Maya sedang duduk di salah satu sisi lapangan bersama dengan rekan-rekan lainnya. Seragam putih mereka sudah menjadi tanda bahwa mereka akan mengikuti kegiatan hari ini: ujian kenaikan tingkat.
Setelah pembukaan, kemudian ujian sabuk putih yang dilanjutkan dengan ujian sabuk kuning. Maya dan kawan-kawan sabuk hijau bersiap agar nanti lulus kemudian naik menjadi sabuk biru.
"May, ganbatte ne," ucap Hardi. Maya mengangguk.
"Ozu," jawabnya, khas karateka yang bersemangat.
Ujian sabuk hijau dimulai, Maya masuk ke dalam barisan bersama karateka lain yang bersabuk hijau. Mereka melakukan gerakan-gerakan sesuai perintah penguji. Syukurlah Maya bisa mengikuti ujian dengan baik.
Maya memilih beristirahat terlebih dahulu sebelum pulang.
...***...
"Ma, Pak. Maya mau cerita, tadi Maya dipanggil guru konseling," ucap Maya saat malam itu mereka bersantai.
Maya kemudian menceritakan terkait beasiswa yang ia dapat secara detail.
"Alhamdulillah, Nduk. Bapak sama Mama cuma bisa mendoakan yang terbaik," jawab Bapak dengan mata berkaca-kaca. Mama bahkan sudah menangis sambil merangkul anak gadisnya itu.
...***...
"Ada berita bagus, ya, kok senyum-senyum?" ucap Hardi yang baru datang menghampiri Maya. Segera diambilnya posisi duduk yang nyaman di samping Maya.
"Iya, inget Mama sama Bapak," jawab Maya sambil memainkan jarinya.
"Kenapa?" tanya Hardi. Cerita yang sama lalu mengalir dari mulut Maya. "Waah, selamat, ya," ucap Hardi kemudian. Tidak lupa ia menepuk kepala Maya.
"Iya... terima kasih," jawab Maya agak terbata. Ia masih belum bisa mengendalikan degup jantungnya bila menerima perlakuan Hardi terhadapnya.
"Kudengar, kamu juga nggak ribut lagi dengan Thalita. Baguslah," lanjut Hardi. Maya mengangguk.
"Iya, Di. Kita sudah mau lulus masa masih mau ribut? Lebih baik fokus sama ujian, kan?" Maya menanggapi dengan pemikirannya.
"Seperti yang diharapkan dari juara sekolah, hehehe. Kamu nggak bosen belajar terus?"
"May cuma punya itu, Di," jawab Maya kemudian.
"May, kamu selalu begitu. Sejak kecil selalu fokus sama target. Jarang main sampai sering diganggu. Kami sampai harus bergantian jagain kamu," cerita Hardi.
"Kami?" tanya Maya.
"Kamu inget, kan, ada satu lagi..." ucap Hardi yang dipotong oleh gelengan Maya.
Siapa? Bukannya cuma Hardi yang dulu selalu menolongku?
"Kamu malah pernah bilang mau nikah sama dia kalau sudah besar supaya dilindungi terus," lanjut Hardi yang mengakibatkan Maya menutup mulutnya. Hardi tertawa mendapati pipi Maya merona, malu. "Hahahaha, tapi kayaknya sudah berubah pikiran, ya, karena udah bisa karate," lanjut Hardi, menggoda May yang ia anggap sahabatnya. Sahabat? Sahabat tapi berharap lebih? Bolehkah? batin Hardi.
Waktu pengumuman kelulusan pun tiba. Maya menerima sabuk biru sebagai tanda kelulusannya. Setelah selesai foto bersama dan penutupan, semua karateka membubarkan diri.
...***...
Pagi ini merupakan hari pengambilan rapor. Unik memang karena SMA Angkasa memilih hari Minggu untuk membagikan hasil belajar siswa-siswinya. Mama sudah bersiap dan menemani Maya ke sekolah.
Di pintu gerbang, Maya berpapasan dengan Herryl.
"Bu, apa kabar? Saya Herryl," sapa Herryl. Diraihnya tangan kanan mama Maya kemudian dicium takzim, salim. Mama tersenyum mendapati sikap santun lelaki di depannya ini.
"Baik. Ini Herryl? Terima kasih, ya, tempo hari sudah menolong Maya. Maaf kalau selama di sekolah Maya sudah merepotkan Herryl," jawab Mama berterima kasih atas pertolongan Herryl dalam insiden baju seragam.
"Tidak apa-apa, Bu. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga setiap siswa sekolah dari masalah," jawab Herryl sambil tersenyum.
"Dia yang ngerepotin Maya, Ma," ujar Maya yang kemudian disenggol Mama.
"Husy. Aduh, maafkan Maya, ya, Herryl," ujar Mama lagi, malu akan sikap anaknya yang di matanya tidak berterima kasih pada lelaki baik di depan mereka.
"Tidak apa-apa, Bu. Oh, iya, selamat juga untuk Kak Maya, ya, Bu, yang selalu bisa mendapat nilai tertinggi di sekolah. Tentu Ibu dan Bapak hebat dalam mendidik Kak Maya," jawab Herryl memuji.
"Ah, tidak... terima kasih," ujar Mama lagi. Maya semakin jengah mendengar kata-kata manis Herryl yang hambar baginya.
"Ayo, Ma, ke kelas," ajak Maya.
"Hm, Bu. Bolehkah saya mengajak Kak Maya... dan Kak Riana ke toko buku hari ini?" tanya Herryl kemudian sambil menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal.
"Boleh. Kalian bersama Riana, kan?" jawab Mama sambil memastikan mereka tidak hanya pergi berdua.
"Terima kasih, Bu," ujar Herryl sumringah.
"Nggak usah, Ma. May mau istirahat. Capek habis ujian karate," jawab Maya menolak.
Herryl mengerjapkan kedua matanya, terkejut akan respon Maya. Ia pikir Maya akan menuruti semua kata ibunya.
"Duh, maaf, ya, Herryl. Maya butuh istirahat," jawab Mama akhirnya.
"Tidak apa-apa, Bu."
"Kami ke kelas dulu, ya. Permisi," ucap Mama yang diikuti Maya. Herryl menahan Maya dengan menarik tangannya sehingga Maya mau tak mau mendekat kepadanya.
"Kakak hutang ke toko buku, ya," ujar Herryl sambil tersenyum. Maya memutar bola matanya kemudian menghentak pegangan tangan Herryl sehingga pegangan tangan mereka terlepas. Tanpa menjawab apapun, Maya pergi meninggalkan Herryl, menyusul Mama.
Salah strategi, batin Herryl.
"Modus lo nggak mempan, kalo ke Maya," ucap seseorang sambil menertawai Herryl. Herryl menoleh dan mendapati Ramdan berdiri tidak jauh darinya.
"Saya cuma bercanda, Kak," ucap Herryl beralasan. Ia pernah melihat Ramdan menolong Maya dari Geng Red Hot, yang artinya Ramdan adalah orang yang diperhitungkan. Bukan siswa sembarangan. Dan dirinya juga harus berhati-hati menghadapi Ramdan.
"Alesan. Udah, urus OSIS sama Thalita lo itu daripada lo bikin susah Maya. Kami punya ujian yang lebih penting dari sekedar roman picisan lo sama Thalita," ucap Ramdan sebelum akhirnya ia meninggalkan Herryl.
"Herryl sayang, aku dapet hadiah privat party di hotel dari papi. Kamu mau ikut kan?" ucap Thalita sambil menggandeng lengan Herryl sehingga tubuh mereka berdempetan.
"Maaf, Kak, nggak bisa. Urusan saya di OSIS banyak sekali," jawab Herryl menolak. Agak sulit ia melepaskan diri dari Thalita.
"Halah, pepet terus aja," rutuk Maya yang melihat kejadian tersebut dari koridor lantai 2.
"Cemburu?" goda Riana yang berdiri di sampingnya.
"Dih. Ngapain cemburu sama cowok kayak gitu. Usil, sama cewek mana aja mau," elak Maya dengan wajah kesal melihat Herryl dan Thalita.
"Tuh, kan. Eh, Tante, sudah?" sapa Riana pada mama Maya yang baru saja keluar ruangan kelas. Di tangan mama terdapat rapor milik Maya. Tanpa perlu melihatnya, semua orang tahu nilai Maya pasti yang tertinggi di sekolah.
"May pulang dulu, ya, Ri," ujar Maya setelah Mama menjawab sapaan Riana.
Saat turun, Maya dan mama melewati Herryl yang masih belum lepas dari Thalita. Mama seperti terkejut melihat kedua siswa itu begitu mepet.
"Nduk, kamu jangan seperti itu, ya," pesan Mama. Maya tersenyum simpul.
"Iya, Ma. May nggak akan mau sama cowok gatel begitu, kok," jawab Maya ketika tepat di depan Herryl. Maya berharap Herryl mendengarnya dan marah sehingga tidak akan mengusiknya lagi.
"Heh, culun. Lo bilang apa ke Herryl gue?" panggil Thalita bernada keras. Thalita sudah tidak peduli bahwa saat ini ada banyak orang tua yang hadir di sekolah, melihat ke arahnya, termasuk Mama Maya.
"Sudah, Kak," jawab Herryl sambil menghentak lengan Thalita. "Saya nggak suka Kakak kasar sama Kak May. Dan, sebaiknya Kakak jaga sikap supaya Kakak tidak cacat dalam catatan sikap," lanjutnya lagi.
Maya yang memang tidak peduli dengan keributan mereka berdua mengajak mama untuk terus berjalan. Mama tersenyum, lega melihat anaknya tidak terpengaruh oleh drama di belakang mereka.
"Kamu... jahat!" hardik Thalita kemudian berlari meninggalkan Herryl yang jasnya sudah sedikit acak-acakan.
Cemburu, ya? batin Herryl sambil tersenyum puas. Ditatapnya punggung Maya yang semakin menjauh bersama mamanya.
...-bersambung-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
sry rahayu
Maya masih blm ingat herryl
2022-05-31
0
Allunk Epengade
pd banget tu cowok😂
2021-10-18
0
ce_ngOh
pede dek heril merasa d cemburui
2021-09-24
0