Terpenjara Pernikahan
Derap langkah terdengar sayup mengalahkan gerimis di gelap nya hutan Pinus. Langkahnya terseok-seok diiringi degup jantung yang memompa penuh waspada. Laju nafas menguat seirama teriakan manusia terdengar tak jauh darinya bersahutan, terdengar seakan seruan malaikat maut. Tak kuasa ranting kering nan lembab ikut serta menggores telapak kaki tak beralas. Lelaki paruh baya itu lari semampu yang ia bisa menghiraukan rasa sakit yang mengelabui tubuhnya. Entah sudah berapa lama ia berlari tak tahu arah hingga kulit nya memucat dan menggigil.
Hosh.
Hosh..
Di lengannya mengucur cairan merah berbau anyir, mengubah warna kemejanya putihnya yang terkoyak. Hembusan angin dan dinginnya air menerpa wajah lelaki itu. Pandanganya mengabur, lututnya bergetar, tak kuasa lagi menahan tubuh yang hendak rubuh.
Tidak.. tunggu jangan dulu...
Bruak...
Terjerembab ia pada tanah basah berkat akar pohon yang tak nampak karena gelap, tangannya mengepal mengumpulkan sisa tenaga namun tak kunjung juga ia mampu bangkit. Putus asa ia rasakan. Sayup-sayup terdengar suara langkah yang mulai menjauh, hingga kesadarannya mulai terenggut.
Nampak di pelupuk mata ia melihat wanita cantik yang dipangkuan nya duduk seorang anak balita, dengan senyum menghiasi wajahnya yang teduh, nampak bercengkrama dengan sosok kecil yang terus berceloteh dengan riang nya, sungguh pemandangan yang meneduhkan hati siapa saja.
Inikah waktunya aku untuk pulang...
"Hei son, lihat Dady sudah datang" wanita itu menatap nya dengan penuh bahagia. Sosok kecil itu turun dari pangkuan dan berlari kearah nya.
Hap
Anak kecil itu berada dalam gendongan sang ayah. Senyum ketiganya menghiasi potret indah itu.
Ya.. aku pulang...
Senyumnya terlukis seirama dengan netra lelaki itu menutup mata semakin dalam dan perlahan.
...***...
Cuaca dingin di pagi hari membuat semburat merah di pipi seorang gadis yang tampak ranum.
"Huuftth...kapan badai ini berakhir." Sambil menghela nafas nya berat ia melihat jendela menampakan hujan lebat.
"Morning baby..."
"Morning dad...ku pikir ini bukan pagi lagi ini hampir siang" pandangannya kearah jam dinding.
"Ya kau benar, ini karena badai, Pancake?" jawab lelaki itu.
" No dad, aku hanya buat sandwich dan sup untuk pagi ini, tidak apa kan?"
"Of course... Apa pun yang kau buat akan selalu menjadi makanan yang menyenangkan untuk ku" goda sang ayah.
"Hahaha mengenyangkan mungkin maksud mu dad" keduanya tertawa.
"Oh ya dad.....Bagaimana dengan tuan itu??" Sang gadis melirik ke arah pintu yang setengah terbuka.
"Mmmh... Entahlah, dad belum bisa memastikannya sekarang, seperti nya ia bukan berasal dari sini, dan tidak identitas sama sekali......." jawabnya sambil menghela nafas.
"Tapi luka nya kurasa cukup parah..."
"Ya dad tau itu, tapi mau bagaimana lagi kita tak mungkin membawa nya ke kota, ditengah badai seperti ini, kurasa kita harus menunggu reda"
" Itu butuh berhari hari dad, apa tidak ada yang bisa kita lakukan?"
"Sekarang kita hanya bisa memastikan luka nya jangan sampai makin buruk, memberi kabar lewat telpon satelit pun rasanya percuma, tidak akan ada yang bisa datang kemari"
"Syukurlah tuan itu masih bernafas saat kita temukan kemarin"
"Kau benar..." Percakapan mereka terhenti kala terdengar erangan dari kamar berpenghuni itu, segera mereka berlari kecil menghampiri nya.
"Heemh..."
"Dad sepertinya demam lagi.." sang gadis berkata sambil menempatkan punggung tangan nya pada dahi lelaki paruh baya itu.
"Cepat kamu ambilkan handuk dan air hangat serta obat penurun demamnya lagi"
Bergegas sang gadis keluar kamar.
Dahi lelaki itu berkerut dan berpeluh keringat, tak tanggung-tanggung tubuhnya menggigil hebat hingga terdengar gemeletuk gigi beradu.
Selimut yang bertengger di tubuhnya tak mampu menandingi dingin yang dirasakan. Sudah semalaman lelaki itu demam tinggi. Thomas, ayah gadis itu langsung mendekat dan meletakan kembali selimut yang terjatuh.
Selang beberapa waktu sang gadis datang langsung melakukan hal yang sepanjang malam ia lakukan, mengompres dahinya dengan telaten kemudian menyeka keringat dengan handuk kering. Obat penurun demam diberikan Thomas melalui selang infus yang terpasang.
Beberapa jam pun berlalu, demam nya sudah turun dan kemudian tertidur kembali.
"Dad bagaimana ini, sudah semalaman demam tinggi dan sampai saat ini belum terbangun"
Sambil menghela nafas gadis itu masih memandangi dengan rasa khawatir. Ya dia Riana sesosok gadis cantik yang baru lulus senior high school, wajah nya yang putih pucat dengan semburat merah di wajahnya, rambut nya bergelombang berwarna almond tergerai indah, netra nya masih terpaku terhadap tubuh lelaki paruh baya di hadapannya.
"Ana... Beristirahatlah... Biar aku sekarang yang menunggu nya, kamu sudah tidak tidur semalaman" sambil mengusap sayang kepala gadis itu.
"Tak apa dad, aku sungguh khawatir..."
"Aku tak mau kamu sakit" Thomas membujuk Riana lagi.
"Aku khawatir, karena merasa melihat mu sakit dad" tersenyum sendu.
"Aku sehat honey, jangan khawatir" Thomas membalas dengan senyumnya sambil merangkul pundak Riana.
"Baiklah dad...Bila dad mau istirahat nanti panggil aku di kamar, kita bisa bertukar" Ana berdiri dan memeluk Thomas kemudian bergegas keluar kamar.
Hingga bayangan Ana menghilang, Thomas duduk di kursi dekat tempat tidur itu berada. Sambil menghela nafas ia memperhatikan, nampak luka di leher hingga pundak kiri telah tertutup verban dan bebat yang masih terlihat bercak darah mengotori nya. Juga telapak tangan itu tak luput dipenuhi goresan serta kaki kiri yang terbungkus rapi hingga menutupi setengah betis nya.
Thomas menghela nafas pelan.
"Siapa kau sebenarnya.... Segeralah pulih.."
...***...
3 hari kemudian....
Lelaki itu sudah siuman sejak 2 hari yang lalu, tidak banyak kemajuan yang didapat, pria itu hanya mampu membuka mata nya, pergerakannya yang terbatas hanya terbaring di tempat tidur.
Ana masih berjibaku di dapur, setelahnya dia bergegas mencari sang ayah yang berada di halaman depan rumah.
"Dad sarapannya sudah siap, wow uncle El sudah datang.... Kali ini membawa apa?" Riana berlari kecil menghampiri keduanya.
"Hai baby koala ternyata kau sudah bagun" sapa El. Ya... Dia Eldrich teman kerja Thomas yang tugas nya mengantar persediaan pos tim SAR yang berada ditengah hutan Pinus tempat jalur pendakian.
"Aku sudah bukan baby koala lagi, lihat uncle aku sudah hampir setinggi mu" bibir Riana mengerucut membuat kedua laki-laki itu terkekeh.
"Ya ya kau bukan lagi baby koala, kau sudah menjadi cctv Thomas, kemana-mana terus saja kau ikut Dady mu pergi, tidak kah kau punya teman kencan?" Goda El.
"Ya Tuhan dari pada aku berkencan mending mencari babi hutan"
Dan ketiga orang itu pun tertawa.
"Jangan bilang di usia 18 tahun ini kau belum pernah berkencan"
"Stop uncle jangan menggoda ku terus, aku bosan tinggal berjauhan dengan dady, yang hanya bertemu 3 bulan sekali, aku hanya tinggal dengan aunty Edna dan Rosa saja. Kau tau Rosa selalu membuli ku" Raina berdecak.
"Baiklah baiklah.... Terserah mau mu..." Sambil mengacak rambut Riana mereka berjalan memasuki rumah itu.
"Sampai berapa lama kau akan disini?" Lanjut El
"Entahlah sampai aku menunggu panggilan dari universitas, aku belum dikabari lagi dari sana"
...***...
"Jadi kau menemukannya di bawah tebing sana, ya Tuhan sungguh malang nasibnya, apa mungkin dia terjatuh?" El merebahkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Dilihat dari jenis luka nya ku rasa ia tidak terjatuh dari atas, lukanya itu nampak panjang dari leher hingga bahu kiri untunglah tidak mengenai pembuluh darah besarnya dan luka di kaki nya cukup dalam, seperti sayatan benda tajam" El mengangguk-anggukkan kepala nya.
"Tidak ada identitas sama sekali?"
"Tidak, itu yang ku bingung kan, bagaimana mungkin ada orang datang ke tengah hutan ini dengan pakaian kerja formal dan tanpa identitas?" Hela Thomas. "Tapi aku menemukan ini" Thomas menyodorkan benda kecil berwarna gold itu.
"Cufflink?" Tanya El
"Yups... Tapi aku tak tahu adakah makna dari benda itu atau tidak" El mengambil cufflink itu dan memperhatikannya. Nampak cufflink berwarna gold di tengahnya terdapat inisial huruf M dan sebuah berlian kecil di atas inisial tersebut.
"Entahlah, tapi ini akan ku bawa ke kota, semoga saja ada petunjuk"
"Baiklah" jawab Thomas
"Siapa nama nya? Apa sebaiknya kita bawa saja ke kota?"lanjut El
"Aku sudah bertanya siapa nama nya, dia hanya menjawab 'Max', aku bahkan sudah membujuknya untuk dibawa ke kota tapi dia menggelengkan kepala nya dan tampak ketakutan" Hela nafas Thomas dengan berat.
"Entahlah, aku bingung..."
Hening seketika...
"Sudah sore, sepertinya aku akan kembali" lanjut El sambil bangun dari duduk nya dan berjalan kedalam kamar Max berada, dilihatnya Ana sedang menyuapi Max dengan telaten nya.
"Ana.... Aku akan kembali ke kota, tidak kah kamu akan ikut?"
"Tidak uncle, aku akan disini bersama dady, sambil membantunya menjaga tuan Max" jawab ana.
"Baiklah, aku akan kembali Rabu depan, nanti kau bisa ikut ke kota"
"Ok uncle, sepertinya nanti aku akan ikut"
"Baiklah, aku pamit, baik-baik kamu disini" sambil mengacak rambut Raina.
"Hentikan uncle...."
"See you baby koala" El pergi sambil terkekeh.
Ana menggelengkan kepala nya sambil tersenyum meneruskan suapan pada tuan max.
"Lihat tuan uncle El selalu saja menggodaku, aku selalu jadi anak kecil dimata mereka" ia tertawa cekikikan.
"Wah makan mu sekarang bagus, porsi sore ini habis.. jika kau terus begini tentu akan cepat pulih" Hanya senyum tipis yang nampak di bibir Max, pandangannya mulai hidup.
" Aku akan membereskan bekas makan ini dulu ya" Ana tersenyum ia bergegas ke dapur.
Siapa gadis ini..?
...***...
3 hari berlalu, Max berangsur pulih, ia sudah bisa tersenyum mengangguk dan menggelengkan kepala nya. Ana tak hentinya membantu Thomas mengurusi Max.
Ia sudah menganggap Max adalah paman nya, ia bercengkrama seakan Max bisa menjawab nya, membacakan buku, bahkan membuka sosial media nya sambil memperlihatkannya pada Max.
"Lihatlah uncle, teman ku baru saja posting bahwa dia akan kuliah ke luar negeri, haaah...rasanya seperti apa bisa bertemu manusia dari belahan bumi lain?" antusias nya. Max tersenyum menanggapinya.
"Aku ingin sekali... Tapi aku tidak mau meninggalkan dady sendiri disini, tidak ada siapa-siapa lagi yang akan menemaninya" Ana menghela nafas sambil menatap lantai yang dipijaknya.
"Tahu kah uncle setelah mom pergi, dady selalu sendiri, tidak pernah sekali pun ia mencari pengganti mommy, padahal aku sudah pernah memintanya, tapi dady malah mengambil pekerjaan nya seperti ini yg jauh dari keramaian, jauh dari hiruk pikuk manusia"
"Aku menyayanginya, sangat.... Kadang aku pun merindukan mom" tak terasa air bening bergulir dari sudut matanya itu.
"Mengapa aku menangis?" Sambil terkekeh dan menghapus air matanya itu.
"Apakah uncle mempunyai keluarga? Tidak kah merindukan nya?"
Air mata Max tiba-tiba menggenang bersiap-siap untuk turun.
"Oh tidak uncle jangan menangis, maafkan aku" hatinya merasa bersalah.
"Apa uncle ingin mengabari mereka?" Lanjut Ana.
Hening...
"Th...Theo..." Sekuat tenaga max menyebutkan nama itu.
Ana panik "Ya tuhan.... Uncle kau bisa bicara!!!" Dengan antusias gadis itu segera berlari mencari Thomas, kemudian mereka berdua menghampiri Max yang duduk di sofa kulit.
"Dad sungguh aku tak percaya uncle max tadi bicara pada ku"
"Begitukah...?"
"Tentu dad, dia menyebutkan sebuah nama, Theo kalau tidak salah" jawab Ana.
"Kamu tidak salah honey?"
"Tentu tidak dad, Oh God apakah kau tidak percaya padaku?" Mata Ana membola.
"Beristirahatlah, aku tahu kau lelah..." Sergah Thomas, sambil membuang muka Ana keluar dari kamar.
Hening sejenak, Thomas memperhatikan Max yang terduduk.
"Apa yang kau rasakan sekarang?" Tanya Thomas
Max hanya menatap Thomas.
"Aku tahu kau baik-baik saja, tidak ada cedera yang membuat kau kesulitan bicara, tidak perlu sungkan pada ku"
Max mengerjapkan matanya tak percaya kepura-puraannya terbongkar Thomas
"Tapi jika kau belum siap untuk bicara, tak apa, aku tidak akan memaksa, aku bersyukur kesehatan mu berangsur membaik"
Haruskah ku bicara?
"Baiklah aku akan kembali, segera istirahatlah...." Thomas bangkit dan kemudian melangkah keluar kamar.
"T...tunggu..."
Thomas terperanjat kemudian berbalik dan kembali duduk berhadapan dengan max.
"Sudah aku duga kau baik-baik saja.., adakah yang ingin disampai kan?"
"I am sorry...."
"Tidak apa, tidak perlu sungkan, apa ada yang dapat aku bantu?"
Lanjut Thomas.
"Bolehkah aku meminjam ponsel, aku harus menghubungi keluarga ku, rasa nya sudah terlalu lama" pandangan Max terputus kemudian menghadap jendela.
"Tentu, aku akan mengambilkannya"
Thomas keluar untuk mengambil ponsel tersebut, tak lama ia kembali kemudian menyodorkan benda itu pada Thomas.
"Ini telpon satelit, kau bisa memakai nya"
"Terimakasih..." Max mengangguk dan tersenyum tipis.
"Aku berada di luar jika membutuhkan ku.." Thomas beranjak meninggalkan Max.
Di tekannya nomor ponsel yang selau Max ingat, terdengar dering tersambung di sana
Tut..
Tut..
Tut..
"Halo..." terdengar suara dari sebrang telpon
"...." Netra Max memerah, jiwa nya lega mendengar suara tersebut.
"Halo, siapa ini??"
"....son ini Dady....."
".....…" Tak kunjung ada jawaban dari sana, tangannya bergetar kemudian ia memutuskan sambungannya.
...***...
Maapkeun jika banyak typo bertebaran, mamake ini pemula untuk menulis..
Semoga suka ya Gais... 🥰🥰🥰🥰🥰🌺🌺🌺🌺
Di tunggu like n comment biar semangat.... Hia hia hiaaa.....
...❤️❤️❤️❤️...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Ibelmizzel
baru mulai baca masih nyimak Thor💪
2023-09-02
0
Kenzi Kenzi
trada,....mampir gw
2022-06-01
0
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ𒈒⃟ʟʙᴄ ㅤㅤ
Q mampir teh
2021-09-28
1