Derap langkah terdengar sayup mengalahkan gerimis di gelap nya hutan Pinus. Langkahnya terseok-seok diiringi degup jantung yang memompa penuh waspada. Laju nafas menguat seirama teriakan manusia terdengar tak jauh darinya bersahutan, terdengar seakan seruan malaikat maut. Tak kuasa ranting kering nan lembab ikut serta menggores telapak kaki tak beralas. Lelaki paruh baya itu lari semampu yang ia bisa menghiraukan rasa sakit yang mengelabui tubuhnya. Entah sudah berapa lama ia berlari tak tahu arah hingga kulit nya memucat dan menggigil.
Hosh.
Hosh..
Di lengannya mengucur cairan merah berbau anyir, mengubah warna kemejanya putihnya yang terkoyak. Hembusan angin dan dinginnya air menerpa wajah lelaki itu. Pandanganya mengabur, lututnya bergetar, tak kuasa lagi menahan tubuh yang hendak rubuh.
Tidak.. tunggu jangan dulu...
Bruak...
Terjerembab ia pada tanah basah berkat akar pohon yang tak nampak karena gelap, tangannya mengepal mengumpulkan sisa tenaga namun tak kunjung juga ia mampu bangkit. Putus asa ia rasakan. Sayup-sayup terdengar suara langkah yang mulai menjauh, hingga kesadarannya mulai terenggut.
Nampak di pelupuk mata ia melihat wanita cantik yang dipangkuan nya duduk seorang anak balita, dengan senyum menghiasi wajahnya yang teduh, nampak bercengkrama dengan sosok kecil yang terus berceloteh dengan riang nya, sungguh pemandangan yang meneduhkan hati siapa saja.
Inikah waktunya aku untuk pulang...
"Hei son, lihat Dady sudah datang" wanita itu menatap nya dengan penuh bahagia. Sosok kecil itu turun dari pangkuan dan berlari kearah nya.
Hap
Anak kecil itu berada dalam gendongan sang ayah. Senyum ketiganya menghiasi potret indah itu.
Ya.. aku pulang...
Senyumnya terlukis seirama dengan netra lelaki itu menutup mata semakin dalam dan perlahan.
...***...
Cuaca dingin di pagi hari membuat semburat merah di pipi seorang gadis yang tampak ranum.
"Huuftth...kapan badai ini berakhir." Sambil menghela nafas nya berat ia melihat jendela menampakan hujan lebat.
"Morning baby..."
"Morning dad...ku pikir ini bukan pagi lagi ini hampir siang" pandangannya kearah jam dinding.
"Ya kau benar, ini karena badai, Pancake?" jawab lelaki itu.
" No dad, aku hanya buat sandwich dan sup untuk pagi ini, tidak apa kan?"
"Of course... Apa pun yang kau buat akan selalu menjadi makanan yang menyenangkan untuk ku" goda sang ayah.
"Hahaha mengenyangkan mungkin maksud mu dad" keduanya tertawa.
"Oh ya dad.....Bagaimana dengan tuan itu??" Sang gadis melirik ke arah pintu yang setengah terbuka.
"Mmmh... Entahlah, dad belum bisa memastikannya sekarang, seperti nya ia bukan berasal dari sini, dan tidak identitas sama sekali......." jawabnya sambil menghela nafas.
"Tapi luka nya kurasa cukup parah..."
"Ya dad tau itu, tapi mau bagaimana lagi kita tak mungkin membawa nya ke kota, ditengah badai seperti ini, kurasa kita harus menunggu reda"
" Itu butuh berhari hari dad, apa tidak ada yang bisa kita lakukan?"
"Sekarang kita hanya bisa memastikan luka nya jangan sampai makin buruk, memberi kabar lewat telpon satelit pun rasanya percuma, tidak akan ada yang bisa datang kemari"
"Syukurlah tuan itu masih bernafas saat kita temukan kemarin"
"Kau benar..." Percakapan mereka terhenti kala terdengar erangan dari kamar berpenghuni itu, segera mereka berlari kecil menghampiri nya.
"Heemh..."
"Dad sepertinya demam lagi.." sang gadis berkata sambil menempatkan punggung tangan nya pada dahi lelaki paruh baya itu.
"Cepat kamu ambilkan handuk dan air hangat serta obat penurun demamnya lagi"
Bergegas sang gadis keluar kamar.
Dahi lelaki itu berkerut dan berpeluh keringat, tak tanggung-tanggung tubuhnya menggigil hebat hingga terdengar gemeletuk gigi beradu.
Selimut yang bertengger di tubuhnya tak mampu menandingi dingin yang dirasakan. Sudah semalaman lelaki itu demam tinggi. Thomas, ayah gadis itu langsung mendekat dan meletakan kembali selimut yang terjatuh.
Selang beberapa waktu sang gadis datang langsung melakukan hal yang sepanjang malam ia lakukan, mengompres dahinya dengan telaten kemudian menyeka keringat dengan handuk kering. Obat penurun demam diberikan Thomas melalui selang infus yang terpasang.
Beberapa jam pun berlalu, demam nya sudah turun dan kemudian tertidur kembali.
"Dad bagaimana ini, sudah semalaman demam tinggi dan sampai saat ini belum terbangun"
Sambil menghela nafas gadis itu masih memandangi dengan rasa khawatir. Ya dia Riana sesosok gadis cantik yang baru lulus senior high school, wajah nya yang putih pucat dengan semburat merah di wajahnya, rambut nya bergelombang berwarna almond tergerai indah, netra nya masih terpaku terhadap tubuh lelaki paruh baya di hadapannya.
"Ana... Beristirahatlah... Biar aku sekarang yang menunggu nya, kamu sudah tidak tidur semalaman" sambil mengusap sayang kepala gadis itu.
"Tak apa dad, aku sungguh khawatir..."
"Aku tak mau kamu sakit" Thomas membujuk Riana lagi.
"Aku khawatir, karena merasa melihat mu sakit dad" tersenyum sendu.
"Aku sehat honey, jangan khawatir" Thomas membalas dengan senyumnya sambil merangkul pundak Riana.
"Baiklah dad...Bila dad mau istirahat nanti panggil aku di kamar, kita bisa bertukar" Ana berdiri dan memeluk Thomas kemudian bergegas keluar kamar.
Hingga bayangan Ana menghilang, Thomas duduk di kursi dekat tempat tidur itu berada. Sambil menghela nafas ia memperhatikan, nampak luka di leher hingga pundak kiri telah tertutup verban dan bebat yang masih terlihat bercak darah mengotori nya. Juga telapak tangan itu tak luput dipenuhi goresan serta kaki kiri yang terbungkus rapi hingga menutupi setengah betis nya.
Thomas menghela nafas pelan.
"Siapa kau sebenarnya.... Segeralah pulih.."
...***...
3 hari kemudian....
Lelaki itu sudah siuman sejak 2 hari yang lalu, tidak banyak kemajuan yang didapat, pria itu hanya mampu membuka mata nya, pergerakannya yang terbatas hanya terbaring di tempat tidur.
Ana masih berjibaku di dapur, setelahnya dia bergegas mencari sang ayah yang berada di halaman depan rumah.
"Dad sarapannya sudah siap, wow uncle El sudah datang.... Kali ini membawa apa?" Riana berlari kecil menghampiri keduanya.
"Hai baby koala ternyata kau sudah bagun" sapa El. Ya... Dia Eldrich teman kerja Thomas yang tugas nya mengantar persediaan pos tim SAR yang berada ditengah hutan Pinus tempat jalur pendakian.
"Aku sudah bukan baby koala lagi, lihat uncle aku sudah hampir setinggi mu" bibir Riana mengerucut membuat kedua laki-laki itu terkekeh.
"Ya ya kau bukan lagi baby koala, kau sudah menjadi cctv Thomas, kemana-mana terus saja kau ikut Dady mu pergi, tidak kah kau punya teman kencan?" Goda El.
"Ya Tuhan dari pada aku berkencan mending mencari babi hutan"
Dan ketiga orang itu pun tertawa.
"Jangan bilang di usia 18 tahun ini kau belum pernah berkencan"
"Stop uncle jangan menggoda ku terus, aku bosan tinggal berjauhan dengan dady, yang hanya bertemu 3 bulan sekali, aku hanya tinggal dengan aunty Edna dan Rosa saja. Kau tau Rosa selalu membuli ku" Raina berdecak.
"Baiklah baiklah.... Terserah mau mu..." Sambil mengacak rambut Riana mereka berjalan memasuki rumah itu.
"Sampai berapa lama kau akan disini?" Lanjut El
"Entahlah sampai aku menunggu panggilan dari universitas, aku belum dikabari lagi dari sana"
...***...
"Jadi kau menemukannya di bawah tebing sana, ya Tuhan sungguh malang nasibnya, apa mungkin dia terjatuh?" El merebahkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Dilihat dari jenis luka nya ku rasa ia tidak terjatuh dari atas, lukanya itu nampak panjang dari leher hingga bahu kiri untunglah tidak mengenai pembuluh darah besarnya dan luka di kaki nya cukup dalam, seperti sayatan benda tajam" El mengangguk-anggukkan kepala nya.
"Tidak ada identitas sama sekali?"
"Tidak, itu yang ku bingung kan, bagaimana mungkin ada orang datang ke tengah hutan ini dengan pakaian kerja formal dan tanpa identitas?" Hela Thomas. "Tapi aku menemukan ini" Thomas menyodorkan benda kecil berwarna gold itu.
"Cufflink?" Tanya El
"Yups... Tapi aku tak tahu adakah makna dari benda itu atau tidak" El mengambil cufflink itu dan memperhatikannya. Nampak cufflink berwarna gold di tengahnya terdapat inisial huruf M dan sebuah berlian kecil di atas inisial tersebut.
"Entahlah, tapi ini akan ku bawa ke kota, semoga saja ada petunjuk"
"Baiklah" jawab Thomas
"Siapa nama nya? Apa sebaiknya kita bawa saja ke kota?"lanjut El
"Aku sudah bertanya siapa nama nya, dia hanya menjawab 'Max', aku bahkan sudah membujuknya untuk dibawa ke kota tapi dia menggelengkan kepala nya dan tampak ketakutan" Hela nafas Thomas dengan berat.
"Entahlah, aku bingung..."
Hening seketika...
"Sudah sore, sepertinya aku akan kembali" lanjut El sambil bangun dari duduk nya dan berjalan kedalam kamar Max berada, dilihatnya Ana sedang menyuapi Max dengan telaten nya.
"Ana.... Aku akan kembali ke kota, tidak kah kamu akan ikut?"
"Tidak uncle, aku akan disini bersama dady, sambil membantunya menjaga tuan Max" jawab ana.
"Baiklah, aku akan kembali Rabu depan, nanti kau bisa ikut ke kota"
"Ok uncle, sepertinya nanti aku akan ikut"
"Baiklah, aku pamit, baik-baik kamu disini" sambil mengacak rambut Raina.
"Hentikan uncle...."
"See you baby koala" El pergi sambil terkekeh.
Ana menggelengkan kepala nya sambil tersenyum meneruskan suapan pada tuan max.
"Lihat tuan uncle El selalu saja menggodaku, aku selalu jadi anak kecil dimata mereka" ia tertawa cekikikan.
"Wah makan mu sekarang bagus, porsi sore ini habis.. jika kau terus begini tentu akan cepat pulih" Hanya senyum tipis yang nampak di bibir Max, pandangannya mulai hidup.
" Aku akan membereskan bekas makan ini dulu ya" Ana tersenyum ia bergegas ke dapur.
Siapa gadis ini..?
...***...
3 hari berlalu, Max berangsur pulih, ia sudah bisa tersenyum mengangguk dan menggelengkan kepala nya. Ana tak hentinya membantu Thomas mengurusi Max.
Ia sudah menganggap Max adalah paman nya, ia bercengkrama seakan Max bisa menjawab nya, membacakan buku, bahkan membuka sosial media nya sambil memperlihatkannya pada Max.
"Lihatlah uncle, teman ku baru saja posting bahwa dia akan kuliah ke luar negeri, haaah...rasanya seperti apa bisa bertemu manusia dari belahan bumi lain?" antusias nya. Max tersenyum menanggapinya.
"Aku ingin sekali... Tapi aku tidak mau meninggalkan dady sendiri disini, tidak ada siapa-siapa lagi yang akan menemaninya" Ana menghela nafas sambil menatap lantai yang dipijaknya.
"Tahu kah uncle setelah mom pergi, dady selalu sendiri, tidak pernah sekali pun ia mencari pengganti mommy, padahal aku sudah pernah memintanya, tapi dady malah mengambil pekerjaan nya seperti ini yg jauh dari keramaian, jauh dari hiruk pikuk manusia"
"Aku menyayanginya, sangat.... Kadang aku pun merindukan mom" tak terasa air bening bergulir dari sudut matanya itu.
"Mengapa aku menangis?" Sambil terkekeh dan menghapus air matanya itu.
"Apakah uncle mempunyai keluarga? Tidak kah merindukan nya?"
Air mata Max tiba-tiba menggenang bersiap-siap untuk turun.
"Oh tidak uncle jangan menangis, maafkan aku" hatinya merasa bersalah.
"Apa uncle ingin mengabari mereka?" Lanjut Ana.
Hening...
"Th...Theo..." Sekuat tenaga max menyebutkan nama itu.
Ana panik "Ya tuhan.... Uncle kau bisa bicara!!!" Dengan antusias gadis itu segera berlari mencari Thomas, kemudian mereka berdua menghampiri Max yang duduk di sofa kulit.
"Dad sungguh aku tak percaya uncle max tadi bicara pada ku"
"Begitukah...?"
"Tentu dad, dia menyebutkan sebuah nama, Theo kalau tidak salah" jawab Ana.
"Kamu tidak salah honey?"
"Tentu tidak dad, Oh God apakah kau tidak percaya padaku?" Mata Ana membola.
"Beristirahatlah, aku tahu kau lelah..." Sergah Thomas, sambil membuang muka Ana keluar dari kamar.
Hening sejenak, Thomas memperhatikan Max yang terduduk.
"Apa yang kau rasakan sekarang?" Tanya Thomas
Max hanya menatap Thomas.
"Aku tahu kau baik-baik saja, tidak ada cedera yang membuat kau kesulitan bicara, tidak perlu sungkan pada ku"
Max mengerjapkan matanya tak percaya kepura-puraannya terbongkar Thomas
"Tapi jika kau belum siap untuk bicara, tak apa, aku tidak akan memaksa, aku bersyukur kesehatan mu berangsur membaik"
Haruskah ku bicara?
"Baiklah aku akan kembali, segera istirahatlah...." Thomas bangkit dan kemudian melangkah keluar kamar.
"T...tunggu..."
Thomas terperanjat kemudian berbalik dan kembali duduk berhadapan dengan max.
"Sudah aku duga kau baik-baik saja.., adakah yang ingin disampai kan?"
"I am sorry...."
"Tidak apa, tidak perlu sungkan, apa ada yang dapat aku bantu?"
Lanjut Thomas.
"Bolehkah aku meminjam ponsel, aku harus menghubungi keluarga ku, rasa nya sudah terlalu lama" pandangan Max terputus kemudian menghadap jendela.
"Tentu, aku akan mengambilkannya"
Thomas keluar untuk mengambil ponsel tersebut, tak lama ia kembali kemudian menyodorkan benda itu pada Thomas.
"Ini telpon satelit, kau bisa memakai nya"
"Terimakasih..." Max mengangguk dan tersenyum tipis.
"Aku berada di luar jika membutuhkan ku.." Thomas beranjak meninggalkan Max.
Di tekannya nomor ponsel yang selau Max ingat, terdengar dering tersambung di sana
Tut..
Tut..
Tut..
"Halo..." terdengar suara dari sebrang telpon
"...." Netra Max memerah, jiwa nya lega mendengar suara tersebut.
"Halo, siapa ini??"
"....son ini Dady....."
".....…" Tak kunjung ada jawaban dari sana, tangannya bergetar kemudian ia memutuskan sambungannya.
...***...
Maapkeun jika banyak typo bertebaran, mamake ini pemula untuk menulis..
Semoga suka ya Gais... 🥰🥰🥰🥰🥰🌺🌺🌺🌺
Di tunggu like n comment biar semangat.... Hia hia hiaaa.....
...❤️❤️❤️❤️...
Theo POV
Sudah 3 Minggu aku kehilangan kabar nya, entah kemana lagi harus kucari, sudah ku kerahkan segala cara dan upaya. Belahan dunia mana yang belum aku jelajahi untuk mencari jejaknya, sungguh rasanya lelah namun aku tak mampu duduk diam ketika tahu satu-satunya keluarga ku entah dimana rimba nya.
Sungguh tuhan sangat menyayangiku. Di hiruk pikuknya kehidupan ini aku masih disibukan dengan persoalan dunia yang tak kunjung usai, perebutan saham dan kekuasaan menjadi titik jenuh ku.
Sungguh miris bukan?
Dikala aku susah payah mencari mu dad, mereka sibuk berebut isi perut.
Entah sudah berapa malam tidur ini tak tenang, memori indah bersama mom selalu menghampiri. Tak jarang aku bermimpi jika mom dan dad bersama.
Apakah artinya mimpi ini?
Tidak.. jangan katakan kau bersama mom sekarang..
Mom sudah bahagia disana, kau tidak boleh meninggalkan ku disini bersama tikus-tikus itu dad.
Ku hela nafas yang begitu berat, terlihat waktu angka 2 pagi, sudah larut ternyata, aku terbangun dari kursi kerja, berjalan lunglai ke arah peraduan. Rasanya tubuh ini ringkih, bolehkah rehat sejenak? ku rebahkan diri di ranjang dingin, berharap beban ini hilang sejenak, tanpa membuang waktu mata ini mulai terlelap...
Mom dad aku merindukan kalian....
Baru saja aku akan masuk ke alam mimpi aku terperanjat mendengar dering telpon yang memekakkan telinga, tak pernah aku menghidupkan mode getar ponsel ku karena berharap suatu saat dady menghubungi ku,
Bolehkah?
Tentu saja!!
Dering itu terus mengganggu telinga,
Ku tatap dan terdiam, menatap layar itu, siapa orang diwaktu dini hari menghubungi ku?
Sesaat aku terperanjat,
"Halo........"
Entah mengapa degup jantung ini mengencang ku menajamkan telinga, tak ada suara apa pun disana
"Halo siapa disana?"
".... Son ini Daddy...."
Deg
Ku dengar suara itu, suara pria renta yang ku rindukan
Mimpi kah??
Tapi tunggu aku tidak bermimpi?
Tiba-tiba telpon itu terputus.
Bergegas aku melihat benda persegi itu tak percaya. Segera aku bangun melupakan rasa lelah dan ngantuk yang menguap entah kemana dan aku pergi ke ruang kerja sambil menghubungi Jordan untuk melacak no ponsel tersebut.
Tunggu dad, aku akan segera menemukan mu....
Theo POV end
Langit gelap berganti terang, Jordan datang setelah mengetuk pintu kemudian membungkukan badan tanda hormat.
"Sir... Nomor telpon itu berada di Belukha pegunungan Altai, Siberia"
Hening sejenak, Theo tampak berfikir dengan raut kebingungan.
"Bagaimana bisa? Apa kau tidak salah kali ini?" Ragu Theo menatap tajam Jordan yang berhadapan dari kursi kebesarannya.
"Tidak diragukan sir... Karena itu no satelit jadi bisa dipastikan keberadaan nya..." Jawab Jordan dengan lugas.
Sambil menghela nafas Theo menutup matanya sambil menopang dagu.
"Apa anda yakin jika itu tuan besar yang menghubungi anda sir?" Lanjut Jordan.
"Entahlah...tapi aku jelas-jelas mendengar suaranya" masih dengan menutup matanya Theo merebahkan punggungnya ke sandaran kursi.
Dad is that you??
Matanya terbuka dengan tajam sambil memangku tangan nya depan dada dia menatap Jordan
"Cari dan temukan segera" tegas Theo.
"Baik sir..." Jordan berlalu keluar.
Theo bangkit dan berjalan ke arah jendela kaca yang terbuka lebar, ditatap nya foto pigura besar yang tergantung di dinding itu.
Aku merindukan kalian..
Yah.... Lelaki itu Theodore Gilian Wilenberg, pemuda berusia 29 tahun dengan wajah tampan bertubuh tegap dan tinggi, wajahnya rupawan, meski saat ini tampak rambutnya berantakan dan jambang yang mulai panjang tak mengurangi kharisma yang ada padanya. Dia anak pertama dari keluarga Wilenberg. Siapa yang tak kenal keluarga itu? Kekayaan dan kekuasaan tak terbatas di genggamannya.
Tak sedikit kawan yang menjadi lawan hanya untuk merebut tiraninya.
...***...
Beberapa hari berlalu Ana masih seperti biasa menghabiskan waktunya untuk menemani Thomas dan menjaga Max, terutama ketika Thomas harus ikut pendakian, Ana lah yang mendampingi Max.
"Siang uncle Max, sekarang waktunya makan siang, aku sudah membawa makanan untuk mu, semoga saja suka" dengan senyum secerah matahari, Ana berjalan masuk sambil membawa nampan berisi makanan hasil masakannya.
"Terimakasih Ana.... Aku selalu merepotkan mu..."
Max membalas senyum kepada Ana, sungguh manis gadis di hadapannya ini, seorang gadis cantik dengan wajah tanpa polesan make up yang kesehariannya selalu merawat dan menemaninya.
"Ahahah uncle ini bercanda saja, uncle tahu aku sudah terbiasa seperti ini sejak kecil. Jangan sungkan, kau sudah seperti keluarga ku, nah sekarang waktunya makan" jawab Ana dengan ceria.
"Baiklah Ana, tapi kali ini aku akan makan dengan tangan ku sendiri, sungguh tangan ku ini tidak apa-apa masih berfungsi dengan baik" sergah Max sambil menggerakkan tangan kanannya.
"Coba uncle lakukan beberapa Minggu lalu, aku yakin smua jahitannya akan terlepas" kekeh Ana "Susah payah aku dan dady merawat luka itu, tapi baiklah jika kau memaksa" lanjut anak gadis itu dengan muka pura-pura cemberut.
Max terkekeh "kau gadis yang baik"
"Ah uncle terlalu memujiku..." Ana bangkit setelah memastikan nampannya itu sudah tepat didepan max.
"Ini obat nya yang harus di minum setelah makanannya habis" lanjutnya.
"Baiklah Ana, aku mengerti kamu bisa kembali lanjutkan kesibukan mu" senyum mengembang di wajah yang mulai berkerut itu.
"Baiklah uncle, nanti aku akan kembali" Riana bergegas keluar meninggalkan Max sendirian.
Tak lama Ana kembali untuk memastikan Max memakan habis makanannya itu.
"Wow uncle sudah memakan semuanya..., Aku senang melihatnya"
"Ini karena makanan mu enak, aku jadi tak rela jika bersisa"
Ana membereskan nampan itu dan menyimpannya di meja kayu sudut kamar, ia kembali duduk di sofa yang berdampingan dengan sofa single yang diduduki Max.
"Oh ya uncle, bagaimana ceritanya kau bisa terdampar di pegunungan ini? Apa kau juga pendaki?" Rasa penasaran Ana menyeruak, tentu saja.
Max terdiam dia hanya melihat binar semangat gadis muda itu.
Merasa tak ada jawaban, amenjadi kikuk dan mengalihkan pembicaraan lain.
"Mmmmh.. bagai mana dengan Theo yang uncle ceritakan, bukan kan uncle sudah menghubungi nya?"
Max tersenyum tipis.
"Yah....aku sudah menghubungi nya, entahlah dia bisa menemukan ku atau tidak, karena sepertinya jarak kita hingga berbeda benua" jawab Max.
"Seriosly? Waaah ternyata dad benar uncle bukan berasal dari sini bahkan benua kita tidak sama" kekeh Ana.
Mereka berdua tertawa. Percakapan mereka berlanjut hingga sore menjelang.
drrrtt....
Pintu kamar terbuka masuklah Thomas yang baru datang,
"Hai dad, akhirnya kau pulang"
Thomas melangkah masuk sambil tersenyum ke dua orang disana.
"Aku pasti pulang... Masak apa hari ini? Sepertinya menggiurkan?" Thomas melirik kearah nampan kosong.
"Sayang sekali masakan ku sudah ku habiskan dengan uncle Max"
"Benarkah??" Sebelah alis Thomas terangkat. Max dan Ana mengangguk-anggukan kepala dengan yakin sambil terkekeh.
"Tentu saja" jawab Riana sambil memutar bola mata.
"Haaah... Baiklah...." Lesu Thomas, mereka berdua terkekeh.
"Tentu tidak dad, aku tahu jika pulang cacing diperut mu minta di suapi" masih dengan tertawa kecil Ana menghampiri Thomas. Diacak nya rambut gadis itu
"Stop dad rambut ku sudah sangat kusut.." Ana mencebik.
"Oh ya apa kabar hari ini?"
Thomas beralih pada max.
"Sungguh aku sudah baik" tersungging senyum di wajah renta itu.
"Syukurlah...."
Thomas beralih pada Ana
" Oh ya Ana... Besok El sudah akan kemari, kau bisa pulang bersama nya, ingat kau harus mulai mempersiapkan kuliah mu" ucap nya.
"Baiklah dad, sepertinya dad senang sekali jika aku tidak ada disini" cemberut Ana.
"Kau ini ada-ada saja, siap kan dad makan ya, cacing d perut ini sudah minta diisi" Thomas melirik jahil Ana sambil mengelus perut nya.
"Baiklah yang mulia...." Sambil cemberut Ana membungkuk seakan memenuhi titah raja. Hilang sudah bayangan gadis itu di balik pintu.
"Lihatlah kelakuan anak itu.." sambil tersenyum Thomas memandanginya.
"Kau sungguh menyayanginya Thomas"
"Tidak ada hal di dunia ini yang aku anggap berharga selain dirinya, satu-satu nya harta berharga yang ditinggalkan istriku" senyum sendu Thomas.
"Kau sungguh ayah yang baik" Max tersenyum miris.
"Kau berlebihan, aku merasa bersalah ketika hanya bisa membesarkan nya tanpa sosok ibu, tapi Ana tak pernah mengeluh, meskipun disudut hatinya aku tahu dia merindukan sosok itu, hebatnya Ana yang malah menggantikan sosok istri untuk ku, kau tahu cerewet nya dia ketika kau sakit, itu berlaku pada ku juga tentunya" kekeh Thomas sambil beralih pandangan ke jendela.
"Makanya aku ingin dia pergi ke universitas agar dia punya kehidupannya tanpa terpaku padaku, aku ingin dia bisa melihat dunia diluar sana" lanjut Thomas.
"Bagaimana jika Ana bisa ikut dengan ku, biarkan dia melanjutkan study nya disana" jawab Max.
"Tak perlu, itu sungguh merepotkan"
"Tidak sama sekali, sungguh aku harus berterimakasih pada kalian, anggap saja ini salah satu nya" Max menatap netra Thomas sambil tersenyum tulus.
"Aku tergantung Ana saja, jika dia menginginkannya aku akan mengijinkan"
...***...
Keesokan harinya....
Thomas masih sibuk memasukan barang-barang Ana ke bagasi, dibantu dengan El yang sudah bersiap di belakang kemudi.
"Dad sungguh aku tak ingin pulang, bagaimana kalian disini?"
"Hei honey, dad tak apa, kamu harus mempersiapkan segalanya mulai dari sekarang, masih ingat pembahasan kita semalam?"
"Yeah i know dad, tapi tak bisakah aku kuliah dalam kota saja? Aku tak bisa meninggalkan mu?" Raut wajah Ana tertekuk, ia gamang ketika harus dihadapkan suatu pilihan yang berat.
"Aku percaya padamu my little girl" ucap Thomas sambil mengusap sayang kepala Ana.
"Berhati-hatilah dijalan.... Oh yah apa kamu sudah pamit pada paman Max?" Gadis itu terperanjat
"Ya Tuhan aku lupa, tadi paman Max dan memintaku kesana, hhihii" sambil terkikik...
"Dasar kau ini...." Thomas menggelengkan kepalanya sambil tertawa.
Ana bergegas ke kamar Max, Ia melihat Max sedang berdiri mematung menghadap jendela sambil ditopang kruk, itu karena kaki nya belum mampu sepenuhnya menahan beban tubuhnya
"Hai uncle, maafkan aku hampir lupa berpamitan padamu" Ana mendekat.
Max berbalik menatap anak gadis itu dengan senyumnya.
"Tak apa Ana, buktinya kau sekarang ada disini"
"Hahah kau benar, oh ya uncle terimakasih tawarannya, tapi aku tidak tahu akan menerimanya atau tidak, rasanya sungguh pasti akan merepotkan nantinya" tolak Ana dengan sopan.
"Kau ini sudah ku anggap seperti anakku, jangan sungkan begitu" tak terima Max dianggap orang asing.
"Baiklah, akan aku pertimbangkan, aku pamit hari ini aku harus ke kota, apa uncle yang tidak akan ikut dengan ku? Tidak kah kau bosan disini??" gadis itu terkekeh.
"Tidak Ana, aku lebih tenang disini dan aku yakin sebentar lagu Theo akan kemari menjemput"
"Baiklah aku pamit uncle, salam kan pada Theo jika aku tidak sempat bertemu dengannya, atau uncle pulang jika aku sudah kemari kesini lagi bagaimana?i" dengan senyuman menghiasi wajah pucat gadis itu.
"Tentu aku akan pulang dengan mu bukan??" Goda Max
"Entahlah uncle, hehehhe aku pamit ya...."
Sebelum Ana melangkah pergi Max memanggilnya kembali.
"Tunggu Ana, ada yang mau aku berikan pada mu, tolong terima ini, simpan dengan baik-baik, siapa pun tak boleh mengambilnya dari mu, salah satu harta berharga ku aku titip kan pada mu, suatu saat kau akan mengerti" ucap Thomas sambil membuka cincin dari jemari nya dan memberikan nya pada Ana.
"Tidak uncle, ini berlebihan, aku sungguh tulus selama ini, tidak ada pamrih sedikitpun" tolak Ana.
"Aku tahu, jadi ku mohon simpan ini untuk ku" Max membuka telapak tangan Ana dan mengepalkan nya. "Bawalah selalu, itu permohonan ku Ana" ucap Max dengan raut wajah memohon.
Tak mampu Ana menolak permintaan lelaki paruh baya itu, dengan sangat terpaksa ia menerimanya.
"Baiklah uncle aku akan menyimpannya, uncle harus selalu sehat selama aku tidak ada disini, kau berjanji?" Sambil tersenyum secerah matahari Ana memeluk hangat Max.
"BaiklahAna, hati-hati disana" sambil melepaskan pelukannya, Max mengelus kepala gadis itu dengan lembut.
"Tunggu aku kembali kesini ya, jangan dulu pulang.. Aku pamit." Goda Ana.
"Hati-hati....." Sambil melambaikan tangan nya ana melangkah beranjak dari sana, hingga bayangannya hilang Max masih tersenyum.
Dia mirip dengan mu Shopia...
aku memilihnya, aku ingin mengembalikan semuanya....
Tentu kau akan setuju bukan?
Setelah ini tunggu aku sayang...
...***...
Dia Shura Riana Killian, anak semata wayang Thomas Killian, berdarah rusia-ingris. Ibunya bernama Nausha Zigfrid asli berasal dari Rusia. Ana nama panggilannya berusia 18 tahun. Gadis itu melangkahkan kakinya keluar rumah. Dihalaman ia lihat sang ayah sedang bersiap-siap.
"Kau siap baby koala" teriak El dari belakang kemudi.
"Tunggu sebentar..." jawab Ana, dia melangkah mendekati Thomas yang menunggunya didepan pintu mobil, Thomas membukakan pintu itu agar Ana segera masuk, setengah berlari Ana langsung memeluk Thomas.
"Dad aku akan merindukan mu, kau harus jaga kesehatan, jangan selalu makan makanan kalengan, sesekali masaklah yang ada, jangan bergadang dan terlalu banyak minum kopi" sambil mengeratkan pelukan.
Entah mengapa begitu berat meninggalkan Thomas saat ini, seperti akan pergi jauh, entahlah semoga hanya fikiran buruk saja.
"Tenang saja aku akan baik-baik saja disini, jangan terlalu khawatir ok, kau fokus dengan persiapan universitas mu, maaf kan dad tak bisa mendampingi mu" Thomas membalas pelukan Ana.
"Oh tuhan bayi ku sudah besar sekarang" lanjut Thomas sambil terkekeh.
"Dad apa kau baru sadar?" Sambil terkekeh Ana menghapus air mata haru yang entah mengapa keluar begitu saja.
Sambil melepaskan pelukannya Thomas memandang wajah cantik cloning sang isteri
"Baiklah baiklah... Hati-hati dijalan honey, i love you, kabari aku jika sudah sampai"
"Aye aye captain!!!" Senyum cerianya menghiasi wajah cantik itu.
Bergegas masuk Ana ke dalam yang mobil mulai berjalan meninggalkan kediaman itu, tak terasa air matanya luruh menatap Thomas yang semakin mengecil dan menghilang dari kejauhan.
Entah mengapa terasa begitu berat.
Berharap semua akan baik-baik saja.
Yah... Pasti baik-baik saja.
...***...
Terduduk kedua pria diruangan itu, saling menatap dalam diam dan berhadapan yang hanya di pisahkan oleh meja kayu mahoni. Tatapan Thomas terputus, kemudia menarik nafasnya dengan berat sambil memejamkan matanya.
Ingatannya berputar beberapa jam lalu.
Drrtt...
Drrtt....
"Ya halo..."
"Ya tom, ini aku El, aku hampir lupa, berkas yang kau minta sudah aku taruh di meja kerja mu"
"Berkas?"
"Yups, jangan bilang kau lupa" Thomas terhenyak.
"Ok, akan aku lihat, apakah kau sudah sampai? Bagaimana dengan ana?"
"Kami baru sampai kota dan dia tertidur" El melirik kearah Ana disampingnya.
"Baiklah... Antarkan ana dengan selamat sampai rumah Edna"
"Tentu saja jangan khawatir"
"Sudah aku tutup telpon nya, thank El"
"No problem..."
Berjalan Thomas ke arah meja kerjanya, setumpuk map berwarna senada bertengger di sana, kemudian diambilnya amplop coklat besar itu Tak lama Thomas mengeluarkan isinya.
Deg
Wajahnya memucat
Apa maksudnya?
Pinggiran kertas putih itu berkerut akibat remasan tangan Thomas, dengan tangan bergetar dibaliknya kertas itu, dibaca berulang dengan tatapan tak percaya.
Bagaimana bisa?
Lamunan Thomas buyar mendengar suara Max di sana.
"Thomas ada apa? Kau tampak gusar"
Dengan nafas berat Thomas berdehem, ia menyodorkan benda berukuran kecil dari saku nya dan map coklat sedari tadi ia pegang.
Dan sebuah.......pistol
Deg
Max mengambilnya dan membuka amplop itu.
Matanya membola, tangannya bergetar
Tatapan Thomas menggelap suara nya dingin menatap tajam pada Max.
"Bisa kau jelaskan?"
...TBC...
...________________...
...Yuhu.... Lanjut ya biar semangat tinggalkan jejak ya 🥰🥰...
Tok tok tok....
Suara ketukan pintu membangunkan Theo dari tidurnya, ia duduk segera memicingkan mata berusaha mengembalikan kesadarannya, ada pergerakan disampingnya Theo baru ingat ia tidak tak sendiri. Seorang wanita cantik tanpa busana tidur disana yang hanya tertutup selimut.
"Bangunlah Cindy, bukan kah kau ada pemotretan hari ini?
"Hemmmph sayang, aku masih ngantuk..., Kau membuat ku kelelahan semalam" racau wanita itu.
"Ccckk....cepatlah bangun dan pergilah..." Theo berucap sambil beranjak memakai celana piyama nya, kemudian ia berjalan kearah pintu.
Pintu terbuka nampak Jordan disana dengan setelan jas rapi ia menundukkan sedikit tubuhnya.
"Selamat pagi sir... 1 jam lagi anda ada rapat pemegang saham di kantor pusat" ucap Jordan.
"Hemmph baiklah...aku akan bersiap, dan tolong kau urus wanita itu, aku sudah tak ingin melihatnya lagi ketika aku sudah selesai"
"Baik sir...."
Theo berjalan ke arah kamar mandi tanpa terganggu sama sekali dengan wanita itu.
15 menit berlalu Theo keluar dari walk in closet, memakai jas rapi yang tampak fitt di tubuh tegas berototnya, rambut tersisir rapi, bulu wajah terpotong rapi berwangi after shave tak lupa dengan parfume berbau chypre ditubuhnya.
Sambil mengancingkan jas nya Theo berjalan keluar ia tersenyum tipis setelah melihat wanita itu sudah tak ada disana. Jordan menyapa tuan nya dengan hormat, kemudian ia berjalan dibelakang Theo. Mereka berjalan menuruni tangga setengah berputar itu.
"Setelah rapat apa ada jadwal penting lain?" Tanya Theo
"Untuk hari tidak ada sir, hanya ada beberapa berkas yang harus di tanda tangani, dan...."
Langkah Theo terhenti, kemudian ia berbalik menatap Jordan. "Mengapa diam? Apa maksud keterdiaman mu mengenai kabar Dady?"
Jordan menelan ludah "maaf sir......tentang tuan besar .... saya belum bisa menemukan lokasinya saat ini, karena signal nomor satelit itu tiba-tiba hilang"
Theo menarik nafas nya berat rahangnya mengetat ada amarah disana "Kau bilang kali ini akan berhasil... Hanya ini kah yang bisa kau lakukan?" Suaranya meninggi. "Sudah 3 hari dari telpon itu aku terima, tidak ada kah sedikit saja petunjuk!!!!"
"Maaf sir, saya sedang mencari nya ditempat terakhir signal itu muncul dan kendalanya karena berada di Rusia..."
Theo menarik nafasnya sambil memejamkan matanya berharap emosinya mereda. Sekarang tak banyak yang dapat dilakukan selain menunggu hasil pencarian
dan berdoa mungkin??
Theo mengusap wajah nya kasar, ia menatap Jordan, "Baiklah, kuharap ada kabar baik setelah ini, segeralah berangkat, dan ingat kuharap tidak ada kesalahan lagi..."
Mereka melanjutkan langkahnya, setelah sarapan, keduanya bersiap masuk kedalam mobil yang sudah terparkir dihalaman. Sopir membukakan pintu penumpang untuk Theo.
Drrttt
Drrttt
Jordan bergegas membuka ponsel dan mengangkat.
Deg
Wajah nya memucat.
"Sir........"
...***...
Saat ini Riana berada dikediaman aunty Edna di Barnaul ibu kota Krai Altai, Siberia. Edna adalah adik kandung Thomas sang ayah, saat ikut Thomas ke Siberia dia menikah dengan lelaki Rusia bernama Nikolay Ozerov. Selama Thomas berada di pos pengunungan Ana akan tinggal bersama Edna.
Pagi hari Ana selalu disibukan di dapur, ia bertugas membuat sarapan untuk seluruh keluarga. Menu sarapan sudah tertata rapi di meja dan semua keluarga berkumpul, tak berselang lama makananitu habis, para penghuni rumah itu menyibukkan dirinya masing-masing.
Hari berganti siang, Ana bersiap keluar rumah, ia berencana bertemu Ivan Lazarev, sahabat nya selama berada di senior high school. Ana memang tak banyak berteman dengan sebayanya selama sekolah, entahlah rasanya enggan saja berkumpul hanya untuk bergosip sana sini, untuk itulah ia lebih senang berteman dengan lawan jenis.
'tak perlu bergosip'
Hahah itu alasannya.
"Aunty aku pergi sebentar bertemu Ivan... Sepertinya aku akan pulang larut..."
"Jangan terlalu malam, kau tau kan Thomas akan menghubungi ku untuk mengabsen mu" ucap Edna sambil terkikik.
Ana mendekat pada Edna ia bergelayut manja.
" Yeah i know.... Hehhe... Aku tak akan lama aunty, i promise"
"Ok hati-hati di jalan...."
Cup
Ana mencium pipi Edna dan menghilang dari sana.
...***...
Ana dan Ivan keluar dari gedung sekolah itu, menyelesaikan berkas ini dan itu untuk persiapan mereka ke universitas, keduanya berjalan kearah trotoar dan tujuan mereka sekarang akan pergi ke taman kota. Sesampainya disana mereka mendudukan dirinya di rerumputan hijau.
"Huftt.... Selesai sudah. Kita hanya tinggal tunggu upacara kelulusan dan panggilan dari universitas...." Ana menoleh pada Ivan yang berada di sampingnya.
"Yeaah kau benar....... apa kau tetap dengan ucapan mu? Tidak akan ikut dengan ku ke Moscow?" Laki-laki itu mengernyitkan sebelah alisnya berharap keputusan Ana berubah.
"Kau tahu bukan alasannya seperti apa?"
Ana mencebikan bibir nya
"Tidak kah kau ikuti saran ayah mu?"
Timpal Ivan.
"No Ivan.... Jarak dari kota Barnaul ke Belukha saja sudah jauh, aku tak mau lebih jauh lagi meninggalkan dad" jawab gadis itu sambil senyum dipaksakan.
"Baiklah apapun itu semoga yang terbaik untuk mu ana...." Ivan tersenyum sambil mengacak rambutnya.
"Hentikan Ivan, mengapa kebiasaan semua orang mengacak rambut ku sih??" Wajahnya cemberut sambil merapikan rambut.
"Hahhah karena kau lucu jika berantakan seperti singa" Ivan tertawa puas disana.
Percakapan mereka berlanjut hingga sore menjelang.
"Haaah aku akan sedih tak bisa melihat mu ana...." Ivan tersenyum sendu disana.
"Hahahha kau kah itu Ivan, sungguh tak seperti dirimu? Oh aku tahu kan sedih karena tak ada yang bisa kau jahili lagi bukan" jawab Ana curiga matanya menyipit menatap Ivan tajam.
"Ya ya terserahlah..... Hahaa" perhatian mereka teralihkan karena suara bising mobil patroli polisi yang dibelakangnya berbondong-bondong mobil hitam besar.
"Ada apa disana? Mengapa banyak mobil hitam-hitam Van?" Tanya Ana heran
"Entahlah...ini sudah sore lebih baik kau ku antar pulang"
"Baiklah..."
...***...
Tok
Tok
Tok
Pintu diketuk cukup kuat dari luar, Edna mengintip dari celah jendela yang tertutup vitrase tipis. Sungguh ia terkejut apa yang dilihatnya ada 2 opsir berseragam lengkap disana.
"Selamat malam mam, apa benar ini kediaman keluarga Thomas Killian?"
Dengan degub jantung memburu Edna menjawab "Ya betul Thomas kakak ku, Ada apa sir?"
"Sebelumnya boleh kah kami masuk?"
"Oh tentu silahkan"
Mereka masuk kedalam rumah dan duduk di ruang tamu.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Edna.
"Tn Thomas menghilang, sudah 2 hari, dan ditempatnya hanya ditemukan sosok laki-laki yang terkapar akibat luka tembakan di dadanya" jelas sang opsir
"Ma..maksud nya? Apa Kakaku baik-baik saja?"
"Sejauh ini kami belum menemukan ada jejak maupun jasad dari Tn Thomas jadi kami menyimpulkan dia masih hidup, tapi masalahnya di pistol yang berada di TKP terdapat sidik jari nya"
"Dan itu berarti Tn Thomas di curigai sebagai tersangkanya"
Mata Edna memerah luruh sudah air matanya, tangannya gemetaran, ia sungguh tak percaya.
"Ti....tidak mungkin....."
Semua orang beralih pada sosok yang datang dari pintu....Itu Ana.
"Tidak mungkin Daddy yang melakukannya"
"Maafkan kami, kami tidak bisa berbuat banyak semua bukti mengarah padanya"
Rubuh sudah tubuh Ana ke lantai, Edna segera berlari menghampirinya, pandangannya menggelap seiring kesadarannya hilang.
Tidak mungkin.....
...***...
...TBC...
Yuhuuuu baru 3 cap Uda keriting ini jari
Tinggalkan jejak ya... Amunisi semangat 💃💃💃💃💃
banyakin koment n like ya 👍👍😘😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!