Alan menyentuh bahuku dan mengguncangnya untuk membuatku bangun, ternyata aku dibiarkan tidur selama dua jam. Ketika membuka mata badanku serasa lebih segar dan punya energi. Moodku juga membaik.
"Sudah lebih baik?" tanya Alan perhatian. "Kita pulang sekarang, sudah jam sepuluh."
"Ohya baiklah." Aku menatap Andric dan merasa enggan pulang sebenarnya, tapi aku masih ingat pelajaran etika ibu untuk tidak pulang terlalu malam. Aku tersenyum bodoh.
"Besok aku akan menemuimu, tidurlah yang nyenyak di rumah." Akhirnya Andric memberikan harapan. Seolah-olah dia tau apa yang kuinginkan.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Alan ketika kami sudah dalam perjalanan pulang.
"Aku baik aja."
"Sebaiknya kamu telpon Bapak agar Beliau segera ke Surabaya."
"Aku kan gak kenapa-kenapa, di rumah juga ada Mas Ari dan istrinya." Aku melupakan sesuatu kalau baru beberapa jam lalu sudah membuat Alan dan Andric bertengkar karena keanehan sikapku.
"Oh ya? jadi siapa yang merengek kayak orang gila minta bertemu Andric tadi?"
Ya benar, Alan baru saja mengingatkan kalau aku mendadak tergila-gila dengan Andric.
"Jadi apa yang terjadi padaku?"
"Aku tidak tau, suruh aja Bapak datang, itu akan membantu."
"Ya nanti sampai rumah aku telpon. Apa kamu juga mendadak merasa ingin dekat dengan Wanda beberapa waktu lalu sesuai ceritamu?" tanyaku hati - hati.
"Tidak. Maksudku hanya malam itu saja aku tidak bisa menahan diri. Selanjutnya aku selalu dalam kondisi sadar dan terkendali."
"Kenapa sihirnya tidak bekerja padamu?"
"Bukan tidak bekerja, tapi tidak bisa bertahan lama. Apa kamu menyimak obrolanku sama Andric tadi sebelum terlelap?"
"Kalau kamu pernah belajar di Banyuwangi?"
"Ya. Waktu kita di Jombang itu Bapak mengeluarkan salah satu yang ada di tubuhku, yang kedua pas malam aku kesurupan di rumahmu dan dibantu Mas Ari. Masih ada satu yang belum keluar."
Ingatanku kembali ke Jombang saat Alan kerasukan di mobil dan Bapak akhirnya bisa mengeluarkan khodam yang menempati tangannya.
Bayangan hitam yang mengikuti Alan di rumah Bulek Siti mungkin itu khodam yang baru dilepas Bapak tapi masih ada di sekitar Alan.
"Bagaimana bisa kamu memelihara makhluk halus dalam tubuhmu? Apa itu jin?" tanyaku penasaran.
"Aku bukan sengaja memelihara, tapi kakekku yang mengamanatkan khodamnya untuk menjagaku. Khodam itu yang bertarung melawan guna - guna yang dikirim Wanda untukku. Aku gak kuat jika dekat dengan Bapakmu, khodamku selalu mengambil alih kesadaranku tanpa aku bisa mencegahnya, pada saat aku tidak sadar itu banyak jin lain yang akhirnya ingin menguasai tubuhku juga."
"Tapi Bapak tidak melakukan apapun padamu."
"Khodamku merasa terancam, jadi dia membentengi dirinya. Aku ingin melepaskan yang terakhir, dan firasatku mengatakan kamu yang akan melakukannya." Alan sangat percaya diri mengatakan firasatnya.
"Kenapa bukan kakekmu, bukankah Beliau yang memberikannya?" tanyaku heran. Alan pasti salah orang, aku saja tidak bisa membantu diriku sendiri, bagaimana aku bisa menolong melepas khodamnya?.
"Beliau sudah meninggal, kapan - kapan kalau tidak sibuk aku ajak ke Banyuwangi, sudah lama aku tidak ziarah ke makamnya."
"Oh maaf, aku turut berduka. Lalu siapa yang akan menjagamu kalau kamu melepasnya?"
"Allah." Alan menjawab dengan penuh keyakinan dan pengharapan. "Bapakmu akan membantu menutup pintunya setelah khodamku keluar, dan aku tidak perlu kesurupan - kesurupan lagi setiap bertemu dengan orang yang memiliki aura seperti Bapakmu. Itu sangat memalukan," katanya sambil tertawa. "Aku juga tidak perlu merasakan sakit di beberapa anggota tubuhku."
"Oh gitu ya ... "
"Apa kamu sadar kalau sedang di guna-guna Din?"
"Eh … tidak tau ya, aku hanya merasa aneh dan tidak bisa mengontrol perasaanku."
"Jujur saja aku cemburu kamu punya perasaan suka sama Andric, ya walaupun itu tidak murni dari dalam hatimu tapi kamu sangat bahagia ketika bertemu dengannya tadi."
Aku tertawa terbahak dan tentu saja wajahku memerah. Tingkahku pasti konyol dan menyebalkan tadi buat Alan. Tapi aku memang tidak bisa menolak rasa itu, bahkan sekarang aku masih merindukannya.
"Aku merasa akan mati jika tidak bertemu dengannya," tukasku kemudian.
"Andric yang akan mati jika dia terbukti yang melakukan ini padamu," kata Alan geram.
"Aku akan patah hati dan mati kalau begitu," candaku garing.
"Dia itu pacarnya banyak, Dina."
"Setidaknya dia bukan pria beristri, dan pacarnya tidak ada yang mengancamku," kekehku geli melihat wajah Alan yang kesal saat mematikan mesin mobilnya karena kami sudah sampai rumah.
Ternyata aku sudah di tunggu Mas Ari di teras, aku melirik jam tangan yang menunjuk angka sebelas. Alan ikut turun dan meminta maaf karena mengantarku pulang kemalaman.
Setelah Alan pamit aku menjelaskan situasinya pada kakakku. Dia sangat khawatir dengan keadaanku. Aku berjanji besok pagi akan menelpon Bapak agar segera ke Surabaya.
"Kenapa Din?" tanya Mas Ari begitu kami masuk rumah tapi aku diam seperti patung di depan pintu kamarku. Aku tidak jadi ke kamar, akhirnya kami duduk di ruang tengah.
"Gak tau mas, tiba - tiba nyaliku ciut," jawabku masam.
"Tidurlah di sini, ambil bantalmu. Mas juga mau liat bola jam dua nanti."
"Mbak Rahma udah tidur?"
"Mbakmu ke rumah Ibu, nginep sana."
"Sebaiknya Mbak di sana aja sampai melahirkan, aku khawatir masalah ini ada efek psikologis buat Mbak."
"Ya, besok Mas kasih tau." Suasana cukup hening, Mas Ari mengecilkan volume televisi dan mematikan lampu utama agar aku segera bisa tidur. "Sebaiknya kamu menjauh dari Alan, jangan menambah masalah lagi!"
"Iya Mas, Dina udah berusaha menghindar tapi ya selalu ketemu, tokonya dia ada di lantai yang sama dengan tempat Dina kerja, belum lagi dia masih mau minta tolong Bapak buat melepas sisa khodamnya."
Mas Ari mengambil sesuatu dari laci dan menunjukkan padaku benda seperti jari keliling. Aku mengamati nya dengan seksama, itu besi berkarat dengan beberapa lekuk dan ada kepalanya berbentuk seperti kepala kerbau. "Keris itu, Mas?"
"Iya, Mas menemukannya jatuh dari kepala Alan pas dia kesurupan di teras."
Aku bergidik ngeri, "Boleh Dina pegang, Mas?"
Spontan aku menjatuhkan keris itu ketika menyentuhnya, kaget karena ternyata ada energi didalamnya. Rasanya seperti kena setrum, ya persis seperti itu. "Nyetrum Mas," kataku lirih menahan takut.
"Kamu sensitif sekali Din, bahaya kamu ini," kata Mas Ari jenaka.
"Tapi waktu Alan mengeluarkan khodamnya di Jombang, Bapak sepertinya tidak menemukan barang apapun, atau mungkin aku yang tidak tau? kenapa kok gak mujud (tidak ada wujud) pusakanya?"
"Bukan gak mujud, mungkin langsung lebur. Biasanya Bapak kalau menangani masalah itu pusakanya langsung hancur, jadi tidak bisa digunakan lagi." Mas Ari kembali membungkus keris itu dengan kain putih dan menyimpannya dalam laci kembali, "Besok biar diurus Bapak, soalnya masih ada isinya, Mas belum bisa nangani masalah beginian."
"Masak Alan bilang dia punya firasat kalau Dina yang bakal melepas sisa khodamnya."
"Bisa jadi."
"Maksudnya, Mas?"
"Mas belum bisa mengatakan sekarang, besok aja nunggu Bapak datang. Istirahatlah, kamu kelelahan."
Tidak terasa sudah pukul dua pagi. Aku bersyukur tidak gila memikirkan Andric malam ini, aku masih bisa mengendalikan diri untuk tidak mendatanginya malam- malam begini meskipun aku sangat ingin.
Akhirnya aku tidur dalam gelisah, ada suara dalam kepalaku yang sangat mengganggu.
'hahaha….'
'aku tidak akan kalah….'
'aku tidak pernah kalah, Cah ayu….'
'hahaha….'
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Hulatus Sundusiyah
laah..pakde karmankah yg rindu cah ayu
2024-09-27
1
Ali B.U
,next
2024-05-15
2
Kustri
seperti'a qu baca yg ke 2x
2024-04-22
1