Fino tak mengerti dengan sikap Mahendra bukannya bersikap semakin baik pada Oktavia ini malahan sebaliknya.
Fino memandang langit, angin malam terasa menusuk hingga kepori-pori. Fino berjalan meninggalkan taman.
Terlihat beberapa sosok yang mengawasi. Fino sudah berada di kamarnya bermain dengan ponselnya dan sesekali membuka leptop. Pekerjaannya sangat banyak dan harus segera di selesaikan.
Fino masih fokus dengan leptop hingga ia tidak sadar ponselnya sudah hilang dari tempatnya. Siapa yang mau mengusili Fino jika bukan si jail Khon.
Fino yang menyadari ponsel miliknya telah hilang pun bingung, wajahnya di tekuk sesekali ia berdecak kesal.
"Kemana perginya ponselku? bukannya tadi aku menaruhnya di sini?" tanya Fino pada dirinya sendiri.
"Apa mungkin aku sudah lupa? Tapi tidak mungkin aku lupa jelas-jelas tadi aku menaruhnya di sini" Fino memandang meja tempat terakhir kali ia melihat ponselnya. Fino menggaruk kepalanya yang tak gatal ia masih yakin ponselnya di letakkan di atas meja itu tapi kenapa bisa hilang begitu saja.
"Aneh" ucap Fino yang langsung keluar dari kamar berharap ponselnya ada di suatu tempat.
Mahendra sedang duduk menghadap televisi yang tidak menyala. Fino datang dengan raut wajah yang di tekuk seperti cucian kotor.
Mahendra melempar beberapa cemilan ke arah Fino yang sudah mengacak-acak meja dan beberapa buku, ia terlihat mencari sesuatu.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Mahendra masih melempari Fino dengan camilan yang ada di tangannya.
"Mas... " ucap Fino yang geram melihat kelakukan kakaknya yang seenaknya saja melemparinya dengan makanan.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Mahendra mengulangi pertanyaan yang tadi sempat ia tanyakan.
"Mencari ponselku mas!" jawab Fino masuk sibuk dengan mengacak acak beberapa benda, berharap ponselnya bisa di temukan. Seharusnya ia sudah menelpon seseorang untuk membahas pekerjaan tapi entah kenapa ponsel miliknya tiba-tiba saja menghilang begitu saja.
"Ponsel mu, bukannya tadi kau masih memegangnya? Apa mungkin kau lupa menaruhnya"
"Tadi aku menaruhnya di dekat leptop tapi saat aku memerlukan dia, dia sudah engak ada," jawab Fino menggunakan kata dia untuk ponselnya sudah mirip kekasih tuh ponsel.
"Dia siapa?" tanya Mahendra bingung.
"Ponsel aku mas, bantuin cari ngapa!" pinta Fino, Mahendra tidak tega melihat adiknya yang pusing karena ponselnya yang menghilang tiba-tiba. padahal hanya ponsel yang hilang dianya seperti tengah mencari keberadaan kekasihnya yang kabur karena keegoisan.
"Iya..." jawab Mahendra datar.
Oktavia yang merasa haus pun melangkah keluar meninggalkan kamarnya. Ia melihat dua orang pria sedang sibuk mengacak-acak rumah padahal jika memerlukan sesuatu kan tinggal panggil bibik saja.
Oktavia sudah berdiri tepat di hadapan keduanya.
"Sedang apa?" tanya Oktavia melihat Fino yang tengah sibuk mencari sesuatu kolong meja.
Mahendra menjaga jarak dengan mundur beberapa langkah.
"Awww" ucap Fino yang kepalanya sudah memerah karena terbentur meja.
Oktavia mengulum senyuman bukan membantunya dia justru menertawakan Fino.
"Kau sedang mencari apa?" tanya Oktavia dengan nada serius.
"Ah kepalaku......" ucap Fino memegangi kepalanya karena terbentur meja.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Oktavia.
Mahendra merasa tidak senang melihat Oktavia yang memperhatikan adiknya.
"Ah tidak.... aku tidak apa-apa!" jawab Fino seadanya.
"Lalu apa yang sedang kau lakukan di kolong meja?" Fino terdiam. Fino melihat sorot mata Mahendra yang tidak senang melihat keakraban mereka.
"Aku tengah mencari posel milikku tadi aku lupa menaruhnya dimana"
"Bolehkah aku membatu mencarikannya?"
"Tidak.... sebaiknya kau masuk dan kembali ke kamarmu" jawab Mahendra dengan nada ketus.
"Nih cowok kenapa lagi? Kemarin aja baik nih sekarang kok ketus amat! Apa aku yang terlalu berharap padahal dianya aja nggak peka gini"
"Cepat! Kenapa kau masih berdiri disini, kembali ke kamarmu" ucap Mahendra dengan nada sedikit menyentak.
Oktavia menundukkan kepalanya. Ia takut dengan Mahendra.
Fino memukul pundak Mahendra
"Mas.... jangan kasar sama perempuan!" Fino mengingatkan Mahendra, Mahendra memang sangat keterlaluan enggak ada lembut lembutnya pada perempuan.
"Terserah aku lah, kenapa emangnya?" tanya Mahendra tak bersalah karena telah membentak Oktavia.
Oktavia berlari ke kamarnya, ia tidak perduli lagi dengan kedua pria itu. Fino berdecak pelan kenapa Mahendra bersikap kasar ini bukalah hal yang ia inginkan.
"Mas ini apaan sih, kok mas kasar banget sama Oktavia. Sadar mas mas bisa membuat Oktavia celaka jika sifat mas nya gini terus"
"Udah lah..... " ucap Mahendra segera melangkah pergi.
"Mas rela jika harus kehilangan seseorang lagi, ingat mas cuma dia wanita satu-satunya yang bisa menangkal sihir jika ia sakit hati dan pergi gimana dengan masa depan mas? adikmu ini tidak akan pernah rela jika mas mati" Pekik Fino membuat langkah Mahendra terhenti. Memandang wajah Fino yang kesal karena perbuatannya. Sebenarnya ia tidak ingin seperti ini tapi bagaimana mungkin ia rela melibatkan Oktavia dalam masalahnya.
"Masa bodoh, " ucap Mahendra tak perduli dengan Fino apalagi Oktavia.
Fino mengejar Oktavia ia melupakan niat awalnya, yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya membujuk Oktavia agar tidak mendengarkan ucapan dari masnya yang super duper nyebelin.
Walau dengan perasaan takut Fino membuka pintu kamar, ia melihat Oktavia yang tidak apa-apa, dan terlihat senyum senyum padahal ia baru saja di bentak oleh masnya. Apa dia tidak ada rasa sakit hati?.
"Apa kamu tidak apa-apa? Maaf?" ucap Fino.
"Maaf untuk apa? kau tidak melakukan kesalahan justru aku yang seharusnya meminta maaf karena aku tidak bisa menolongku untuk mencarikan ponselmu yang hilang" Fino tersenyum padahal ia panik jika Oktavia menangis karena ucapan masnya, ternyata pemikirannya salah dia justru tidak apa-apa. Dan hebatnya ia memikirkan dirinya.
"Kalau boleh tau ponsel itu apa? Di kampung ku tidak ada yang namanya ponsel adanya telpon rumah." Fino tersenyum.
"Masa?"
"Iya... di kampung ku tidak ada yang namanya ponsel," ucap Oktavia meyakinkan.
"Tidak ada listrik, tidak ada kipas, tidak ada bangunan yang besar seperti di kota"
"O... Masa tidak ada listrik?" Fino terkejut Oktavia menggeleng.
"Internet" Oktavia menggeleng.
"Moll" Oktavia menggeleng.
"Mobil?" Oktavia sedikit mengangguk.
"Mobil pengangkut sapi dan kambing" Fino tertawa terbahak bahak mendengar ucapan polos Oktavia.
"Kenapa ketawa? Nih aku serius. Di kampung tidak ada yang namanya internet, moll, apalagi mobil seperti mobil kamu tuh, hidup kami tergantung pada alam. Jangan bertanya tentang penerangan" Fino tersenyum karena memang benar Fino ingin bertanya hal itu.
"Tidak ada penerangan, walau hidup kami seadanya kami bahagia kok"
Fino terdiam dia berpikir jika dia hidup di desa tidak ada internet, tidak ada penerangan, tidak ada teknologi apa jadinya? Tapi bukankah dia pernah merasakannya sebelumnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 202 Episodes
Comments