Aci berhenti.
"Blester pasti ada di kamar. Aku masih gak pengen pulang Nat. Kalian duluan aja, gak pa pa."
"Yah udah, kita temenin kamu deh. Kamu haus gak? Kita beli minum di warung situ, yok." Aku menarik tangan Aci.
Kami pun berjalan ke warung dekat rumah. Aku masuk ke warung lalu membeli beberapa makanan dan minuman.
"Kalian pacaran ya?"
Han hanya mengangguk.
"Udah lama?"
"Baru-baru ini sih," balas Han.
"Long last ya."
"Thanks."
"Nih, minum dulu." Aku duduk di sebelah Aci.
Malam itu, Aci pun menceritakan masalahnya dengan Blester padaku dan Han.
Setelah Aci merasa baikan, kami pun pulang.
"Nat, aku masuk duluan ya," ucapnya.
Aku mengangguk.
"Sayang, aku balik ya. See you." Han menghelus rambutku lalu mencium keningku.
"Hati-hati sayang." Aku melambai.
Aku masuk ke dalam kamar. Ketika aku memeriksa ponselku, kudapati pesan dari sahabat-sahabatku bahwa mereka ingin kembali ke Bukittinggi, segera.
Malam itu aku mulai gelisah. Lantaran aku dan Han baru saja pacaran dan masih ingin bersama-sama. Selain itu, aku masih ingin jalan-jalan.
Aku mengemasi barang-barang lalu mencoba mengabari Han ke rumahnya usai berpamitan pada keluarga Pak Naban. Sayang sekali, dia tak di rumahnya.
Aku menyusul yang lain lalu segera mencari tumpangan.
Setibanya di pelabuhan, ternyata kapal sudah lama berlayar.
"Pak, ini gak ada kapal lain lagi yang mau ke Padang?" Aku merasa gelisah.
"Ke Padang.... Ada kok dek. Kapal cepat. Berangkatnya jam dua siang nanti. Udah ambil tiket?"
"Belum pak. Ambil di mana ya?" tanyaku tergesa-gesa.
"Di sebelah sana dek." Bapak itu menunjukkan tempat pembelian tiket.
Dengan segera kami membeli tiket dan menunggu kapal berangkat.
\*\*\*
"Huft." Aku menghempas ransel di atas kasur lalu berbaring.
Saking lelahnya, aku tertidur.
Aku terbangun ketika mama membangunkanku.
"Mama," aku mengusap mataku.
Mama hanya tersenyum.
Aku bangun lalu duduk. Aku memperhatikan mama dengan heran.
"Mama gak ke kantor?"
"Udah pulang kok sayang." Mama menghelus rambutku.
Aku tersenyum ke mama. Meski sebenarnya aku merasa seakan mama sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
"Gih mandi. Kita mau makan malam."
Aku pun segera beranjak dari tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi, mandi.
Mama menata makan malam bersama dengan Kak Siti.
"Wahhhh. Enak nih." Aku menarik kursi lalu duduk.
Tak menunggu waktu lama, kami pun menikmati makan malam bersama.
...
Usai makan malam, mama mendatangiku di ruang tengah ketika aku sedang asyik menonton.
"Nat, besok mama akan ke luar negeri karena ada kerjaan kantor di sana." Mama menatapku dengan lesu.
"Ke luar negeri ma? Kapan baliknya ma?" Aku meletakkan remot di atas meja.
"Mungkin, tiga minggu sampai sebulan, sayang, baru balik lagi."
Aku terdiam sebentar lalu memandang mama dengan senyuman meski sebenarnya aku tak rela mama pergi begitu lama.
"Yah udah ma, gak pa pa kok."
Mama menyentuh pipiku lalu pergi ke kamarnya.
Aku mengangkat kaki kananku ke atas sofa lalu lanjut menonton.
Tiap sebentar, aku memikirkan mama yang akan pergi cukup lama.
~
~
~
"Hoam," Aku mematikan Tv.
Aku berjalan ke kamar karena sudah mengantuk.
Saat ingin berbaring, aku terpaku pada sebingkai foto yang membuatku semakin merindukan papa dan mama. Perasaan ini sedikit lain.
Tak ingin terlarut dalam kerinduan, aku mengecup foto tersebut dan memeluknya dalam tidurku.
\*\*\*
Pagi sekitar jam delapan, aku terbangun ketika mendengar ketukan pintu dari luar.
Aku berjalan membukakan pintu.
Kreeekkkk.
Mataku langsung terbelalak melihat orang yang berdiri di depanku.
Dia seketika menjauhkan wajahnya dariku dan menutup matanya.
"Oh my God, Nat!?" Dia berbalik.
"Apaan sih? Lebay banget deh." Aku menyandarkan tangan ke pintu.
"Kamu tuh udah dewasa loh Nat. Jaga pakaiannya kek." Dia mendorongku dari balakangku. "Buruan pakek celana sana." Dia menyelonong masuk lalu berbaring di sofa.
"Iya iya bentar." Aku berjalan ke kamar dan mengganti celana karena yang kukenakan tadi terlalu pendek.
Dia Panca. Keponakannya mama, sepupuku dan teman kecilku. Kami berpisah sejak SD karena mereka harus pindah ke Jakarta oleh orang tuanya yang pindah dinas.
"Ambilin aku minum dong Nat. Haus banget nih." Dia mengangkat kaki di sofa.
"Iya bentar, bawel."
"Kamu ngapain sih ke sini? Bikin aku susah aja," kataku ketus.
"Idih idih. Heh! Kalau bukan karena tante Kezia yang nyuruh aku, aku mana mau. Malas banget," balasnya jutek.
"Mmmmmm. Gitu. Malas?" Aku mendekatinya lalu mecubiti perutnya.
"Hahahaha, Aduh aduh.... Udah Nat, sakit tau!" Dia tertawa kegelian.
"Makanya, jangan malas-malas." Aku berhenti mencubitinya.
"Kamu tuh manusia atau serigala sih, buas banget." Panca mengusap-usap perutnya. "Gak berubah ya, dari dulu bentukan kamu gini-gini aja. Gak ada feminim-feminimnya kamu."
"Kamu bakal berapa lama di sini?"
"Hmmmmm, Sampai mama kamu pulang dong. Emang kamu berani tinggal sendiri di sini? Kalau iya, aku pulang aja." Panca berdiri.
"Issss, jangan dong. Yah udah, yah udah."
Aku dan Panca memang seperti kucing dan anjing. Selalu bertengkar namun hanya sekedar bergurau.
"Nat, jalan-jalan ke luar yok. Suntuk banget kalau di rumah terus. Kamu gak bosan apa?" Panca menggarut perutnya.
"Yah udah. Ke mana?" tanyaku judes.
"Ke mana kek. Aku mana ingat daerah-daerah sini. Kamu dong yang tunjukin. Gimana sih. Buruan!"
"Bentar. Aku ambil kunci mobil dulu."
"Eh. Kok kunci mobil sih. Motor ada gak?"
"Bawel amat sih. Iya bentar."
"Gitu dong."
\*\*
Sore itu, aku membawa Panca keliling-keliling separuh Bukittinggi. Mulai dari Pasar Bawah, sampai kebun binatang. Rasanya sangat melelahkan. Seolah menjadi pemandu wisata.
"Huh! Pulang yok." Aku duduk di atas motor.
"Aku lapar nih, makan dulu ya. Noh , di sana noh." Panca berjalan menuju ke sebuah warung nasi.
Aku menyusulnya. Ketika sampai di warung itu, dia langsung menuju ke dapur warung lalu memesan makanan.
Aku menunggunya di meja makan. Saking usilnya, dia duduk di kursi lain sehingga aku harus pindah ke tempat duduk itu.
"Pulang yok. Udah mau gelap nih." Aku menarik tanga Panca.
"Pulang aja dulu. Aku mau ke tempat itu." Dia berlari ke arah Jam Gadang.
Aku dengan lesu mengejarnya. Motor masih berada di parkiran dan aku meninggalkannya demi mengejar anak brutal itu.
"Nat. Fotoin dong." Panca memberikan ponselnya.
Cekrekk.
"Yaaahhh. Sekali lagi dong." Dia bergaya ala opa opa Korea.
Aku memutar bola mataku lalu memotretnya.
"Udah ah pulang." Aku mendorong punggungnya.
Ketika aku berbalik, aku melihat Vinsen bersama seorang wanita dengan perut besar.
"Vinsen...?" Aku mendatangi Vinsen.
"Vinsen?"
Vinsen langsung berdiri kaget melihatku berdiri di depannya.
"Nat?" Dia meraih tanganku.
Aku menghindarinya. Aku menatapnya dengan tatapan seolah ingin marah lalu menamparnya. Aku sadar. Bahwa kami justru tak memiliki hubungan apa-apa.
"Teman kamu bang?" Wanita bersamanya mendekati Vinsen.
"Iya dek. Dia teman aku." Vinsen menatapku gugup.
"Hallo, aku istrinya bang Vinsen." Dia mengulurkan tangannya.
Aku pun menjabat tangannya lalu menyebut nama setelah mendengus. Aku melihat perut wanita itu. Karena tak ingin merusak suasana hati dan keluarga Vinsen, aku pun meninggalkan mereka.
\*\*\*
author butuh support reader setia author donk...hehehehe..
biar ceritanya makin seruuuuu...
jangan lupa like, follow, komen, vote juga ya..selamat membaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
🍁𝔰𝔢𝔫𝔧𝔞 𝔰𝔬𝔯𝔢 🌥
smangatt thorr 💪💪💪💪
2021-05-27
1