...Aku hanya butuh belajar untuk mencapai cita-citaku menjadi arsitek. -Maya-...
...***...
"May," sapa Riana, sahabatku. Kupersilakan ia duduk di kursi anak kelas 2 tadi. Oke, namanya Herryl.
"Gimana? Bisa pasti, ya? Maya, gitu," ucapnya lagi setelah selesai memakan sepotong sandwich tuna.
"Nggak usah bahas, deh. Aku mau cerita soal Herryl," elakku.
"Tumben, biasanya ceritanya nggak jauh dari Conan, Sherlock, Aslan, Frodo," sahut Riana. Selama ini ia menjadi pendengar setiaku saat menceritakan isi buku yang kubaca. Kuceritakan insiden pagi ini padanya dan semua sikap Herryl.
"Iya, sih. Aku dengar Herryl orangnya baik, nggak sombong meski dia ketua OSIS. Suka nolongin orang lain," ujar Riana menanggapi ceritaku.
"Tunggu. Ketua OSIS?" tanyaku. Kalau iya, kenapa dia tidak muncul di kelasku untuk mengumumkan kegiatan?
"Iya. Kamu baru tahu? Maaaay, ke mana aja?" celetuk Riana lagi.
"Bukan begitu. Dia nggak pernah ke kelas kalau ada pengumuman. Bukan salahku kalau nggak tahu," ujarku mengelak. Bukan karakterku mencari tahu siapa ketua osis sekolah, toh aku tidak butuh itu. Aku hanya butuh belajar untuk mencapai cita-citaku menjadi arsitek.
"Ya sudah. Eh, iya, habis ini Biologi, kan? Aku bawa buku. Belajar, yuk," ajak Riana sambil meletakkan kotak makannya dan meraih buku paket Biologi.
"Aduh, aku paling nggak bisa Biologi. Siap-siap dimarahin Pak Sam lagi, nih," celetukku.
"Sesusah-susahnya kamu, mah, nilai 7 juga dapat," ucap Riana lagi. Kuikuti ia, membuka buku Biologi sampai jam istirahat hampir berakhir dan Riana pamit.
Ya, aku memang bisa mengerjakan soal-soal Matematika, Bahasa, Fisika, Kimia, Seni, semua kecuali Biologi. Entah mengapa sulit sekali mempelajarinya. Rasanya hanya menghafal dan selesai ujian semua materi menguap. Hilang nyaris tak berbekas.
"May, ini," ujar Rima membuyarkan lamunanku yang meratapi kemampuan Biologi seorang Maya. Kulihat ia menyodorkan kertas. Sudah mulai rupanya. Sudah saatnya fokus pada soal-soal 'tersayang'.
...***...
Maya begitu sibuk dengan soal-soalnya sampai bel tanda ujian selesai terdengar. Yap, Maya tidak sesempurna itu. Ada mata pelajaran yang tidak ia kuasai. Biologi contohnya. Sedikit lunglai dikumpulkannya lembar jawaban miliknya ke meja guru.
"Yuk, pulang," ajak Arkan. Lelaki tinggi berkulit putih dan raut wajah seperti oppa negeri ginseng itu mengarahkan tatapannya ke Maya yang sedang bersiap, membereskan perlengkapannya. "Dan," lanjutnya lagi.
Maya menoleh ke belakangnya. Ada Ramdan yang juga sedang bersiap pulang dan menyahuti ajakan Arkan.
Kirain ngajakin aku, kok tumben. Maya membatin. Dipakainya tas biru miliknya tanpa peduli akan adik kelas bernama Herryl yang sudah pergi sejak tadi.
Riana sudah menunggu Maya di luar kelas. Mereka pulang bersama sambil membahas soal Biologi yang memusingkan.
"Kita memang kelas 3, tapi kenapa harus susah banget soalnya?" keluh Maya. Riana tertawa mendengar keluhan sahabatnya.
"Herryyyyl!!" panggil anggota geng Red Hot. Serentak beberapa siswa memberi jalan pada anggota penyuka warna merah itu. Riana dan Maya segera menoleh, ingin tahu ada kejadian apa meski mereka sudah menebak ulah siswi centil tersebut.
"Bikin kaget. Eh, iya, besok kita Bahasa sama Seni?" tanya Riana memastikan. Maya mengangguk. Di kepala gadis berkacamata itu sudah ada rincian tugas rumah sepulang sekolah: mencuci baju, menyapu, mengepel lantai. Selebihnya, ia bisa leluasa membaca buku yang disukai di ruang tamu.
"Duluan, ya," ujar Riana begitu mereka sampai di gerbang hitam setinggi 1 meter, rumah kedua orang tua Riana. Maya dan Riana saling melambaikan tangan.
Kini, Maya berjalan sendiri sekitar 600 meter dan berbelok ke dalam gang. Ya, rumah Maya berada di dalam sebuah gang. Kontrakan dengan 2 kamar ditempati oleh Maya dan kedua orang tuanya. Mama telah menyiapkan makan siang sebelum berangkat kerja di sebuah yayasan anti narkotika. Bapak bahkan berangkat kerja sebelum Maya sarapan. Beliau adalah seorang supir pribadi seorang purnawirawan angkatan laut. Terkadang Bapak sempat mengantar Maya menggunakan mobil milik bosnya bila kebetulan searah.
Karena kesederhanaan itu Maya tidak enak bila meminta macam-macam layaknya teman-teman sebaya. Maya hanya dibolehkan meminta buku. Itupun hanya sebulan sekali, mengumpulkan uang jajan yang diberi Mama dan Bapak. Syukurlah bos Bapak baik hati sehingga Maya dibiayai belajar karate di sekolahnya. Awalnya Bos Bapak menyarankan perguruan khusus. Maya menolak karena selain biayanya mahal, lokasinya jauh dari rumah. Setiap Selasa dan Jumat sore, Maya akan berlatih karate bersama teman-teman sekolah dan pelatihnya yang merupakan juga penjaga koperasi sekolah, Kak Andi.
Begitu sampai dan berganti pakaian, Maya menuju dapur. Menu hari ini adalah sayur kangkung dan tempe. Maya tersenyum, bersyukur atas nikmat hari ini. Mama selalu mengingatkan bahwa masih banyak orang yang tidak memiliki makanan di luar sana.
Tak ada teman, hanya sendiri di rumah. Maya menggunakan waktunya untuk membersihkan rumah kemudian kembali melanjutkan buku barunya dari Bos Bapak: Serba-serbi Arsitektur. Sebuah buku yang dihadiahkan begitu Bos mendengar cita-cita Maya.
...***...
Sementara itu, Herryl baru saja keluar dari ruang guru. Pak Handoyo, guru pembimbing OSIS sekaligus salah satu orang yang dekat dengan Herryl, baru saja meminta bantuannya mengecek jumlah lembar jawaban apakah sesuai dengan jumlah siswa hari ini.
"Maya Anggraini," ucap Herryl membaca nama yang tertera dalam lembar jawaban.
"Ya, dia anak cerdas. Kamu tahu, Ryl? Di kelas, sekali saya jelasin pasti dia langsung ngerti," ucap Pak Handoyo menanggapi.
"Iya, Pak? Berarti Bapak yang bagus menjelaskannya, hehe," sahut Herryl. Pak Handoyo tertawa mendengarnya.
"Bisa saja, kamu. Coba kamu contoh dia. Bukan soal matematikanya karena setiap orang kan memiliki kecerdasan masing-masing. Contoh sikapnya saat jam pelajaran," ucap Pak Handoyo lagi.
"Maksud Bapak, tidur di kelas, begitu?" tanya Herryl diiringi tawa geli, mengingat yang tadi ia saksikan di kelas.
"Dia nggak pernah tidur di kelas kecuali ujian. Sepertinya dia menguras energinya selama ujian. Begitulah, Ryl, orang yang total dalam tugasnya, hahahaha. Soal tidur di kelas jangan dicontoh, hahahaha," jawab Pak Handoyo. Detil ia menjelaskan tentang energi dalam ujian.
"Ngomong-ngomong, kok kamu tahu soal dia tidur di kelas?" tanya Pak Handoyo.
"Saya sebangku dengannya, Pak, di ujian ini," jawab Herryl lagi.
"Hahaha, begitu rupanya. Kamu beruntung, berkesempatan belajar darinya," ujar Pak Handoyo lagi.
"Dia pelit, Pak. Temannya minta contekan saja nggak dikasih. Tapi sebenarnya bagus, sih," rinci Herryl sambil berpendapat.
"Itu bukan pelit. Dia begitu kalau ujian, kalau belajar di luar ujian dia mau mengajari teman-temannya yang kesulitan. Bagus, kan? Saya dengar malah Maya punya kelompok belajar di kelas, sama Arkan kalau nggak salah."
Pak Handoyo menceritakan anak didiknya yang sekaligus tanggung jawabnya karena ia adalah wali kelas Maya.
"Oh, Kak Arkan," ucap Herryl.
"Iya. Baru kali ini kamu tertarik membahas seorang siswa, Ryl. Bukan siswa populer, lagi. Kamu tertarik?" tanya Pak Handoyo menyelidik.
"Eh.. itu, unik saja, Pak. Iya, unik saja," jawab Herryl tergagap yang ditanggapi tawa Pak Handoyo.
...-bersambung-...
Hai, sudah 2 chapter nih. Gimana? Lebih baik pakai sudut pandang Maya atau orang ketiga dalam menulis?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
sry rahayu
lanjut. ..
2022-05-30
1
ucikku
menarik ceritanya. semoga seru terus
2022-02-12
0
ce_ngOh
kalo saya suka sudut pandang org ketiga
2021-09-22
0