Aku merebahkan tubuhku di atas sofa. Perasaanku menjadi tak menentu. Kuakui, Vinsen adalah cinta pertamaku dan my first kiss.
"Kenapa dia melakukan itu ke aku, padahal dia sudah memiliki istri dan calon anak. Dasar laki-laki buaya!" Aku menghentakkan kaki hingga menendang guling.
Panca membuka pintu kamarku. "Woy! Ngapain teriak-teriak?"
"Ihhhhh. Ngapain sih. Kepo banget deh. KELUAR! Atau aku buka celana nih?" Aku mencoba menggertak Panca.
Dia bergegas keluar.
"GALAK AMAT SIH!" Panca bersorak di depan pintu kamar.
"Oh ya, seharian aku gak ketemu Kak Siti. Jangan-jangan dia pulang kampung lagi." Aku beranjak dari kamar lalu mencari kak Siti ke dapur.
"KAK SITI," teriakku.
Aku mencari kak Siti ke kamarnya, namun tak menemukannya.
Ketika aku memeriksa ponselku, ternyata Kak Siti sudah mengirimkan pesan. Dugaanku ternyata benar. Dia pulang kampung.
Aku melihat Panca yang sedang serius menonton di ruang tengah. Aku pun mendekatinya lalu melempar bantal sofa ke wajahnya.
"Woy! Usil banget sihhhh. Aku kejar nih!" Dia berusaha menggertakku.
"COBA AJA KALAU BISA!" teriakku dari dalam kamar.
Panca mengambil bantal yang jatuh lalu meletakkannya di pangkuannya.
Malam itu, usai mandi dan bersih-bersih, aku mengajak Panca makan di luar.
"Yok!"
"Mau ke mana, wanita serigala?"
"Makan di luar, manja!"
"Eits. Tunggu dulu. Kamu gak masak?"
"Malas ah."
"Yah udah." Panca menarikku.
Kami berjalan ke dapur lalu dia menyuruhku duduk. Pancamu memasak untuk makan malam.
"Cocok nih."
"Cocok apaan?"
"Jadi pembantu aku," jawabku lalu tertawa mengejeknya.
"Uhhhhhhh." Dia mengangkat tangannya menggertakku seolah akan menjitak kepalaku.
"Enak nih. Kamu jago masak juga rupanya." Aku mengangkat kaki kanan sambil menikmati omlet yang dibuat Panca.
Dia merapikan rambutnya, "Iya iya dong. Cheff Panca."
Aku menghabiskan makannya lalu berlari.
"JANGAN LUPA CUCI PIRINGNYA YA!"
"Dasar cewek. Suka banget malas-malasan. Udah aku yang masakin, disuruh cuci piring lagi, huft."
Di kamar Nat.
"Woi, Nat. Kamu kenapa sih? Suntuk kayaknya. Galau karena pacarnyaa selingkuh? Ups." Panca membungkam mulutnya dengn tangan.
"Pan, denger deh. Aku mau cerita sama kamu."
Panca duduk di sampingku.
"Jangan bilang.... Kamu udah punya pacar Nat?" Dia menatapku.
"Hm. Emang kamu, jomblo terus. Eh tapi yang tadi bukan pacar aku. Dia kenalan aku."
"Tapi udah berasa pacaran kan?" Panca menggodaku.
"Ishhhh. Apaan sih."
"Udah Nat. Aku udah tau kok. Paling cowok itu ada alasan tertentu, cuma belum sempat ngejelasin. Lagian kalian para cewek suka bilang 'aku gak butuh penjelasan', cowok bisanya cuma diam dan mendam sendiri. Kalian sih, egois banget. Huh!"
Aku menyandarkan kepala di pundak cowok bawel itu.
"Iya sih Pan. Padahal..., aku sayang banget sama dia, tapi ternyata dia udah punya istri sama calon anak...," ucapku pelan.
"Kasihan banget sih kamu. Udah, ntar kita cari yang lain."
Aku menepuk kepalanya.
"Enak aja. Aku tuh bukan jomblo kayak kamu ya. Sok sok-an mau nyariin, emang kamu sendiri punya pacar?"
"Ihhhh. Eh, aku memang masih jomblo, tapi di luaran sana, cewek-cewek ngantri kali, pengen jadi pacar aku. Akunya aja yang pemilih."
"Idih.... Songong nya...."
Dia hanya tersenyum angkuh.
"Eh. Betewe, ngapain kamu di sini? Sono ke kamar mu. Aku mau tidur, sana!"
"Aku maunya tidur di sini Nat." Panca berbaring di atas kasurku.
"Ihhhh. Apaan sih. Emang kamu mau aku tiduri? Hahahahaha." Aku perlahan mendekati Panca.
"Ihhhhhhhhh. Geli banget. Mending aku cabut deh. Baiiii!"
Prakkkkk!
Panca menutup pintu.
Aku hanya geleng-geleng melihat tingkahnya.
Aku menarik selimut, tiba-tiba Panca membuka pintu lalu berlari.
Aku dengan langkah berat menutup pintu lalu menguncinya.
Aku mematikan lampu lalu tidur.
Tok tok tok!
Aku perlahan bangun.
"Nat, bangun! Kamu gak ngampus ha?" sorak Panca.
Aku meraih ponsel lalu melihat jam. Aku segera bangun lalu mandi.
Aku merapikam kerah kemejaku, "Aku berangkat duluan ya Pan."
Panca melambai, "Eits, sarapan dulu Nat."
"Duhhhhh. Gak sempat Pan. Aku buru-buru banget nih. Aku sarapan di luar aja deh. Dahhhh."
Panca berlari mengejarku lalu tiba-tiba....
Panca dengan memaksa memasukkan roti panggangnya ke mulutku.
"Ihhhh. Maksa banget sih. Heran," ucapku kesal sambil mengunyah roti.
Panca hanya tersenyum.
Aku pun berjalan ke luar lalu berangkat ke kampus.
"Hai, guys...," sapaku pada empat sahabatku yang terlihat sibuk menatap layar ponselnya.
Mereka hanya diam ketika aku menyapa mereka
Aku menyenggol pundak Bagus, "pada kenapa sih? Kok diam-diaman?"
Aku masih tak mendapatkan jawaban.
Beberapa lama kemudian, dosen masuk. Perkuliahan dimulai.
"Natasia Nouban, nanti tolong datang ke ruangan saya!" ketus dosen tersebut dengan tatapan tajam.
Usai perkuliahan, aku menemui dosen ke ruangannya.
"Permisi, bu. Saya Natasia yang diminta menemui ibu."
"Silakan masuk."
Aku masuk ke dalam ruangan lalu berdiri di depan dosen itu.
"Ada apa ya bu?"
"Saya tidak mau panjang lebar ya. Ini absen kamu sudah banyak loh. Dalam seminggu juga kamu tidak mengikuti perkuliahan lain. Kamu niat kuliah tidak sih?" ucap dosen itu sekaligus dosen PA ku.
Aku mengangguk, "iya bu."
"Ini peringatan terakhir dari kampus. Kalau kamu absen lagi, mata kuliah apapun, orangtua kamu akan dipanggil dan kamu akan segera di DO. Mengerti ya."
"Baik bu. Saya mengerti."
"Silakan keluar."
Aku langsung keluar. Ketika melihat kampus sudah sepi, aku pun langsung pulang.
"Anak-anak itu kenapa sih, kok diam-diaman. Pada sariawan atau sakit gigi, heran." Aku memasang helm.
Aku berhenti di sebuah mini market lalu membeli minuman dingin. Kemudian kembali ke motor.
Dalam perjalanan pulang, ponselku bergetar. Aku berusaha meraih ponselku dari dalam tas dengan kondisi mengendarai motor.
Bip! Bip! Bip!
Mobil mengklakson.
BRUKKKKKKKK!!!!! BRAKKKKKKKKKKK!!!!!!!!!!
Nyiuuuuuuu nyiuuuuuuuuuuu nyiuuuuuuuuuu.
Ambulan mendekat.
Aku perlahan membuka mata. Kepalaku terasa sakit dan seluruh tubuhku terasa pegal.
Aku mencoba menggerakkan tubuhku. Kulihat sekitarku. Semua berwarna putih.
"Nat, kamu udah sadar? Jangan gerak-gerak dulu."
Aku melihat Panca duduk di sebelahku. Aku menyentuh kepalaku dan ternyata kepalaku dililiti perban.
"Kok kamu bisa di sini?" tanyaku pelan.
"Tadi ada yang nelpon ke telpon rumah, aku jawab, makanya aku tau kamu di sini. Lagian, mainnya ekstrim-ekstrim sih. Pakek nabrak mobil. Tadi sempat stending gak?"
Aku tertawa pelan, "sempat kok. Ha ha ha."
"Ntar ajarin aku ya."
Hari itu aku dirawat di rumah sakit. Dengan tubuh yang sangat lemas. Kedua sikuku tergores dan di baluti perban.
Lukanya cukup parah, hingga aku sulit menggerakkan tanganku. Kakiku tidak begitu tergores karena saat itu aku mengenakan celan jeans tebal panjang. Hanya saja sedikit pegal.
"Motor aku gimana?"
"Udah ku jual ke bengkel. Hahaha. Tenang aja, aman kok. Kamunya aja yang gak aman."
"Trus sekarang dia di mana?"
"Di rumah. Udah aku antarin. Kap nya doang lecet. Gak usah kwatir. Dia tidak terlalu membutuhkan rawat inap. Hehehe."
Begitulah Panca. Dia berusaha mencandaiku agar suasana tidak menegangkan.
"Kamu pulang aja, aku gak pa pa kok di sini," seruku.
"Gak ah. Malas di rumah. Bosssssann. Lagian di sini, wifinya kencang deh. Aku bisa nge-game sampai subuh." Dia menjulurkan lidah.
Malam itu, kak Siti datang membawa pakaianku dan membantuku mengganti pakaian.
"Kak, biar Panca yang suapin. Kakak istirahat aja." Panca meraih piring dari tangan kak Siti.
Dia pun menyuapiku sambil mencandaiku.
"Kamu kalau mau apa-apa, bilang ya Nat. Aku tidur di sofa dulu. Ngantuk banget nih."
"Katanya mau nge-game sampai subuh, baru jam setengah sepuluh, udah ngantuk. Payah."
"Makanya, jangan cepat-cepat sembuh. Tambah seminggu lagi rawat inapnya. Biar aku bisa ng-game." Panca berkedip.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments