Herryl melihat sosok gadis yang kemarin menendangnya kini berjalan di depannya, menuju ke arahnya. Hari masih pagi dan mereka berdua berpapasan di dekat papan pengumuman.
"Kak," panggil Herryl. Maya yang mendengar sapaan Herryl langsung teringat kejadian
kemarin. Ia tahu ia salah telah mencari masalah dengan Ketua OSIS.
Aku tidak ingin memiliki masalah di sekolah ini. Maya membatin.
“Ryl, maaf soal kemarin, May salah sudah menendang Ketua OSIS,” ucap Maya. Siapa tahu setelah minta maaf seperti ini hukumanku akan berkurang, batin Maya lagi.
Mendengar hal itu, Herryl sedikit membungkuk agar matanya bisa menatap mata Maya lebih jelas. Merasa ditatap sangat intens seperti itu, refleks Maya mundur selangkah.
“Jangan bawa-bawa jabatan,” ujar Herryl kemudian. Lengkap dengan ekspresi dan senyum jahilnya. Setelah memastikan Maya mendengar serta mengerti maksudnya, Herryl kembali berdiri tegak. Ia melanjutkan langkahnya, melewati Maya. Saat mereka berpapasan, Herryl mengusap kepala gadis di sampingnya itu. “Semangat, ya, lombanya,” ucapnya sebelum akhirnya pergi.
Maya berbalik, menatap punggung Ketua OSIS tersebut. Tangannya memegang kepala yang tadi diusap Herryl. Maya heran, kenapa Herryl—juga Hardi—sering menepuk dan mengusap kepalanya. Maya juga heran kenapa ia merasa nyaman dan hangat diperlakukan seperti itu. Tanpa ia inginkan, Maya tersenyum.
Eh, lomba? Lomba apa? Maya membatin keheranan karena ia tidak merasa mengikuti lomba apapun.
“May, ganti baju olahraga. Kita tanding voli pagi ini,” ucap Riana yang baru saja keluar dari kerumunan di papan pengumuman.
“Voli?” tanya Maya tidak yakin. “May nonton saja, deh,” lanjutnya kemudian.
“Kita kekurangan orang, May. Kamu jadi Tosser aja juga nggak apa-apa, kok,” ucap Riana memahami keengganan Maya.
“Tosser itu malah yang inti, Ri,” ucap Maya gemas akan ucapan sahabatnya itu. Dilihatnya Riana nyengir.
“Blocker juga boleh. Nanti kita ikut arahan Inggrid aja, deh,” sahut Riana. Inggrid adalah sahabat Arkan, teman sekelas mereka yang
dulunya adalah wakil ketua OSIS. Selain kecerdasannya berdiplomasi, Inggrid juga pandai bermain voli meski tidak sehebat Hardi maupun Herryl.
Maya belum pernah bermain voli dalam tim. Ini pengalaman pertamanya.
“Ayo, ganti,” ajak Riana lagi ketika melihat Maya begitu ragu.
“Tapi...”
“Nggak ada tapi-tapi. Ayo,” ajak Riana memaksa sambil menyeret tangan Maya ke kelas mereka. Maya menuruti Riana lalu mereka berdua segera mengganti seragam dengan pakaian olahraga.
Lapangan sudah ramai penonton. Saat Maya maju, ia melihat Thalita di seberangnya, terpisah oleh net.
“Ri, itu...” bisik Maya.
“Udah, biarin,” jawab Riana sambil menepuk bahu Maya kemudian sedikit mendorongnya untuk maju.
“Tapi...” ucap Maya lagi.
“Lihat, tuh, Hardi nonton,” bisik Riana sambil matanya mengarah ke tempat Hardi duduk, di sebelah Barat. Maya ikut menoleh ke arah yang dimaksud oleh Riana dan mendapati Hardi mengacungkan kepalan tangan sambil tersenyum. Siapapun tahu bahwa Hardi sedang memberi semangat. Tak ayal lagi, sikap Hardi tersebut membuat Maya merona pipinya. Riana menepuk bahu Maya, memberi semangat, kemudian ia menuju titik posisinya sebagai server.
Pantas saja banyak yang menonton, kelas Thalita melawan kelas Maya. Bagaimanapun, Maya vs Thalita merupakan berita hangat sejak perundungan itu. Kali ini siswa-siswi SMA Angkasa ingin melihat apakah Maya akan menang melawan Thalita.
Pak Gunawan menjadi wasit pertandingan kali ini, dan peluit dibunyikan, menandakan pertandingan voli dimulai.
“Teman-teman, kita ikuti arahan Inggrid, ya,” ucap Riana. Mereka semua termasuk Maya mengangguk.
Setelah Riana melakukan servis, pertandingan mulai berjalan.
“Maya, passing!” teriak Inggrid saat melihat bahwa bola dari lawan hendak menyentuh lantai di area Maya berdiri. Mendengar itu, Maya segera melakukan arahan Inggrid. Syukurlah bola segera ke area lawan.
Sementara itu, Herryl bersandar di salah satu pilar depan koperasi. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menikmati permainan Maya dan kawan-kawan.
Permainan berlanjut sampai selesai dan tim Thalita dinyatakan menang. Ada senyum angkuh ketika Thalita mengetahui kemenangannya diumumkan oleh Pak Gunawan.
Seperti biasa, para pemain saling menjabat tangan lawannya. Begitupun dengan Maya. Ia mengulurkan tangan kanannya, mengajak Thalita berjabatan tangan.
“Thalita, selamat, ya,” ucap Maya yang tidak ditanggapi oleh Thalita. Bahkan, Thalita melewatinya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Udah, nggak apa-apa, May. Yuk, ganti baju,” ajak Riana menghibur.
Di seberang net, tim Thalita sedang dielu-elukan oleh siswa lain yang merupakan pendukungnya. Maya memenuhi ajakan Riana. Mereka berdua mengambil seragam untuk berganti pakaian di toilet.
Saat di perjalanan menuju toilet itu Herryl sudah berdiri menunggu Maya. Maya menggeser langkahnya karena Herryl sudah di depannya. Akan tetapi, Herryl mengikuti arah langkah Maya sehingga Maya terhalang lagi oleh Herryl. Maya ke kanan, Herryl ikut ke kanan. Maya ke kiri, Herryl juga ikut ke
kiri.
“Permisi,” ucap Maya. Ada nada kesal terdengar dari ucapannya sehingga ketus ia mengucap kata permisi itu. Herryl tersenyum, jahil.
“Kita belum olahraga, Kak,” sahut Herryl sambil mengambil seragam yang Maya pegang kemudian berlari.
Maya terkejut dan tentu saja mengejar Herryl sambil meneriakinya. Kali ini mereka memutari lorong sekolah yang berada di pinggir lapangan.
“Herryl!” panggil Maya dengan nada yang terdengar sangat kesal.
“Ambil kalau bisa, hahaha,” sahut Herryl.
“Hei, jangan berlarian di lorong,” ujar Pak Gunawan ketika melihat kedua muridnya berlari melewatinya.
“Iya, Pak,” jawab Herryl, masih sambil berlari. Ia pindah ke area lapangan diikuti oleh Maya. Mereka kembali memutari lapangan seperti
kemarin diiringi teriakan dari mulut masing-masing.
“Herryl! Berhenti!”
“Nggak mau!” Herryl menolak.
“Herryl!” Maya membentak lelaki yang berlari kencang di depannya. Herryl melihat ada Riana yang berdiri mengamati mereka berdua di lorong sekolah. Segera ia hampiri kakak kelasnya yang dia kenal lebih kalem itu.
“Kak, suruh Kak Maya berhenti, dong,” pinta Herryl.
“Hah?” Riana heran dengan permintaan Herryl sementara Maya semakin mendekat. “Bukannya kamu yang bikin dia kayak gitu?” tanya Riana lagi.
“Eh? Iya, ya? Hahahaha,” sahut Herryl. Diserahkannya seragam Maya ke tangan Riana. “Nitip, ya, Kak. Saya mau minum dulu,” ucap Herryl kemudian pergi meninggalkan Riana dan Maya yang baru sampai.
“Anak itu...” gerutu Maya sambil memandangi punggung Herryl. Raut wajahnya kesal seperti kemarin.
“Udah, yuk, ganti baju, terus makan,” ajak Riana. Maya mengangguk kemudian mengambil seragamnya dari tangan Riana. Mereka berdua menuju toilet.
......***......
"May!" panggil Adrian sambil melakukan smash terhadap bola voli yang melayang di depannya. Diarahkannya bola voli tersebut pada lawan di depannya, Maya.
"Yan!" sahut Maya membalas dengan passing karena rendahnya bola tersebut. Hasilnya, bola itu melambung tinggi melewati Adrian dan mengenai genteng lantai 1 sekolah. Tidak perlu menunggu lama karena bola itu menggelinding turun dan... Hap! Ditangkap oleh Adrian.
"Lo nggak bisa maen, sih," ledek Adrian sambil melakukan servis, melambungkan bola ke arah Maya dengan pukulan mengayun.
"Kamunya aja yang nggak waspada. Tinggi badan doang," balas Maya.
Begitulah, permainan pasangan mereka diiringi dengan adu mulut yang tidak ada habisnya. Teman-teman mereka yang juga bermain pasangan sudah banyak yang istirahat.
"Lo nggak tahu temen gue jago voli, sih," balas Adrian tidak mau kalah sambil melakukan passing.
"Itu, kan, teman kamu. Bukan kamu," jawab Maya membalas passing Adrian.
Priiiiit! Peluit Pak Gunawan berbunyi. Baik Adrian maupun Maya berhenti.
"Kalian ini, saya sudah tiup peluit dari tadi supaya berhenti, masih saja main. Mau saya kawinkan kalian?" ujar Pak Gunawan sambil menghampiri mereka berdua.
Baik Maya maupun Adrian menggeleng cepat.
"Nggak, Pak," jawab kedua siswa berpakaian olahraga tersebut secara bersamaan.
"Maaf, Pak," ucap Maya, menyesali dirinya yang tidak fokus pada Pak Gunawan.
"Iya, nggak apa-apa. Saya senang kamu bisa menikmati permainan voli ini, Maya. Pekan depan kita coba permainan beregu," jawab Pak Gunawan.
"Baik, Pak," jawab Maya.
......***......
Kalau bukan karena Adrian, Maya tidak akan bisa bermain voli dalam grup. Ia bukan siswa yang menonjol dalam olahraga tadinya. Karena Adrian menantang saat kelas 2, maka Maya yang naluri bersaingnya tinggi jadi meladeni kemauan Adrian.
Terima kasih, Yan. Hari ini May bisa bermain dengan teman-teman, batin Maya sambil memegangi pakaian olahraganya. Ia baru saja keluar dari toilet untuk berganti pakaian. Dipandanginya sisi lapangan yang dulu ia gunakan bermain voli bersama Adrian.
...-bersambung-...
Hai, sudah mulai nih kerusuhan antara Ketua OSIS dan juara sekolah. Ada yang bertanya, kenapa Maya nggak digambarkan kecerdasannya? pelan-pelan, yaa, mau coba nunjukin sisi absurdnya Maya soalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
sry rahayu
Adrian berarti banget buat maya
2022-05-31
0
rini zuhdi
dadi sik mbok senengi ki sopo may?herryl, hardi opo adrian?
2021-11-05
0
Allunk Epengade
kok pada bahas visul. mana? apa aku ktingglan?
2021-10-18
0