena setrum."
"Kamu punya kepekaan terhadap barang-barang seperti ini sejak kapan?" tanya Alan lagi.
"Nggak tau tepatnya kapan, dulu pernah megang bulu perindu punya tetangga di Yogya, langsung kaget kayak kesetrum juga. Tapi gak menyakitkan seperti ini. Katanya itu bulu perindu asli, buat bantu penglaris dagangannya. Itu udah lama, tiga tahunan yang lalu kayaknya."
"Bapak tau kalau kamu peka begini?"
"Aku kan anaknya, pasti Bapak tau walaupun nggak pernah dibahas secara terang-terangan."
"Good, aku akan bicara sama Bapak nanti kalau beliau datang."
Kami sibuk dengan pikiran kami sendiri menerka apa yang sedang terjadi. Andric mengusap tanganku yang kesemutan dengan wajah iba ketika tiba-tiba Alan pamit.
"Aku pulang dulu Din, ada urusan. Ini tak bawa ya mau tak lihat." Alan menunjukkan keris kecil itu.
Aku menjawab dengan anggukan.
"Kemana, Bro?"
"Ada yang mau aku pastikan. Kamu anterin Dina ke rumah sakit aja buat berobat, jangan berani macem-macem sama Dina atau aku akan melakukan hal kejam padamu."
Alan keluar rumah dan pergi tanpa menoleh lagi. Dia sangat terburu-buru.
"Andric," panggilku lirih. "Sebaiknya kamu pulang. Lupakan kalau aku pernah minta tolong dan jangan pernah ke sini lagi." Aku menarik nafas dan menghembuskannya berat, "Ini bahaya."
"Din, jangan ngomong gitu. Kamu pasti baik - baik aja, aku akan membantumu."
"Aku gak mau kamu kecipratan bahaya Andric, ini bukan urusanmu. Biar Bapakku yang bereskan masalah ini, nanti sore Beliau sudah sampai sini kok."
"Ini jadi urusanku karena aku dijadikan sasaran cinta palsumu, aku cuma mengingatkan kalau kamu lupa."
"Jangan keras kepala, ini bukan lagi hanya masalah pelet. Ini lebih serius, aku bisa mencium hal buruk akan terjadi di sini."
"Kamu akan baik - baik saja, Sayang," kata Andric mencium puncak kepalaku.
"Huh, jangan bertingkah seolah aku ini kekasih! Aku tau type wanitamu," kataku gusar.
"Apa saja yang sudah Alan katakan padamu?" tanyanya jenaka.
Aku hanya melengos tidak ingin melanjutkan percakapan tidak penting ini. "Tidak ada," jawabku singkat.
"Baiklah aku memang pria brengsek jika kamu ingin tau. Tapi disini aku hanya ingin membantumu, tidak ada niat burukku padamu, apalagi mengambil kesempatan untuk memperdayai kamu," jelas Andric sopan.
"Kalaupun aku sedikit menyentuhmu itu hanya untuk menenangkanmu, aku tau kamu sangat tersiksa dengan keadaanmu. Akan sakit sekali jika aku tidak bersikap baik padamu, atau menolakmu mentah - mentah.
Kamu bisa bunuh diri karena aku, dan aku tidak mau itu terjadi. So, jangan salah paham. Aku bisa saja menjauh sekarang, tapi kamu akan mencariku dengan segenap darahmu. Karena perasaanmu dimanipulasi untuk terobsesi padaku, aku benar kan, Din?"
Aku mengangguk, "Yeah, you right. Maafkan kalau aku kasar. Aku hanya ...."
"Ssttt ... sudahlah jangan dibahas lagi! Aku gak akan kemana-mana sampai kamu mendapatkan kesembuhan."
"Thanks Andric, kamu yang terbaik." Aku tulus memujinya.
"Cuma thanks? Kecut Din," tukasnya tertawa. "Biarkan aku membuatnya jadi sedikit lebih manis," suaranya serak ketika menarikku dalam pelukannya dan menghujani pipiku dengan ciuman.
"Stop Andric," suaraku yang gelagapan langsung menghilang ketika lidahnya membelah bibirku. "Brengsek kamu, Andric," sialnya kata itu hanya keluar sebagai gumaman tak jelas atau mungkin malah seperti ******* yang memalukan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Yulay Yuli
Adric malah suka beneran nanti sama Dina
2024-12-23
0
Hulatus Sundusiyah
din..din...😃
2024-09-27
0
Elizha Anggraini
dina muraham banget hehe
2024-06-14
0