Theo POV
Sudah 3 Minggu aku kehilangan kabar nya, entah kemana lagi harus kucari, sudah ku kerahkan segala cara dan upaya. Belahan dunia mana yang belum aku jelajahi untuk mencari jejaknya, sungguh rasanya lelah namun aku tak mampu duduk diam ketika tahu satu-satunya keluarga ku entah dimana rimba nya.
Sungguh tuhan sangat menyayangiku. Di hiruk pikuknya kehidupan ini aku masih disibukan dengan persoalan dunia yang tak kunjung usai, perebutan saham dan kekuasaan menjadi titik jenuh ku.
Sungguh miris bukan?
Dikala aku susah payah mencari mu dad, mereka sibuk berebut isi perut.
Entah sudah berapa malam tidur ini tak tenang, memori indah bersama mom selalu menghampiri. Tak jarang aku bermimpi jika mom dan dad bersama.
Apakah artinya mimpi ini?
Tidak.. jangan katakan kau bersama mom sekarang..
Mom sudah bahagia disana, kau tidak boleh meninggalkan ku disini bersama tikus-tikus itu dad.
Ku hela nafas yang begitu berat, terlihat waktu angka 2 pagi, sudah larut ternyata, aku terbangun dari kursi kerja, berjalan lunglai ke arah peraduan. Rasanya tubuh ini ringkih, bolehkah rehat sejenak? ku rebahkan diri di ranjang dingin, berharap beban ini hilang sejenak, tanpa membuang waktu mata ini mulai terlelap...
Mom dad aku merindukan kalian....
Baru saja aku akan masuk ke alam mimpi aku terperanjat mendengar dering telpon yang memekakkan telinga, tak pernah aku menghidupkan mode getar ponsel ku karena berharap suatu saat dady menghubungi ku,
Bolehkah?
Tentu saja!!
Dering itu terus mengganggu telinga,
Ku tatap dan terdiam, menatap layar itu, siapa orang diwaktu dini hari menghubungi ku?
Sesaat aku terperanjat,
"Halo........"
Entah mengapa degup jantung ini mengencang ku menajamkan telinga, tak ada suara apa pun disana
"Halo siapa disana?"
".... Son ini Daddy...."
Deg
Ku dengar suara itu, suara pria renta yang ku rindukan
Mimpi kah??
Tapi tunggu aku tidak bermimpi?
Tiba-tiba telpon itu terputus.
Bergegas aku melihat benda persegi itu tak percaya. Segera aku bangun melupakan rasa lelah dan ngantuk yang menguap entah kemana dan aku pergi ke ruang kerja sambil menghubungi Jordan untuk melacak no ponsel tersebut.
Tunggu dad, aku akan segera menemukan mu....
Theo POV end
Langit gelap berganti terang, Jordan datang setelah mengetuk pintu kemudian membungkukan badan tanda hormat.
"Sir... Nomor telpon itu berada di Belukha pegunungan Altai, Siberia"
Hening sejenak, Theo tampak berfikir dengan raut kebingungan.
"Bagaimana bisa? Apa kau tidak salah kali ini?" Ragu Theo menatap tajam Jordan yang berhadapan dari kursi kebesarannya.
"Tidak diragukan sir... Karena itu no satelit jadi bisa dipastikan keberadaan nya..." Jawab Jordan dengan lugas.
Sambil menghela nafas Theo menutup matanya sambil menopang dagu.
"Apa anda yakin jika itu tuan besar yang menghubungi anda sir?" Lanjut Jordan.
"Entahlah...tapi aku jelas-jelas mendengar suaranya" masih dengan menutup matanya Theo merebahkan punggungnya ke sandaran kursi.
Dad is that you??
Matanya terbuka dengan tajam sambil memangku tangan nya depan dada dia menatap Jordan
"Cari dan temukan segera" tegas Theo.
"Baik sir..." Jordan berlalu keluar.
Theo bangkit dan berjalan ke arah jendela kaca yang terbuka lebar, ditatap nya foto pigura besar yang tergantung di dinding itu.
Aku merindukan kalian..
Yah.... Lelaki itu Theodore Gilian Wilenberg, pemuda berusia 29 tahun dengan wajah tampan bertubuh tegap dan tinggi, wajahnya rupawan, meski saat ini tampak rambutnya berantakan dan jambang yang mulai panjang tak mengurangi kharisma yang ada padanya. Dia anak pertama dari keluarga Wilenberg. Siapa yang tak kenal keluarga itu? Kekayaan dan kekuasaan tak terbatas di genggamannya.
Tak sedikit kawan yang menjadi lawan hanya untuk merebut tiraninya.
...***...
Beberapa hari berlalu Ana masih seperti biasa menghabiskan waktunya untuk menemani Thomas dan menjaga Max, terutama ketika Thomas harus ikut pendakian, Ana lah yang mendampingi Max.
"Siang uncle Max, sekarang waktunya makan siang, aku sudah membawa makanan untuk mu, semoga saja suka" dengan senyum secerah matahari, Ana berjalan masuk sambil membawa nampan berisi makanan hasil masakannya.
"Terimakasih Ana.... Aku selalu merepotkan mu..."
Max membalas senyum kepada Ana, sungguh manis gadis di hadapannya ini, seorang gadis cantik dengan wajah tanpa polesan make up yang kesehariannya selalu merawat dan menemaninya.
"Ahahah uncle ini bercanda saja, uncle tahu aku sudah terbiasa seperti ini sejak kecil. Jangan sungkan, kau sudah seperti keluarga ku, nah sekarang waktunya makan" jawab Ana dengan ceria.
"Baiklah Ana, tapi kali ini aku akan makan dengan tangan ku sendiri, sungguh tangan ku ini tidak apa-apa masih berfungsi dengan baik" sergah Max sambil menggerakkan tangan kanannya.
"Coba uncle lakukan beberapa Minggu lalu, aku yakin smua jahitannya akan terlepas" kekeh Ana "Susah payah aku dan dady merawat luka itu, tapi baiklah jika kau memaksa" lanjut anak gadis itu dengan muka pura-pura cemberut.
Max terkekeh "kau gadis yang baik"
"Ah uncle terlalu memujiku..." Ana bangkit setelah memastikan nampannya itu sudah tepat didepan max.
"Ini obat nya yang harus di minum setelah makanannya habis" lanjutnya.
"Baiklah Ana, aku mengerti kamu bisa kembali lanjutkan kesibukan mu" senyum mengembang di wajah yang mulai berkerut itu.
"Baiklah uncle, nanti aku akan kembali" Riana bergegas keluar meninggalkan Max sendirian.
Tak lama Ana kembali untuk memastikan Max memakan habis makanannya itu.
"Wow uncle sudah memakan semuanya..., Aku senang melihatnya"
"Ini karena makanan mu enak, aku jadi tak rela jika bersisa"
Ana membereskan nampan itu dan menyimpannya di meja kayu sudut kamar, ia kembali duduk di sofa yang berdampingan dengan sofa single yang diduduki Max.
"Oh ya uncle, bagaimana ceritanya kau bisa terdampar di pegunungan ini? Apa kau juga pendaki?" Rasa penasaran Ana menyeruak, tentu saja.
Max terdiam dia hanya melihat binar semangat gadis muda itu.
Merasa tak ada jawaban, amenjadi kikuk dan mengalihkan pembicaraan lain.
"Mmmmh.. bagai mana dengan Theo yang uncle ceritakan, bukan kan uncle sudah menghubungi nya?"
Max tersenyum tipis.
"Yah....aku sudah menghubungi nya, entahlah dia bisa menemukan ku atau tidak, karena sepertinya jarak kita hingga berbeda benua" jawab Max.
"Seriosly? Waaah ternyata dad benar uncle bukan berasal dari sini bahkan benua kita tidak sama" kekeh Ana.
Mereka berdua tertawa. Percakapan mereka berlanjut hingga sore menjelang.
drrrtt....
Pintu kamar terbuka masuklah Thomas yang baru datang,
"Hai dad, akhirnya kau pulang"
Thomas melangkah masuk sambil tersenyum ke dua orang disana.
"Aku pasti pulang... Masak apa hari ini? Sepertinya menggiurkan?" Thomas melirik kearah nampan kosong.
"Sayang sekali masakan ku sudah ku habiskan dengan uncle Max"
"Benarkah??" Sebelah alis Thomas terangkat. Max dan Ana mengangguk-anggukan kepala dengan yakin sambil terkekeh.
"Tentu saja" jawab Riana sambil memutar bola mata.
"Haaah... Baiklah...." Lesu Thomas, mereka berdua terkekeh.
"Tentu tidak dad, aku tahu jika pulang cacing diperut mu minta di suapi" masih dengan tertawa kecil Ana menghampiri Thomas. Diacak nya rambut gadis itu
"Stop dad rambut ku sudah sangat kusut.." Ana mencebik.
"Oh ya apa kabar hari ini?"
Thomas beralih pada max.
"Sungguh aku sudah baik" tersungging senyum di wajah renta itu.
"Syukurlah...."
Thomas beralih pada Ana
" Oh ya Ana... Besok El sudah akan kemari, kau bisa pulang bersama nya, ingat kau harus mulai mempersiapkan kuliah mu" ucap nya.
"Baiklah dad, sepertinya dad senang sekali jika aku tidak ada disini" cemberut Ana.
"Kau ini ada-ada saja, siap kan dad makan ya, cacing d perut ini sudah minta diisi" Thomas melirik jahil Ana sambil mengelus perut nya.
"Baiklah yang mulia...." Sambil cemberut Ana membungkuk seakan memenuhi titah raja. Hilang sudah bayangan gadis itu di balik pintu.
"Lihatlah kelakuan anak itu.." sambil tersenyum Thomas memandanginya.
"Kau sungguh menyayanginya Thomas"
"Tidak ada hal di dunia ini yang aku anggap berharga selain dirinya, satu-satu nya harta berharga yang ditinggalkan istriku" senyum sendu Thomas.
"Kau sungguh ayah yang baik" Max tersenyum miris.
"Kau berlebihan, aku merasa bersalah ketika hanya bisa membesarkan nya tanpa sosok ibu, tapi Ana tak pernah mengeluh, meskipun disudut hatinya aku tahu dia merindukan sosok itu, hebatnya Ana yang malah menggantikan sosok istri untuk ku, kau tahu cerewet nya dia ketika kau sakit, itu berlaku pada ku juga tentunya" kekeh Thomas sambil beralih pandangan ke jendela.
"Makanya aku ingin dia pergi ke universitas agar dia punya kehidupannya tanpa terpaku padaku, aku ingin dia bisa melihat dunia diluar sana" lanjut Thomas.
"Bagaimana jika Ana bisa ikut dengan ku, biarkan dia melanjutkan study nya disana" jawab Max.
"Tak perlu, itu sungguh merepotkan"
"Tidak sama sekali, sungguh aku harus berterimakasih pada kalian, anggap saja ini salah satu nya" Max menatap netra Thomas sambil tersenyum tulus.
"Aku tergantung Ana saja, jika dia menginginkannya aku akan mengijinkan"
...***...
Keesokan harinya....
Thomas masih sibuk memasukan barang-barang Ana ke bagasi, dibantu dengan El yang sudah bersiap di belakang kemudi.
"Dad sungguh aku tak ingin pulang, bagaimana kalian disini?"
"Hei honey, dad tak apa, kamu harus mempersiapkan segalanya mulai dari sekarang, masih ingat pembahasan kita semalam?"
"Yeah i know dad, tapi tak bisakah aku kuliah dalam kota saja? Aku tak bisa meninggalkan mu?" Raut wajah Ana tertekuk, ia gamang ketika harus dihadapkan suatu pilihan yang berat.
"Aku percaya padamu my little girl" ucap Thomas sambil mengusap sayang kepala Ana.
"Berhati-hatilah dijalan.... Oh yah apa kamu sudah pamit pada paman Max?" Gadis itu terperanjat
"Ya Tuhan aku lupa, tadi paman Max dan memintaku kesana, hhihii" sambil terkikik...
"Dasar kau ini...." Thomas menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
Ana bergegas ke kamar Max, Ia melihat Max sedang berdiri mematung menghadap jendela sambil ditopang kruk, itu karena kaki nya belum mampu sepenuhnya menahan beban tubuhnya
"Hai uncle, maafkan aku hampir lupa berpamitan padamu" Ana mendekat.
Max berbalik menatap anak gadis itu dengan senyumnya.
"Tak apa Ana, buktinya kau sekarang ada disini"
"Hahah kau benar, oh ya uncle terimakasih tawarannya, tapi aku tidak tahu akan menerimanya atau tidak, rasanya sungguh pasti akan merepotkan nantinya" tolak Ana dengan sopan.
"Kau ini sudah ku anggap seperti anakku, jangan sungkan begitu" tak terima Max dianggap orang asing.
"Baiklah, akan aku pertimbangkan, aku pamit hari ini aku harus ke kota, apa uncle yang tidak akan ikut dengan ku? Tidak kah kau bosan disini??" gadis itu terkekeh.
"Tidak Ana, aku lebih tenang disini dan aku yakin sebentar lagu Theo akan kemari menjemput"
"Baiklah aku pamit uncle, salam kan pada Theo jika aku tidak sempat bertemu dengannya, atau uncle pulang jika aku sudah kemari kesini lagi bagaimana?i" dengan senyuman menghiasi wajah pucat gadis itu.
"Tentu aku akan pulang dengan mu bukan??" Goda Max
"Entahlah uncle, hehehhe aku pamit ya...."
Sebelum Ana melangkah pergi Max memanggilnya kembali.
"Tunggu Ana, ada yang mau aku berikan pada mu, tolong terima ini, simpan dengan baik-baik, siapa pun tak boleh mengambilnya dari mu, salah satu harta berharga ku aku titip kan pada mu, suatu saat kau akan mengerti" ucap Thomas sambil membuka cincin dari jemari nya dan memberikan nya pada Ana.
"Tidak uncle, ini berlebihan, aku sungguh tulus selama ini, tidak ada pamrih sedikitpun" tolak Ana.
"Aku tahu, jadi ku mohon simpan ini untuk ku" Max membuka telapak tangan Ana dan mengepalkan nya. "Bawalah selalu, itu permohonan ku Ana" ucap Max dengan raut wajah memohon.
Tak mampu Ana menolak permintaan lelaki paruh baya itu, dengan sangat terpaksa ia menerimanya.
"Baiklah uncle aku akan menyimpannya, uncle harus selalu sehat selama aku tidak ada disini, kau berjanji?" Sambil tersenyum secerah matahari Ana memeluk hangat Max.
"BaiklahAna, hati-hati disana" sambil melepaskan pelukannya, Max mengelus kepala gadis itu dengan lembut.
"Tunggu aku kembali kesini ya, jangan dulu pulang.. Aku pamit." Goda Ana.
"Hati-hati....." Sambil melambaikan tangan nya ana melangkah beranjak dari sana, hingga bayangannya hilang Max masih tersenyum.
Dia mirip dengan mu Shopia...
aku memilihnya, aku ingin mengembalikan semuanya....
Tentu kau akan setuju bukan?
Setelah ini tunggu aku sayang...
...***...
Dia Shura Riana Killian, anak semata wayang Thomas Killian, berdarah rusia-ingris. Ibunya bernama Nausha Zigfrid asli berasal dari Rusia. Ana nama panggilannya berusia 18 tahun. Gadis itu melangkahkan kakinya keluar rumah. Dihalaman ia lihat sang ayah sedang bersiap-siap.
"Kau siap baby koala" teriak El dari belakang kemudi.
"Tunggu sebentar..." jawab Ana, dia melangkah mendekati Thomas yang menunggunya didepan pintu mobil, Thomas membukakan pintu itu agar Ana segera masuk, setengah berlari Ana langsung memeluk Thomas.
"Dad aku akan merindukan mu, kau harus jaga kesehatan, jangan selalu makan makanan kalengan, sesekali masaklah yang ada, jangan bergadang dan terlalu banyak minum kopi" sambil mengeratkan pelukan.
Entah mengapa begitu berat meninggalkan Thomas saat ini, seperti akan pergi jauh, entahlah semoga hanya fikiran buruk saja.
"Tenang saja aku akan baik-baik saja disini, jangan terlalu khawatir ok, kau fokus dengan persiapan universitas mu, maaf kan dad tak bisa mendampingi mu" Thomas membalas pelukan Ana.
"Oh tuhan bayi ku sudah besar sekarang" lanjut Thomas sambil terkekeh.
"Dad apa kau baru sadar?" Sambil terkekeh Ana menghapus air mata haru yang entah mengapa keluar begitu saja.
Sambil melepaskan pelukannya Thomas memandang wajah cantik cloning sang isteri
"Baiklah baiklah... Hati-hati dijalan honey, i love you, kabari aku jika sudah sampai"
"Aye aye captain!!!" Senyum cerianya menghiasi wajah cantik itu.
Bergegas masuk Ana ke dalam yang mobil mulai berjalan meninggalkan kediaman itu, tak terasa air matanya luruh menatap Thomas yang semakin mengecil dan menghilang dari kejauhan.
Entah mengapa terasa begitu berat.
Berharap semua akan baik-baik saja.
Yah... Pasti baik-baik saja.
...***...
Terduduk kedua pria diruangan itu, saling menatap dalam diam dan berhadapan yang hanya di pisahkan oleh meja kayu mahoni. Tatapan Thomas terputus, kemudia menarik nafasnya dengan berat sambil memejamkan matanya.
Ingatannya berputar beberapa jam lalu.
Drrtt...
Drrtt....
"Ya halo..."
"Ya tom, ini aku El, aku hampir lupa, berkas yang kau minta sudah aku taruh di meja kerja mu"
"Berkas?"
"Yups, jangan bilang kau lupa" Thomas terhenyak.
"Ok, akan aku lihat, apakah kau sudah sampai? Bagaimana dengan ana?"
"Kami baru sampai kota dan dia tertidur" El melirik kearah Ana disampingnya.
"Baiklah... Antarkan ana dengan selamat sampai rumah Edna"
"Tentu saja jangan khawatir"
"Sudah aku tutup telpon nya, thank El"
"No problem..."
Berjalan Thomas ke arah meja kerjanya, setumpuk map berwarna senada bertengger di sana, kemudian diambilnya amplop coklat besar itu Tak lama Thomas mengeluarkan isinya.
Deg
Wajahnya memucat
Apa maksudnya?
Pinggiran kertas putih itu berkerut akibat remasan tangan Thomas, dengan tangan bergetar dibaliknya kertas itu, dibaca berulang dengan tatapan tak percaya.
Bagaimana bisa?
Lamunan Thomas buyar mendengar suara Max di sana.
"Thomas ada apa? Kau tampak gusar"
Dengan nafas berat Thomas berdehem, ia menyodorkan benda berukuran kecil dari saku nya dan map coklat sedari tadi ia pegang.
Dan sebuah.......pistol
Deg
Max mengambilnya dan membuka amplop itu.
Matanya membola, tangannya bergetar
Tatapan Thomas menggelap suara nya dingin menatap tajam pada Max.
"Bisa kau jelaskan?"
...TBC...
...________________...
...Yuhu.... Lanjut ya biar semangat tinggalkan jejak ya 🥰🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
🔵⏤͟͟͞𝐑𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆🔰π¹¹™𒈒⃟ʟʙᴄ❤
next
2021-09-28
1
Meylin
terlalu bnyak bernarasi jadi ngos2an bacanya 🤪😜
2021-06-27
4
Aisyah Basariah
lanjut
2021-05-07
1