Maya mendekati gerbang sekolah, dilihatnya Pak Adit tersenyum dan menyapa setiap siswa maupun guru yang melewatinya. Maya sudah belajar untuk tidak malu mencium tangan Pak Adit karena bagaimanapun beliau adalah orang tua yang harus Maya hormati.
"Eh, Mbak Maya," sapa Pak Adit.
"Iya, Pak," jawab Maya sambil tersenyum. Pak Adit seperti akan mengucap sesuatu saat Maya pamit, melangkah masuk area sekolah.
Baru berjalan beberapa meter, Maya mendapati pemandangan yang menarik. Dilihatnya Rima sedang bersama Agnia, duduk di salah satu kursi batu. Berhenti sebentar, Maya mengamati mereka berdua.
Syukurlah, mereka sudah baikan. Maya kemudian melewati mereka sambil menyapa.
"May," sapa Rima terlebih dahulu. Maya tersenyum.
"Rima. May duluan, ya," jawab Maya sekalian pamit. Melihat Rima mengangguk, Maya melangkah, menjauh dari dua sahabat itu.
Maya mengambil buku absensi di ruang guru.
"Maya," panggil Pak Handoyo yang baru saja datang. Maya yang baru mendapatkan buku kelasnya segera menghampiri meja Pak Handoyo.
"Ya, Pak," sahut Maya.
"Saya dengar kamu dapat beasiswa kuliah?" tanya Pak Handoyo. Melihat Maya mengangguk dan mengiyakan, beliau melanjutkan,"Selamat, ya. Kamu sudah tentukan jurusannya?" tanya Pak Handoyo lagi.
"Teknik Sipil, Pak," jawab Maya. Senyum mengembang di wajah lelaki penuh wibawa di depannya.
"Bagus. Pak Irwan sudah bicara tentang skill kamu kemarin. Dengan faktor-faktor pendukung, Bapak rasa pilihan kamu sangat tepat," dukung Pak Handoyo kemudian.
"Pak Irwan, Pak?" tanya Maya lagi, memastikan.
"Iya, soal gambar kamu itu." Pak Handoyo memperjelas.
"Oh, itu. Terima kasih, Pak, mohon doa Bapak," ucap Maya akhirnya kemudian pamit untuk segera ke kelasnya.
"Happy banget, May?" sapa Riana begitu mendapati sahabatnya datang dengan wajah ceria.
"Iya. Senang lihat Rima dan temannya sudah baikan lagi," jawab Maya.
Jam pertama mereka lalui dengan baik tanpa kendala hingga tiba saatnya jam istirahat. Maya segera memakan bekalnya dan duduk manis di dalam kelas. Membaca Sherlock terbaru yang dibelikan Bapak.
"May," panggil seseorang. Maya menutup bukunya kemudian menatap ke depan karena sosok yang memanggilnya kini berdiri di depan mejanya.
"Ya," sahut Maya akhirnya.
"Ini gambar kamu, kan? Bisa ajarin caranya?" tanya Hardi sambil menyodorkan lembaran hasil fotokopi. Maya mengamati sekilas. Ia hafal bahwa itu adalah gambar buatannya saat ujian kemarin.
"Ya, gitu aja, Di, perhatikan detilnya. Nanti kamu gambar sesuai detil," jawab Maya. Sungguh, ia bingung bila harus menjabarkan teknik yang ia buat karena ia tidak menggunakan teknik apapun saat menggambar. Ia hanya berusaha fokus dan melakukan yang terbaik.
"Gitu aja? Yakin?" tanya Hardi lagi. Maya mengangguk. Saat itulah Putri datang membawa selembar kertas putih dan pensil beserta penghapus. Hardi melihat Putri mengambil posisi di samping Maya.
"Putri mau belajar menggambar katanya," ujar Maya menjawab kebingungan Hardi yang tercetak di wajahnya.
"Hebat kamu, May. Semakin dekat dengan cita-cita, ya," sahut Hardi.
"Amin, terima kasih doanya, Di," jawab Maya mengamini. Hardi kemudian pamit meninggalkan Maya yang mulai membimbing Putri.
"Oke, aku mau gambar papan tulis di depan," ucap Putri mengungkapkan keinginannya.
"Oke, gambar sudut kelasnya dulu," sahut Maya mengarahkan.
Kegiatan mereka berdua terhenti karena bel tanda masuk telah terdengar. Putri pamit dan berterima kasih pada Maya.
...***...
Herryl menghentikan kegiatannya di koperasi saat melihat Maya berdiri lama di depan Rima dan Agnia. Ia sudah khawatir akan apa yang nantinya terjadi pada Maya. Tapi, melihat senyum di wajah Maya sudah menenangkan hatinya. Maya baik-baik saja.
"Ryl, ngelihatin terus. Kalau suka, bilang," ujar Kak Andi yang sedang menyiapkan perlengkapan OSIS yang Herryl minta. Herryl menoleh.
"Apa, sih, Kak?" elaknya gugup. Ia malu telah tertangkap basah sedang mengamati salah satu junior Kak Andi di karate.
"Pake malu, lagi," celetuk Kak Andi.
"Ya udah, semua udah lengkap?"
"Ngeles aja. Udah," sahut Kak Andi lagi karena Herryl mengalihkan pembicaraan demi menutup rasa malunya.
"Oke, makasih, ya, Kak," ucap Herryl kemudian pamit untuk ke kelas membawa perlengkapan yang ia minta tadi.
Saat istirahat, Herryl dipanggil Pak Irwan ke ruang seni. Ruangan itu berdekatan dengan kelas 3-7 sehingga ia harus melewati kelas Maya untuk sampai di ujung koridor, letak ruang seni berada. Saat menuju ruang seni, dilihatnya Maya sedang makan bekalnya. Hanya sekilas karena ia harus memenuhi panggilan Pak Irwan.
"Ya, Pak," ujar Herryl begitu melihat guru kasual yersebut berdiri di koridor.
"Kamu bisa bantu siapkan aula untuk seminar sekolah?" pinta Pak Irwan.
"Baik, Pak. Untuk kapan, Pak?" tanya Herryl.
"Minggu depan. Ini surat edarannya," jawab Pak Irwan sambil menyerahkan selembar surat berkop yayasan kepada Herryl. Herryl menerimanya dan membaca sekilas kemudian memberi senyuman kesanggupan.
"Baik, Pak," ucap Herryl.
"Dan... Tolong Maya diundang juga untuk seminar itu," perintah Pak Irwan lagi.
"Maya?" Herryl mencoba memastikan pada guru di depannya.
"Maya Anggraini, kelas 3-7. Saya ingin dia menambah wawasan terkait seni rupa," jawab Pak Irwan lagi.
Herryl mengangguk. Herryl kemudian pamit untuk kembali ke kelasnya.
Saat melewati kelas Maya, dilihatnya Hardi sedang berbicara dengan Maya. Serius sekali, sepertinya. Dilihatnya Hardi dan Maya membahas selembar kertas. Herryl tersenyum. Setidaknya ia melihat Maya baik-baik saja.
...***...
"Kamu nggak apa-apa?" Hardi kecil bertanya pada Maya yang baru saja mereka tolong. Herryl yang pertama melihat Maya dikerumuni oleh beberapa siswa TK, kakak tingkat mereka yang masih Playgroup. Maya diledek jelek dan lemah karena selama ini Maya tidak melawan mereka. Maya kecil hanya memilih diam dan menahan air matanya tumpah.
"Maaciih, Adi, Eyil," ucap Maya imut karena ia belum bisa berbicara lancar.
"Sama-sama," jawab Herryl kemudian mengajak Hardi pergi. Hardi kemudian pamit dan mulai berjalan meninggalkan Maya.
"Eyil. May mau nikah cama Eyil kalau dewaca," ucap Maya yang terdengar oleh Herryl. Herryl kemudian berbalik, tersenyum.
"Boleh," jawab Herryl sambil tersenyum. Ia kembali berbalik dan menyusul Hardi.
"Dia mau nikah sama aku," ucap Herryl.
"Wah, udah mau nikah," sahut Hardi.
"Katanya kalo udah gede," lanjut Herryl.
Ya, sebuah keinginan anak-anak yang bisa jadi akan terlupakan seiring berjalannya waktu. Namun siapa sangka kalau ada anak yang masih mengingat bahkan menjaga keinginan masa kecilnya? Herryl yang sejak awal terkesan dengan kebaikan dan kesederhanaan Maya, sangat senang sewaktu Maya mengucapkan keinginan untuk menikah dengannya.
...***...
Herryl mengumpulkan seluruh pengurus OSIS sepulang sekolah. Koperasi jadi agak ramai karena agenda tersebut.
"Nah, teman-teman. Pekan depan akan ada seminar Seni Rupa. Pak Irwan minta kita siapkan aula sekolah untuk acara tersebut. Dan saya rasa kita hanya butuh panitia kecil karena nantinya kita akan bekerja sama dengan panitia dari pihak Yayasan. Oke, Sabtu depan siapa yang bersedia ikut serta?" jelas Herryl menjabarkan alasan mereka dikumpulkan dengan diakhiri penawaran mengenai kepanitiaan.
"Aku, Ryl," ucap Tiara mengacungkan tangannya.
"Oke. Siapa lagi? Saya pasti ikut karena saya jomblo, nggak ada janji hari itu," ujar Herryl bercanda yang disahuti gelak tawa rekan-rekan pengurus OSIS lainnya.
Rapat singkat itu ditutup dua jam kemudian. Herryl menugaskan tim Humas untuk berkomunikasi dengan panitia dari yayasan agar acara dapat berjalan lancar.
...-bersambung-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Nova Septiarini
memang klo masa sekolah menjadi semangat jika ada org yg suka kita atau org yg kita suka...rasanya mau seharian di sekolah biar bisa curi2 pandang😅😅😅
2021-10-12
0
MaLovA
maya ❤eyiill🥰🥰
2021-09-16
1
Tutik Sriwahyuni
baik Maya maupun Herryl sama sama fokus ama cita citanya, yg satu pengen kuliah sesuai cita citanya yg satu lg pengen nikah aja 😅😅😅
2021-08-10
2