Mahendra mematung ia tidak dapat bersuara, apalagi dokter masih belum keluar membuat Mahendra semakin kuatir, bau anyir darah tidak ia hiraukan. Yang ia pikirkan adalah bagaimana keadaan Oktavia sekarang.
Fino memandang masnya yang terlihat tak bersemangat memandang kosong seolah tak bisa berbuat apapun. Fino jongkok memandang masnya yang sangat sedih dan sangat kuatir tentang kondisi Oktavia.
Sedangkan Khon memandang muak pria yang tak pernah peka dengan perasaan Oktavia.
"Mas," ucap Fino seraya menepuk pundak Mahendra.
Air mata Mahendra jatuh untuk kesekian kalinya, wajahnya sangat sedih, kenapa ia justru tersadar bahwa ucapan Oktavia pertanda sesuatu. Sedangkan Khon memandang sinis Mahendra, Mahendra ingin bertanya apa yang sedang terjadi namun Khon tiba-tiba menghilang seakan tidak mau menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Mas jangan seperti ini, lebih baik mas membersihkan tubuh mas dulu, lihat tubuh mas penuh dengan darah."
"Kenapa semua ini terulang kembali, aku berusaha menjauhinya.... Agar apa? Agar dia selamat tapi lihat apa yang terjadi? Ah...." Emosi Mahendra tidak terkendali sedangkan Fino mencoba menenangkan masnya.
"Lebih baik aku pergi saja... Memang aku tidak pantas untuk mendapatkan cinta!" ucap Mahendra yang segera berdiri dan meninggalkan Fino.
.
.
.
.
.
.
Zaky sangat marah, karena ia tau ia gagal membunuh Mahendra.
"Percuma aku membayar kalian jika kerja kalian enggak becus!" dengus Zaky pada orang suruhannya yang berhasil melarikan diri.
"Jika saja wanita itu tidak menolongnya pasti dia sudah mati bos!" jelas salah satu dari mereka.
"Apa maksud kalian? siapa yang menolong Mahendra?"
"Seorang perempuan bos, Mahendra memang tampak tidak memperdulikan dirinya tapi saat kami mengancamnya dan dia terkena luka tembak seketika itulah Mahendra menjadi marah bos"
"Benar bos, bahkan jika tidak di hentikan oleh adiknya pasti kami tidak akan sampai ke sini"
"Apa? Jadi kalian menembak perempuan itu?" tanya Zaky kesal karena ia tau perempuan itu adalah Oktavia.
"Iya bos, kami..." Zaky menampar orang suruhnya.
"Bodoh! siapa yang meminta kalian untuk melukai perempuan itu, sekarang kerahkan semua anak buah kalian untuk mencari keberadaan wanita itu dan setelah kalian menemukannya kalian beritahu padaku" ucap Zaky yang segera meninggalkan mereka yang nampak kebingungan.
"Kenapa bos menghawatirkan perempuan itu?"
"Kau ini, cepat kita cari tau keberadaan perempuan itu, kau mau di bunuh bos apa? kali ini kita memang bisa lolos tapi tidak untuk hari berikutnya." anak buah Zaky segera mencari tau keberadaan wanita itu.
.
.
.
.
.
.
Khon sudah berada tepat di hadapan Mahendra.
"Kau mau kemana? Apa ini tujuan mu yang sebenarnya?" tanya Khon pada Mahendra, Mahendra tidak memperdulikan Khon yang mencoba menjelaskan bahwa Oktavia dalam bahaya.
"Apa perduli mu?" tanya Mahendra melangkah dan melewati Khon begitu saja.
"Jika sampai Oktavia kenapa-kenapa kau akan menyesal," jelas Khon.
"Justru jika dia bersamaku terus maka itu hanya akan membahayakan dirinya, aku tidak mau membahayakan dirinya. Jika aku pergi pasti Oktavia akan hidup dengan bahagia", jelas Mahendra, sedangkan Khon menggeleng.
"Kau salah! Kau salah besar!" ucap Khon membuat Mahendra menghentikan langkahnya dan berbalik menatap lekat Khon.
"Apa maksudmu?" tanya Mahendra penasaran.
"Aku mengejar mu sampai kemari hanya untuk mengingatkan mu, Ku mohon jangan tinggalkan Oktavia," Khon memohon kepada Mahendra.
"Kenapa? bukannya akan baik jika aku menghilang dari kehidupan Oktavia. Aku tidak bisa mencintainya. Dia terlalu baik padaku." ucap Mahendra.
"Aku tidak ingin kehilangan Oktavia jika kau meninggalkannya."
"Dia tidak akan mati jika dia tidak bersamaku, aku tidak ingin dia celaka seperti hari ini. Aku tidak ingin dia menjadi deretan wanita yang terbunuh oleh adanya diriku di hidup nya." Khon membuat Mahendra tidak bisa menggerakkan kakinya.
"Kau salah! Sebentar lagi dia akan mati karena dia mendapat kutukan sama sepertimu. Ya Oktavia di kutuk karena tanda bulan sabit di tangannya, dia akan merasa kesakitan jika ada bulan purnama, beberapa mahluk mencoba membunuhnya. Dan kau tau dia di beri waktu sampai tiga bulan purnama jika dia tidak berhasil memperoleh cinta dari seseorang maka dia akan mati. Dan waktunya tinggal dua bulan purnama lagi. Kemarin dia bercerita padaku tentang ibunya, ibunya memintanya untuk ikut bersamanya tapi dia mengatakan jika akan menunggu persetujuan darimu." Mahendra tersentak jika tidak salah sebelum kejadian Oktavia seperti meminta persetujuan darinya dan dia pun menyetujuinya dengan gamblang.
Mahendra menjatuhkan dirinya ketanah dan menangis.
"Sebelum kecelakaan terjadi dia memang bertanya padaku jika dia akan pergi namun aku menjawab pasti aku akan menemukannya dan..." Mahendra segera lari meninggalkan Khon yang tak percaya jika ucapan Oktavia bukanlah omong kosong.
Fino duduk di lantai dengan menyulangkan tangan dan kepala yang menempel di tangan.
Mahendra sedikit ragu untuk bertanya, namun ia penasaran apa yang dokter katakan sehingga Fino sampai seperti itu.
"Fin..."
Fino menoleh dan berdiri memeluk masnya dengan erat.
"Fin.... kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Mahendra.
Fino tidak menjawab dan menangis sejadi-jadinya.
"Mas harus ikhlas ya mas..." ucap Fino tanpa melepaskan pelukannya.
"Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa kau menangis seperti ini?Apa Oktavia tidak apa-apa?" tanya Mahendra pada Fino yang tidak mau menceritakan apa yang tengah terjadi.
"Oktavia... Dia... Dia mengalami pneumothorax karena cidera pada dadanya."
"Apa penyakit itu berbahaya?" tanya Mahendra pada Fino.
"Dokter akan melakukan opservasi jika hanya sebagian kecil paru-paru pasien yang kolaps dan tidak ada gangguan pernapasan berat, dokter mungkin hanya akan memantau kondisi pasien.
Pemantauan dilakukan dengan menjalankan foto Rontgen secara berkala sampai paru-paru pasien bisa mengembang kembali. Dokter juga akan memberikan oksigen jika pasien sulit bernapas atau kadar oksigen di dalam tubuhnya menurun." jelas Fino panjang lebar.
"Apa oprasinya berjalan dengan lancar?" tanya Mahendra.
"Iya tapi dokter pun mengatakan jika ada kemungkinan buruk dari paru-paru Oktavia yang tertembak."
"Apa kemungkinan buruknya?" tanya Mahendra mencoba tegar padahal di hatinya sangat sakit namun dia mencoba menahannya.
"Ke....ma....tian mas" ucap Fino gelagapan.
"Apa?" ucap Mahendra tidak percaya.
"Dokter mengatakan jika peluru itu memang sudah dapat di keluarkan mas tapi peluru itu juga menembus paru-paru pasien sangat dalam dan tadi Oktavia sudah di periksa karena ia mengalami sesak napas, mas harus kuat." ucap Fino tak kuasa membendung air matanya.
"Oktavia ku..." ucap Mahendra tak lagi bisa menangis bahkan air matanya tidak bisa keluar.
Dokter keluar dari ruangan.
"Dok bagaimana dengan keadaan Oktavia dok? apa dia baik-baik saja?" tanya Mahendra memastikan.
"Sekarang dia sudah melewati masa-masa keritis nya... owh iya panggilkan ibunya sepertinya dia sangat merindukan ibunya" Mahendra dan Fino saling pandang.
"Apakah pasien dapat di kunjungi dok?" tanya Mahendra.
"Silahkan... tapi satu orang saja yang lain tunggu di luar," Fino mundur memberikan kesempatan bagi Mahendra untuk menemui Oktavia.
Mahendra melangkahkan kakinya, langkahnya terasa berat, ia melihat sosok wanita yang terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di tubuhnya. Air matanya kembali mengalir. Mahendra menggenggam tangan Oktavia sangat erat.
"Kau lihat kan! Aku cengeng sekarang! bahkan aku menangis karena mu, aku pria lemah sekarang, sadarlah aku tidak akan memarahi mu, jangan membuatku khawatir, sadarlah," ucap Mahendra pada wanita yang tidak respon ucapan pria yang amat sangat menghawatirkan dirinya.
"Kenapa kau tak merespon ku? Padahal jika aku memintamu maka kau tidak akan pernah mendengarkan aku dan membuat ku semakin marah? Hey...Apa kau tidak mendengarkan aku kali ini? Aku memintamu untuk memarahiku loh.. tidak adil tadi aku di marahi Si Khon mu, dia sangat mencemaskan mu, dia takut jika kau meninggalkan dirinya." Mahendra menghapus air matanya yang mengalir di pipinya.
"Dan seharusnya dari awal aku memperhatikan dirimu, kenapa aku begitu egois tidak pernah sekali pun memperhatikanmu? Padahal kau begitu memperhatikan diriku, seharusnya aku tidak menjaga jarak darimu, maafkan atas kebodohanmu uang tidak pernah bersikap baik padamu." Mahendra meluapkan emosinya pada Oktavia. Mahendra berharap Oktavia akan merespon namun nyatanya Oktavia masih tidak mau bangun dari tidurnya.
Mahendra mengusap lembut rambut Oktavia. Mahendra melihat beberapa luka di tubuh Oktavia, ternyata memang benar selama ini Oktavia sangat menderita karena ulah ayahnya. Beberapa luka Oktavia pun masih terlihat membekas di beberapa bagian lengan kanan dan kirinya untung saja wajahnya tidak tergores sedikitpun.
"Apa luka ini sangat sakit, kau perempuan kenapa kau tidak kabur saja jika mendapat perlakuan seperti itu? Aku lupa jika kau terlalu menyayangi ayahmu" ucap Mahendra tersenyum sendiri.
"Lain kali aku tidak akan membiarkan kejadian seperti ini menimpamu, aku berjanji" ucap Mahendra membulatkan tekatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments