"Selamat pagi," ucap seorang pria muda yang kutaksir usianya masih dua puluhan tahun. Kemeja biru muda dengan lengan panjang yang digulung sampai ke siku menjadi outfit hari ini untuknya. Sepertinya ia guru dari sekolah lain. Begitulah aturan di sekolah kami, SMA Angkasa, setiap mengadakan ujian selalu mendatangkan pengawas dari sekolah lain yang masih berada dalam satu yayasan. Menurut desas-desus yang kudengar, kebijakan itu untuk mencegah bocornya jawaban selama ujian.
"Selamat pagi, Pak," jawab kami para murid kelas 3 dan kelas 2. Ruangan mulai hening dari keriuhan sejenak tadi. Tanpa diperintah, kami mengeluarkan papan alas dan alat tulis. Bersiap menjawab berbagai soal tertulis.
Hei, tadi kubilang kelas 3 dan 2? Yap, kalian tidak salah membaca, kok. Selama ujian, posisi duduk kami dibuat berdampingan. Teman sebangku kelas 3 adalah kelas 2. Kalau yang beruntung bisa bertanya pada teman sebangkunya--tanpa ketahuan pengawas tentu.
Bagaimana denganku? Siswa yang duduk di sampingku ini tidak kuketahui namanya sampai tadi ia mengenalkan diri. Percaya diri sekali, bukan? Lagipula, siapa dia? Hanya siswa yang kulihat hobi bermain voli, itu saja.
Bagaimana aku tahu? Aku sering melihatnya bermain voli saat pergi ke koperasi sekolah atau ke toilet yang lokasinya melewati lapangan sekolah. Aku yang siswi biasa tidak berminat mencari tahu siapa dia.
"Baik. Kenalkan, saya Darrel, pengawas kelas ini untuk ujian matematika. Sekarang saya bagikan lembar soal, kertas buram, dan lembar jawaban. Tolong dioper ke teman di belakangnya, ya," ucap Pak Darrel. Kami menjawab serempak dan melaksanakan sesuai arahannya. Kuangsurkan lembaran yang kuterima dari bangku depan ke belakang, memastikan teman-teman mendapat semua kertas yang dibutuhkan.
Tapi, kok aku tidak mendapat kertas buram?
"Ini, aku bisa minta lagi," ujar lelaki di sampingku sambil mengangsurkan kertas buram. Aku hanya bisa mengangguk, berterima kasih padanya.
"Terima kasih," ucapku. Segera kukerjakan soal-soal yang ada dengan lancar. Syukurlah, soal yang diberikan sesuai dengan materi pemberian guru kami, Pak Handoyo.
Kesibukanku yang mengasyikkan harus terjeda dengan diangsurkannya sebuah rautan merah kecil di meja kami, aku dan adik kelasku itu. Rima adalah pelaku peletakan rautan tersebut.
"May, lo pinjem rautan, kan?" sapanya bertanya. Kutautkan alis. Tangan Rima memberi kode agar aku mengambil rautan tersebut. Kuturuti maunya, dan ... Tadaaaa. Selembar kertas kecil menyelip di dalam rautan tersebut. Kuambil kertas itu dan membukanya. Ada sekitar 10 nomor soal yang kuyakini harus dijawab. Aku mendengus sebal. Selalu begini. Mereka mengenalku hanya saat ujian. Selebihnya? Mereka hanya menyapa sekadar lewat.
Aku sadar wajahku tidak cantik seperti yang lainnya. Penampilanku tidak modis seperti yang lain. Aku memakai seragam sesuai aturan sekolah, hanya itu. Aku tidak berharap banyak pada teman-teman, juga tidak marah kepada mereka. Kebebasan memilih teman adalah hak setiap manusia, bukan? Tapi kalau perbuatan seperti tadi, aku tidak akan mengiyakan.
Kugulung kertas dan kukembalikan pada Rima dengan mengetuk kecil kursinya. Aduh, dia tidak menoleh, lagi.
"Hei, Kak May mau kembaliin rautan, tuh," suara lelaki di sebelahku tertangkap ruang dengar kami semua. Dan tidak hanya Rima, tapi semua orang termasuk pengawas ikut menoleh.
"Suaramu kenceng banget, tahu? Cari masalah ini namanya," ucapku pelan. Raut wajahku sudah tidak tenang ketika Pak Darrel berjalan menuju meja kami. Jujur, aku merasa tegang meskipun merasa tidak bersalah.
"Kamu tidak menyiapkan rautan sendiri?" tanya Pak Darrel yang menjulang tinggi.
"I-ini, Pak ...," ucapanku terbata.
"Rautannya saya yang pinjam, Pak, ke temannya," jawab lelaki di sampingku tenang. Kulihat wajah Pak Darrel. Ada seringai di sana.
"Oke. Lain kali, kalau mau mencontek, jangan ketahuan, ya," ujar Pak Darrel kemudian sebelum akhirnya kembali ke singgasananya.
Apa!? Dia tahu? Tercoreng nanti namaku. Ini gara-gara lelaki di sampingku. Kutatap tajam ia.
"Nggak usah berterima kasih," ucapnya sambil tersenyum. Jahil.
"Ini gara-gara kamu," ucapku kesal sekali. Harus bertahan selama seminggu bersamanya. Semoga kami tidak usah banyak bertemu selain di meja ini, di kelas ini.
Kulanjutkan mengerjakan soal-soal. Ah! Kertas buramku habis. Mau minta lagi, aku tak berani. Bagaimana ini?
Sreeek! Suara kertas disobek di sampingku. Aku menoleh mendapati lelaki itu membagi kertas buramnya menjadi dua.
"Nih, butuh, kan?" tawarnya sambil menyodorkan kertas buramnya yang sudah dibagi dua tadi. Aku terkejut akan kesigapannya.
"Eh? Te-rima kasih," ucapku terbata.
"Sama-sama, Kak."
Seperti biasa, aku mengantuk bila sudah selesai mengerjakan soal. Kututup lembar jawaban dan kupakai pensil serta penghapus sebagai pemberat, setelah kuletakkan di depanku, kupakai bagian kecil meja untuk menumpukan kedua tangan. Lalu, aku tidur dengan kepala bertumpu pada tangan. Lumayan, lelah sekali ujian kali ini.
Aku terbangun saat kepalaku diusap. Tangan siapa?
"Kak, sudah bel," ucapnya. Rupanya dia yang mengusap kepalaku. Aku segera bangun dan bersiap mengumpulkan lembar jawaban milikku. Lho? Di mana?
"Udah dikumpulin sama Herryl. Makasih tuh sama Herryl," ucap Rima yang melihatku kebingungan. Herryl?
"Herryl?" tanyaku.
"Yang duduk sama elo, May," jawab Rima lagi. Aku menoleh dan mendapati Herryl--nama lelaki itu--sedang berdiri, sepertinya akan pergi.
"Ma-makasih," ucapku lagi. Herryl mengangguk dan pamit keluar. Aku mengangguk.
Aku membuka bekalku. Selalu begini saat jam istirahat. Memakan bekal yang dibawakan Mama, menunggu Riana sahabatku datang dan mengobrol apapun. Aku tak sabar untuk menceritakan insiden pagi ini pada Riana.
...***...
Hari ini ujian pertama Sosiologi. Syukurlah, aku paling suka pelajaran ini. Dan aku adalah jagonya. Iya, dong, ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). By the way, siapa teman sebangkuku kali ini?
Pertanyaanku terjawab saat aku meletakkan tasku di bangku. Kak Maya, siswi berprestasi. Gadis berkacamata dan rambut sebahu itu menjadi rekanku seminggu ke depan. Bagaimana sikapnya sekarang? Apakah akan seramah Kak Arkan, siswa juara 2 sesekolahan?
Aku mengamati dirinya yang mendahulukan orang lain. Ya, kertas buram yang dibagikan tidak disimpannya untuk diri sendiri dulu. Ia lebih memilih untuk memastikan bahwa temannya sudah kebagian. Sesuai dugaanku, teman-teman di depannya memilih untuk menyimpan kertas itu untuk diri mereka sendiri. Kak May hanya diam ketika menyadari kertasnya habis. Kuangsurkan saja kertasku. Mudah kok untuk minta lagi.
Sambil mengerjakan soalku, kuamati diam-diam Kak Maya. Bukan, bukan untuk mencontek, toh soal kami berbeda. Aku mendapati energi positif ketika melihatnya. Kak Maya begitu bersemangat menjawab soal-soal ujian. Cantik.
Aku hanya memakai kertas buramku untuk menulis outline tulisanku. Ya, soal ujian Sosiologi ini kebanyakan essay. Tidak seperti kelas 3 yang membutuhkan kertas buram untuk menulis rumus.
Sebuah rautan merah diletakkan oleh Kak Rima di meja kami, tepatnya di depan Kak Maya. Aku sudah hafal trik ini. Kak Rima, gadis modis yang selalu mendekatiku bersama gengnya itu ternyata suka mencontek. Kak Maya sendiri apakah suka memberi contekan?
Kulihat Kak Maya mengambil kertas di rautan itu dan mendengus kesal. Aku tersenyum, lucu juga dia. Kulihat dia mengembalikan rautan dan kertas itu tanpa menjawabnya. Oh, masih ada siswa idealis zaman sekarang, ternyata.
Karena kesal juga melihat sikap Rima yang tampak tidak disukai Kak Maya, kupanggil ia. Sengaja kukeraskan suaraku agar seisi kelas tahu apa yang terjadi.
"Suaramu kenceng banget, tahu? Cari masalah ini namanya," ucapnya pelan. Kutunjukkan raut wajah minta maaf. Wajar ia kesal, lihatlah Pak Darrel menghampiri kami sekarang.
Tapi, aku harus berbohong pada Pak Darrel, meski aku yakin ia mengerti apa yang terjadi. Sudahlah, tak apa. Aku hanya berpikir untuk melindungi Kak Maya, siswi berharga sekolah ini, dan zaman ini.
Setelah ditegur Pak Darrel, kami kembali mengerjakan soal masing-masing. Sampai akhirnya kudapati Kak Maya kehabisan kertas buram. Segera kusobek kertas buramku agar bisa kami pakai berdua.
Setelah belasan menit, Kak Maya selesai terlebih dahulu. Kulihat ia merapikan mejanya lalu ... tidur? Dia tidur? Aku menyelesaikan tugasku kemudian merapikan meja.
Wajahnya mengarah padaku kali ini. Tidak bisa diam rupanya ia kalau tidur. Wajah lelah berkacamata itu lucu juga kalau sedang tidur. Ah, aku harus menutupinya. Kupakai kertas soalku untuk menutupi wajah tidurnya agar teman di samping kami tidak melihat. Aku menopang dagu dan terus melihat ke arahnya, menikmati sedikit waktu yang disediakan untuk kami sampai suara Pak Darrel terdengar.
"Yang sudah selesai, kumpulkan di depan," ucap Pak Darrel. Alih-alih membangunkannya, kuambil saja lembar jawaban milik Kak Maya untuk kukumpulkan bersama.
Meski sudah mengumpulkan jawaban, kami belum dibolehkan keluar kelas sampai bel sebagai tanda waktu ujian pertama ini habis. Kulanjutkan kegiatanku, mengamati Kak Maya. Kegiatanku selesai saat bel berbunyi, kutepuk kepalanya. Halus.
"Kak, sudah bel," ucapku. Aku tersenyum dan pergi setelah memastikan bahwa ia sudah bangun, sudah tahu bahwa tugasnya telah dikumpulkan.
...-bersambung-...
Chapter 1 selesai. Semoga suka, yaaaa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
ria widiawati
lhak untung bojoku biyen ora seneng Karo adik kelas pas bareng UAS,tapi tetep milih AQ seng teman sebangku..🥰
2023-01-10
1
sry rahayu
jadi ingat masa2 sekolah thor
2022-05-30
1
Aprilia Amanda
ini herryl kelas 2. maya kelas 3 gitu kan?
2022-02-03
0