Sinar matahari mulai menyinari bumi mengintip malu-malu di sela jendela yang tertutup sebagian gorden berwarna putih tulang. Sepasang mata dengan bulu lentik itu mulai mengerjapkan matanya, meraba selimut yang menutupi tubuhnya setinggi perut, reflek ia menariknya hingga ke leher, bergeser menyamping mencari-cari guling yang sedari malam menemaninya.
Ana malah masuk lagi ke alam tidurnya, merasa ada suara yang bergerak dari arah sofa sebrang tempat tidur Ana perlahan membuka matanya. Seketika matanya membuka sempurna, Ana kaget luar biasa melihat sesosok aura gelap duduk disofa dengan tatapan tajam membunuh.
Tubuh Ana seketika tegang dan langsung terduduk mundur menyandar ke dipan tempat tidur sambil menarik selimut menutupi sebagian wajahnya.
"Ck..... tidak perlu kaget begitu, tak ada yang perlu kau tutupi, tidak menarik sama sekali..." senyum Theo mengejek.
Ana mencengkeram erat selimutnya, Theo bergerak merubah duduknya dengan melebarkan kedua kakinya dan meletakan kedua lengan di lutut dan menopang dagunya. Wajah kusut dengan penampilan berantakan tidak menyurutkan tatapan tajam di wajah tampan.
" Bisa-bisanya kau tidur nyenyak disaat ayah ku diambang Kematian, luar biasa..."
Ana masih menundukkan kepalanya, tidak berani ia menatap mata elang itu.
"Sudah ku katakan bukan, tatap mata ku ketika berbicara, ck.... Tidak punya sopan santun..." Theo berdecak meremehkan.
Dengan suara berat dan dingin, matanya masih tertuju pada wanita itu
"Katakan.... Apa yang keluarga mu rencanakan sebenarnya???"
Tangan Ana bergetar, ragu-ragu ia mendongakkan kepalanya, matanya melihat mata tajam itu, pita suara nya terasa sulit mengeluarkan suara.
"A...aku..su...sungguh tak mengerti maksud mu tuan..." Mata ana mulai berkaca-kaca seketika nyalinya menciut melihat emosi tertahan di wajah pria jangkung itu.
"Ha..ha..ha...cukup berpura-pura, aku tidak akan terperangkap dalam wajah sok polos itu... Lepaslah topeng rubah mu sungguh memuakan..."
Theo beranjak dari sofa berjalan mendekat kearah tempat tidur, dengan aura intimidasi Theo medekat, ia mencengkram kuat dagu mungil itu dengan tangannya yang besar.
Theo mendongakkan kepala Ana kearahnya.
"Lihatlah wajah ini, wajah sok polos yang telah menipu ayah ku??? Ck..... dan itu tidak akan pernah terjadi padaku...."
Kepala Ana terhempas kesamping setelah dagunya di lepas Theo dengan kasar, Theo melangkah keluar kemudian ia menolehkan kepala, sudut matanya melihat Ana.
"Berpakaian lah.... mulai hari ini sarapan mu di bawah, terserah jika kau ingin mati kelaparan, aku tak perduli, turun sendiri jangan merasa seperti nyonya disini..."
Selepas hilangnya bayangan Theo di balik pintu jeruji itu, Ana melonggarkan dirinya dari ketegangan yang terjadi. Ia beranjak turun dari tempat tidur, menuju kamar mandi, mambasuh dirinya kemudian memakai pakaian yang tersedia disana. Setelah selesai Ana berjalan keluar kamar, ragu-ragu ia membuka jeruji itu, dan keraguannya hilang ketika pintu itu terbuka, segenap hati ia mendorong kedua pintu itu. Ana melihat sekitar sambil melangkahkan kakinya yang ia bingung entah akan kemana, tiba-tiba seorang maid yang tampak lebih muda dari Vivian menghampirinya.
Sang maid menunduk sopan dengan senyum kaku "Selamat pagi nona, tuan menunggu anda di meja makan, mari saya antar...."
Ana membalas salam sang maid dengan ragu menganggukan kepalanya, tidak menunggu jawaban Ana, maid itu berlalu melangkahkan kakinya menuju ruang makan di lantai dasar. Ana melihat mansion itu dengan kekaguman, ini pertama kalinya iya keluar dari kamar tersebut, nampak bangunan mewah nan klasik, persis kerajaan Inggris.
Sesampainya di sebuah pintu kayu yang setengah terbuka, maid itu membalikan badannya dan mempersilahkan ana masuk.
"Silahkan nona...."
Dengan langkah ragu-ragu Ana mendekat, dilihatnya ruangan mewah yang ditengahnya terdapat meja panjang dengan 18 kursi berjejer, langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang duduk di kursi yang sedang menikmati sarapannya.
Sambil meneruskan makannya Theo berucap tanpa melirik sedikitpun.
"Duduklah..makan sarapan mu, jangan menjadi gadis manja..."
Ana mencengkram ujung dress yang ia gunakan, sambil berjalan ia melihat jejeran kursi disana ragu-ragu Ana menarik kursi yang cukup jauh.
"Jika kau tahu diri, duduklah di tempat yang paling jauh dengan ku.."
Ana bergerak ke arah kursi terujung, kemudian ia duduk, beberapa maid membawa makanan ke hadapannya. Sarapan itu berlangsung dalam keheningan, hanya ada suara kecil denting sendok garpu.
Sambil membersihkan mulutnya Theo menatap Ana dari kejauhan.
"Mulai dari sekarang, kau tidak mempunyai kehidupan mu sendiri, hidup mu berada di sini di tangan ku, jangan berharap bisa keluar dari mansion ini... Selangkah saja keluar nyawa mu hilang dari tubuhmu... " Suara Theo terdengar dingin dengan wajah datar.
Kunyahan Ana terhenti, tangannya bergetar sambil melepas sendok itu perlahan, jari-jari turun dan saling meremas di pangkuan.
Perlahan Ana menatap mata elang itu, bibirnya bergetar berusaha berkata-kata.
"Me..mengapa? Tuan?"
Theo berdecak, tatapannya semakin menajam, muncul seringai di wajahnya yang tampan itu.
"Bukan kah ini mau mu?"
Hening.
Ana bingung dengan apa yang terjadi, setelah kabar ayah nya yang hilang dan menjadi buronan, ia diculik oleh keluarga dari orang yang ia dan ayahnya selamatkan, dan sekarang statusnya sudah menikah dengan pria ini. Pria yang menjadikannya tahanan di mansion ini.
Dan apa yang pria ini katakan?
Keinginannnya?
"A...aku..tidak menginginkan i..ini terjadi, sungguh... Tidak mungkin Daddy melakukan nya.... Sungguh.... " Tatapan memohon Ana nampak di wajah sendu itu, ia rindu sang ayah.
"Ka...mi hanya menolong uncle Max, wa...waktu itu ia te..terluka parah..."
Braaak....
Sekuat tenaga Theo memukul memeja dihadapnya.
"Diam..!!! Hentikan omong kosong mu... Kau ingin tahu apa yang terjadi ketika mulutmu berkata kebohongan?....tunggulah hingga ayah ku terbangun, setelah kuketahui apa yang terjadi sebenarnya tentu kau akan enyah dari dunia ini.... mulai detik ini... Nikmati penjara ku...."
Suara Ana tercekat, airmata menganak sungai, tangannya semakin dingin.
Dengan emosi menggebu-gebu Theo beranjak dari duduk nya, terdengar suara decitan keras dari kursi kayu yang bergeser.
Sambil berjalan tatapan Theo semakin menggelap, ia melirik pada gadis di ujung meja.
"Tenang saja kau tak sendirian.... Tidak akan lama si brengsek itu tertangkap....tunggu saja" kemudian Theo berbalik melangkah keluar dari mansion tersebut, meninggalkan sang gadis dalam keadaan hati yang remuk redam.
...***...
Vivian menghampiri Ana yang masih terduduk disana, sudah setengah jam Ana termenung. Memikirkan ayahnya yang entah dimana dan bagaimana kondisinya??
Ana takut jika ayahnya tertangkap dan dipenjara atau yang paling ditakutkan jika ia ditemukan oleh Theo. Ana takut jika ayah nya harus ikut dipenjara disini atau bahkan disiksa oleh pria yang menjadi suaminya itu.
Ya.. ia harus mencari ayahnya...
Ana harus keluar dari mansion ini apapun caranya.
Tepukan di bahunya menyadarkan ana dari lamunannya.
"Nona.... Nona... Maaf apakah sarapannya sudah selesai? Jika sudah mari saya antar ke kamar..."
"Ah.. yah bibi... Aku sudah selesai"
Kemudian ana beranjak dari kursi itu berjalan keluar mengikuti Vivian, langkah Ana terhenti ketika akan menaiki tangga.
"Bibi... Bolehkah aku meminta sesuatu?"
Vivian menghentikan langkahnya kemudian berbalik.
"Ya nona ada yang nona perlukan?"
Sambil mengeratkan tangannya ke pinggiran dressnya "Aku... Bolehkah aku berkeliling terlebih dahulu sebelum ke kamar, sungguh aku bosan disana..." Ana menatap Vivian dengan wajah memelas, tentu membuat Vivian tak tega.
"Jika bibi ragu, bibi ikut dengan ku... Aku tidak akan lama...hanya ingin menghirup udara segar..." Lanjut ana.
Vivian tampak berfikir, sungguh ia tak tega melihat majikannya terkurung berhari-hari disana.
Ya.... Vivian tahu jika Ana adalah nyonya Willenberg, ia diperintahkan langsung oleh Theo menjaganya sekaligus mengawasinya. Vivian salah satu kepercayaan keluarga Willenberg, karena ia juga yang sedari dulu mengurus Theo setelah sang nyonya meninggal dunia.
"Baiklah.... Namun hanya sebentar saja ya nona... Saya akan membawa nona halaman belakang...."
Ana bernafas lega, ia bersemangat, ia yakin sedikit lagi akan menemukan jalan keluarnya.
Mereka berdua berjalan menuju halaman belakang, nampak disana ada banyak tanaman hias yang menempel di dinding, seakan-akan dibiarkan menutupi hampir keseluruhan dinding mansion tersebut.
Tidak banyak maid maupun body guard berlalu lalang disana, hanya ada beberapa tukang kebun yang sedari tadi sibuk merawat tanaman.
Sebelah barat ia melihat ada sebuah rumah kaca yang tampak terawat. Ana melangkahkan kakinya kesana. Vivian hanya mengikuti ana dibelakang.
Ana mendekat berbalik dan bertanya pada Vivian.
"Bibi apakah aku boleh kedalam sana...."
Vivian ragu, ia tersenyum kepada nonanya.
"Maafkan saya nona... Saya rasa harus seizin tuan...maafkan saya...."
Seketika binar di wajah Ana meredup.
"Ya bibi tak apa....." Jawab ana dengan sendu.
"Tapi bolehkah aku melihatnya dari jendela?"
"Saya rasa itu boleh saja nona..."
"Terimakasih bibi" setengah berlari Ana mendekati rumah kaca tersebut, ia melirik ke dalam dari jendela yang tak tertutup gorden.
...Gambar dari google ya... Anggap pintunya tertutup dan ada gordennya. Hehhe...
Mata ana berbinar, ia tersenyum. Mengagumi keindahan didalam sana.
"Wow... Indah sekali bibi... Seandainya aku bisa masuk kesana"
"Bagaimana jika nona coba meminta izin pada tuan" saran Vivian
Seketika wajahnya murung, matanya tampak ragu.
"A..aku rasa tidak perlu bibi.. a..aku tak berani..."
"Tuan tidak sejahat itu nona, lagi pula nona isteri tuan bukan?" Senyum Vivian sambil menggoda ana.
Seketika wajah ana merona merah.
Isteri?
Tentu saja tapi hanya sebagai ikatan penjara ku saja..
Ana menggeleng, kemudian Ana melangkah area yang lebih rimbun tertutup pohon, berharap ada petunjuk disana. Dari kejauhan ada beberapa bodyguard dan maid berlalu lalang dari sana, dari sebuah pagar dinding batu yang menjulang tinggi.
Ana antusias, namun ia menahan rasa itu dalam-dalam ia tak mau Vivian menyadarinya.
"Itu apa bibi, mengapa banyak orang disana?" Ana menunjuk gerbang tersebut.
"Ah itu gerbang belakang nona, tempat masuk keluarnya maid dan bodyguard beraktivitas, seperti membawa masuk suply kebutuhan seisi mansion dan juga lainnya... Yang tidak memungkinkan memakai gerbang utama" jelas Vivian.
Aha.....
Ana menganggukan kepalanya...dalam hati ia bersorak gembira, mendapat jalan keluar yang sedari tadi ia cari.
Kemudian mereka berjalan kembali masuk ke dalam mansion. Sepanjang perjalanan ana menghapal lorong-lorong yang ia temui.
Sesampainya di dalam kamar Ana merebahkan diri memandang langit-lagit kamar. Ia merasa optimis. Senyumnya tak kunjung usai.
Ya... Akan aku lakukan bagaimanapun caranya.
Sekalipun aku harus menundukkan kepala ku pada pria arogan itu.
Demi Daddy...
...TBC...
apakah ana akan berhasil???
🥰🥰🥰💃💃💃💃💃
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
RN
double like hadir harian datang lagi kk feedback totok pembangkit saling dukung
2021-06-24
1