"..tu...tunggu....jangan kumohon....." Matanya berkaca-kaca ia berharap emosi laki-laki hadapannya menyurut.
Diraupnya lengan mungil itu kemudian diseret sekuat tenaga.
" Katakan lah pada si brengsek itu saat ia membunuh ayah ku...." Laki-laki itu mendorong sang gadis untuk masuk ke dalam pintu hitam berjeruji besi.
"Ini kah yang kalian inginkan? Inikan mau mu Mrs Willenberg?....." Theo tersenyum licik sambil mengunci pintu jeruji itu.
Sesaat laki-laki itu melangkah ia berbalik "Kau tahu? Siapa saja yang pernah masuk ke kehidupan ku tidak akan kubiarkan pergi........terkecuali malaikat kematian yang membawanya" Derap langkah itu makin menjauh seiring tubuhnya yang hancur luruh ke lantai yang dingin.
Dunia wanita itu seketika terjungkir balik, kebebasannya terenggut, sungguh ia bingung dengan apa yang terjadi, setelah ia kehilangan sang ayah kemudian di culik dan disekap ditempat kumuh itu, tanpa bisa protes kini ia sudah menjadi seorang isteri dari Theodore Gillian Willenberg.
Isteri?
Siapa laki-laki itu?
Sungguh aku tak pernah sekalipun bersinggungan dengan nya.
Laki-laki asing yang menarik hidupnya dalam arogansi, pernikahan yang tidak ada kebahagiaan didalamnya, hanya ada ketakutan dan keterpaksaan.
Pernikahan itu terjadi begitu saja, tentu itu sah secara hukum dan agama, ketika pernikahan itu berlangsung hanya disaksikan Jordan dan tim pengacara keluarga. Jangan harap ada gaun mewah dan acara megah. Bahkan ikrar janji suci terdengar dipaksakan.
Ana yang sejak tadi terduduk dengan gaun putih kusut didepan pintu jeruji besi hanya bisa menangis meratapi nasib, memang sekarang ni bukan lagi di kamar pengap itu, ini lebih baik, bahkan cukup mewah, kamar tidur dengan dominan warna peach layak dikatakan kamar wanita, lengkap dengan isinya, tapi kamar ini tak jauh berbeda bukan? masih dikatakan penjara.
Yah benar...
Dan ia terkurung disana entah sampai berapa lama....
...***...
".....cincin itu merupakan simbol sebagai ahli waris yang sah dan pelimpahan waris sepenuhnya akan diberikan pada usia 20 tahun dan jika terjadi pernikahan itu berlaku setelah memiliki keturunan sebagai calon ahli waris selanjutnya...." Leo menjelaskan detail pelimpahan waris tersebut.
"Jadi maksudmu aku harus membuat dia melahirkan keturunan?"
"Yes sir, dan itu berlaku ketika nona telah berusia 20 th, karena nona telah menikah ia diwajibkan memiliki keturunan untuk mendapat keseluruhan harta waris dan sekarang pelimpahan waris itu baru separuhnya...." Lanjut pengacara Theo itu.
Theo terdiam, dia masih mencerna apa yang dikatakan Leo.
"Tahun ini dia baru berusia 19 tahun bukan? Berarti aku masih harus menunggunya 1 tahun lagi...." Ucapnya seolah pada dirinya sendiri.
"Baiklah....lakukan yang perlu dilakukan terutama pengalihan seluruh harta itu kepada ku setelah sepenuhnya dia menerimanya...dan buat seolah-olah ini tidak pernah terjadi dihadapan keluarga ku"
"Baik sir... Namun apa yang harus saya katakan jika keluarga besar menanyakan siapa nona?" Tanya sang pengacara.
"Biar itu menjadi urusanku....." Theo menatap tajam seolah tidak suka dengan pertanyaan Leo.
"Satu hal lagi, jangan sampai wanita itu tahu tentang hal ini, ku fikir dia cukup bodoh..." lanjut Theo sambil menyeringai licik jari nya mengusap dagu.
"Baik sir..." Jawab Leo sambil membereskan berkas-berkasnya ia pun bangkit untuk meninggalkan Tuannya dari ruang kerjanya. "Kalau begitu saya permisi....saya akan kembali ke firma" Leo menunduk memberi salam sopan kemudian melangkah meninggalkan ruangan tersebut.
Ruangan itu sunyi senyap, hanya terdengar Guntur dan kilatan dari luar jendela.
Ya sore itu hujan deras.
Sangat deras...
...***...
Kilat menyambar bumi, Ana tersentak dari tidurnya, ia lelah sejak siang menangis hingga tertidur di kasur empuk yang berada di kamar yang sekarang menjadi penjaranya. Langit sudah gelap hanya terlihat kilatan petir menyambar dari jendela. Kamar itu gelap pertanda tidak ada siapa pun yang masuk kedalamnya. Ana beringsut duduk menekukan kedua kakinya, mengusap air mata yang setengah mengering dan kedua matanya sembab terasa perih, ia menatap ruangan itu melihat sekitar hanya tampak remang.
Ana menyalakan lampu tidur yang berada ada di nakas, terpantul banyangannya di cermin besar yang menempel pada dinding samping, terlihat nanar, dengan kedua mata yang sembab, hidung kemerahan, rambut berantakan sisa sanggulan seadanya, di tunjang dengan gaun pernikahan yang kusut di semua sudut.
Ana mencoba berdiri mencari kamar mandi, kakinya menyusuri kamar itu, dihadapnya nampak 2 buah pintu menjulang, kemudian Ana membukanya satu persatu.
Pintu pertama tadi itu walk-in closet, dan ia masuk ke pintu sebelahnya yang pasti kamar mandi.
Dinyalakannya air shower itu langsung membasahi tubuhnya, setengah basah ia baru membuka gaun yang melekat ditubuhnya. Ana menggosok kedua lengannya. Ia menatap kelantai nampak air mengalir kedalam pipa pembuangan.
Setelah dirasa cukup Ana melangkah keluar dari kamar mandi ke dalam walk in closet, cukup lengkap disana, baju yang tertata rapih hingga dalaman. Kemudian ana bergegas memakai pakaian.
Termenung ia dihadap cermin itu, ia duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutnya yang basah.
Tok
Tok
Tok
Ana menolehkan kepalanya kearah pintu kayu yang berlapis jeruji besi, terbukalah pintu kayu itu. Sedikit tersentak maid itu melihat lapisan pintu jeruji. Kemudian ia kembali merubah expresi wajahnya dan menunduk hormat.
"Nona... Selamat malam... Saya Vivian...saya maid di mansion keluarga Willenberg, salam kenal...." Vivian tersenyum sendu disana.
Kemudian Ana bangkit menghampirinya,
"Ah... Y...ya... Selamat malam bibi... Saya Ana...senang bertemu bibi" tampak senyum ana ragu.
Dengan sifat keibuan Vivian tersenyum "Nona saya bawakan makan malam.... Saya harap nona akan menyukainya..."
"Terimakasih bibi...."
"Maafkan saya harus menaruh makanan ini di bawah, hanya tuan yang memiliki kuncinya" Vivian tertunduk sedih.
"Ya? Y...ya... Tidak apa bibi...." Ana melihat Vivian meletakan nampan itu di lubang kecil yang memang diperuntukan tempat keluar masuknya nampan makanan. Ana tersenyum kecut, ia seorang narapidana sekarang.
"Makan lah nona, ini sudah larut, dan jika makanan ini selesai taruh nampan ini disini nona agar saya bisa menggantinya...sekali lagi maafkan saya nona" lagi lagi wanita paruh baya itu menunduk.
Ana sungguh tak bersemangat ia menjawab dengan anggukan kecil dengan senyum segaris yang dipaksakan.
...***...
Sudah seminggu berlalu, tidak ada perubahan yang terjadi, Ana hanya berada dalam kamar berjeruji itu tanpa bisa melakukan apapun, pernah ia mencoba cara untuk keluar dari mansion itu, namun rasanya nihil, untuk membuka pintu itu pun tak sanggup, Bahkan pintu itu terbuka hanya dalam 3 waktu, hanya ketika maid mengantar makanan dan membersihkan kamar itu.
Tidak pernah sekali pun Theo datang, tentu membuat Ana merasa lega.
Tok tok tok
Tak lama pintu kayu itu terbuka dari luar, meninggalkan jeruji besi yang terkunci rapat.
"Selamat siang nona.... Saya Vivian.. saya membawakan makan siang..."
"Ah yah.... Terimakasih bibi...."jawab Ana sambil beranjak mendekat.
"Kali ini saya bawakan jus kesukaan nona..." Sang maid menyodorkan nampan itu ke lubang besi.
Ana tersenyum, ia bersyukur masih ada yang baik terhadapnya, selama disini ia hanya mengenal sosok Vivian, wanita paruh baya dengan sifat keibuan sungguh menghangatkan hati nya yang kesepian.
"Bibi... Tak boleh kah aku keluar untuk sebentar saja, atau bolehkah aku menghubungi aunty Edna, aku merindukannya...." Tanya Ana dengan sendu.
Vivian menyentuh telapak tangan Ana, mengelusnya pelan.
"Maafkan saya nona..." Vivian tersenyum lembut disana menatapnya sendu, kemudian ia menyodorkan sebuah buku.
"Saya harap nona akan menyukainya"
Mata Ana berbinar menatap buku di tangannya.
"Hah? Bibi... Apa ini tidak apa-apa? Ba...bagimana jika tuan mengetahuinya?"
"Saya rasa, ini tidak melanggar aturan nona, dan tenang saja ini buku milik putri saya..."
Ana tersenyum haru, ia langsung memeluk buku itu.
"Terimakasih bibi...."
"Sama-sama nona... Saya permisi..." Tak lama maid itu meninggalkan kamar itu.
Rasa laparnya entah hilang kemana, ia sungguh antusias, membaringkan tubuhnya ke sofa besar disana dan memulai menjelajahi dunia kertas itu.
Malam harinya, setelah Ana manghabiskan makan malamnya Ana langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur sambil membawa buku tersebut. Dibukanya lembaran-lembaran buku itu hingga tak terasa mata itu menutup kelelahan.
Dini hari menjelang, terdengar suara pintu kayu terbuka, tak lama decitan pintu jeruji melebar, memberi akses pada seseorang yang berjalan dengan ponggah disana.
Mata pria itu memerah, tubuhnya bau alkohol, rahangnya menegang. Dengan kemeja kusut dan rambut berantakan, theo berjalan mendekati ranjang menatap sesosok gadis tertidur dengan gaun tidur berwarna biru terang yang melilit tubuh indahnya, memperjelas lekukan tubuh menggoda.
Theo menggeram.
Apakah ia tergoda?
Tentu saja?
Tapi Theo tak sudi menyentuh anak dari pembunuh keluarganya.
Dikeremangan lampu tidur ia terduduk di sofa sambil menatap tajam Ana.
Ana bergerak dari tidurnya, selimutnya bergeser membuat gaun tidur itu semakin tersingkap, memperlihatkan underware berwarna senada dengan gaun tersebut.
Hemmmph...
Theo menggeram... Semakin lama ia tak sanggup melihat pemandangan di depan matanya.
Haruskah?
Wajah Theo menyeringai.
...Tbc...
...____________...
Apa yang terjadi??? 😱😱😱
Tinggalkan jejak ya.... Luv u....
Maafkan jika banyak typo...💃💃☺️☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Mutiara Wati
el jgn2 ikut kwrja sama.ni...menyecelakai max
2021-07-31
1
Dhyna Chelyboe
ceritanya terlalu berat dan ribet,
padahal hidup sudah berat.
2021-07-28
2
Sri Widjiastuti
si el kemana sih?? yg bawa riana ke kota??
2021-07-10
1