Pagi-pagi betul, aku dan yang lain sudah dibangunkan karena harus segera berangkat. Usai mengemasi barang-barang, kami berkumpul di dekat kapal kecil yang akan mengantarkan kami.
Kapal berangkat meninggalkan tepi pantai. Aku dan keempat temanku berbaring di dalam kapal. Di tengah perjalanan, Bagus merasa mabuk kapal kemudian muntah ke luar.
Aku memejamkan mata agar tak melihatnya, demi menghindari mabuk itu menular padaku.
Aku mendengarkan musik guna menikmati perjalanan.
Akhirnya kami tiba di desa Mailepet, Sumatera Barat. Tepat di pelabuhan lamanya. Suasana sangat ramai, bukan karena kedatangan kami melainkan hari itu adalah jadwal kapal masuk ke pelabuhan Mailepet.
Motor dan becak berangsur-angsur masuk untuk menjemput penumpang dan juga barang-barang. Tak hanya itu, truk dan kendaraan lain pun mengantri di sana. Para penumpang juga berangsur-angsur keluar dari kapal.
Sebuah angkutan berhenti di depan kami.
"Teman-temannya mas Handoko ya?" kata seorang mas-mas kepada kami.
"Ah, iya mas. Ini jemputan kita?" ucap seorang dari kami.
"Yah udah, masuk aja yok," lanjutnya.
"Emang muat buat luma puluh orang mas?" Seseorang dari kami memeriksa angkutannya.
"Nanti datang satu lagi mbak." Mas-mas itu menaiki angkutan itu.
"Bagi dua aja guys." Seorang ketua tim mengatur.
Aku, Auna, Bidadari dan Bagus naik ke angkutannya. Sedangkan Jobes mendapat bagian angkutan lainnya.
Angkutan itu melaju. Auna, Bidadari dan Bagus melambai ke arah Bagus.
Aku memandangi pemandangan desa itu. Sepertinya, aku pernah ke sini deh, batinku.
Tiba-tiba kepalaku pusing.
"Kamu gak pa pa Nat?" Auna menyentuh bahuku.
Aku hanya geleng-geleng. Aku pun menyandarkan kepalaku di pundak Auna.
"Mau minun dulu gak?" Auna menyodorkan sebotol air mineral.
Aku menggeleng lagi. Aku pun merem dan tertidur di pundak Auna.
.......
.......
"KAMU YA! KAN PAPA UDAH BILANG. INI BUKAN KEPUTUSAN YANG BAIK BUAT KITA. MAMA SABAR AJA, BISA GAK SIH!" seorang pria dengan pakaian kantor melempar kertas dengan tegas.
"Tapi kan pa," tutur seorang wanita yang terhenti.
Pria itu menghela napas panjang.
"Itu bukan alasan ma. Kalau mama mau ninggalin papa hanya karena mama gak bisa kasi kita keturunan, papa gak bisa terima dong ma. Mama ngertiin papa juga dong." Lelaki itu menatap lekat wanita di hadapannya.
"Maafin mama ya pa." Wanita itu menunduk dengan sedikit berlinang air mata.
Lelaki itu memeluknya. Wanita itu pun perlahan mengusap air matanya.
Tok tok tok!
Wanita itu membuka pintu namun tak menemukan siapa-siapa. Dia pun kembali menutup pintu, namun dicegat oleh lelaki itu.
"Tunggu ma!" katanya.
Mereka menjadi sangat terkejut melihat seorang bayi di depan pintu rumah mereka. Mereka melihat kesekeliling rumah mereka namun tak menemukan siapapun.
"Bawa ke dalam dulu ma. Kasihan bayinya kedinginan." wanita itu menggendong bayi itu ke dalam rumah.
"Nat.... Nat...." Auna menepuk tanganku. Aku pun terbangun. "Kita udah sampai Nat."
Aku berdiri lalu turun dari angkutan tersebut dibantu oleh Auna dan Bidadari.
Setelah berbincang-bincang dengan kepala desa Puro, kami pun diberikan penginapan di rumah para warga setempat. Mereka menyambut kami denga ramah.
Sayangnya, ketika kami dibagi beberapa kelompok, aku harus berpisah dengan teman-temanku itu.
Aku sekelompok dengan dua perempuan dari kampus sebelah kampusku, Aci dan Blester.
Aci merupakan perempuan feminim yang berasal dari Jakarta dan merupakan keturunan Jawa. Sedangkan Blester, dia wanita tomboy, lebih tomboy dariku. Dia asli Jakarta sa. Dia memiliki darah campuran Jerman.
Ketika malam di rumah keluarga bapak Naban, tempat penginapan kami, suasananya terasa sangat berbeda. Makanannya adalah makanan khas daerah itu.
Rendang ulat sagu, pisang rebus dan sagu yang dimasak dalam bambu. Aku melongo melihat makanan-makanan itu. Demikian dengan Aci. Sedangkan Blester terlihat menikmati makan malam itu.
Pak Naban dan keluarganya hanya menatap kami dengan tersenyun kecil. Dari dapur, istri pak Naban membawa nasi dan lauk serta sayur lalu meletakkannya di atas meja makan.
Mereka hanya menertawakan kami. Dengan segannya, aku menikmati makan malam, malam itu.
"Kalau ini, makanan khas daerah sini. Memang sih gak semua orang bisa makan ini. Kalau alergi, mana bisa dimakan. Bahaya kalo gitu." Pak Naban menggeser nasi dan lauk ke dekat piringku. "Ayo dimakan. Jangan segan-segan."
Aku berdiri halaman rumah. Mengangkat ponsel untuk mencari jaringan.
"Dek, di sini jaringan memang susah. Gak dapat." Seorang bapak menggeleng.
"Gitu ya pak." Aku menurunkan tanganku.
Bapak itu hanya tersenyum lalu pergi.
"Gelisah banget gw lihatin dari tadi." Blester menyeruput teh lalu duduk di kursi teras rumah.
"Tadi aku nyariin sinyal, rupanya memang gak ada sinyal di sini. Susah juga ya." Aku duduk di samping Blester.
"Masa sih." Dia mengeluarkan ponselnya. "Wah, iya nih." Dia kembali meletakkan ponselnya.
Siang itu keluarga pak Naban tidak di rumah karena mereka biasanya bekerja di ladang mereka sendiri. Aku tinggal di rumah bersama Aci dan Blester. Sedangkan anak pak Naban masih di sekolah.
Dua hari tinggal di desa Puro, aku dan yang lain sudah melakukan beberapa kegiatan baksi sosial. Mulai dari memberikan sosialisasi tentang bahaya narkoba, sosialisasi penanganan bencana tsunami dan lain-lainnya.
"Bu, di sana tuh ada acara apa, kok ada tenda gitu, trus rame banget lagi." Aci duduk di kursi dapur sambik mengupas bawang.
"Ada anak tetangga yang nikahan. Nanti malam kalian bisa tuh ke situ, main-main. Ada orgennya juga tuh," kata ibu sambil mengaduk sayur.
"Aduh, emang bisa bu? Malu ah. Segan juga." Aku mencuci ikan.
"Boleh kok. Malahan mereka bakal tambah rame kalau ada orang baru yang datang ke situ. Udah gak pa pa." Ibu tersenyum.
Usai makan malam, aku, Auna, Bidadari, Bagus dan Jobes datang ke acara orgen itu. Resepsinya akan di adakan hari Minggu. Suasana seperti itu memang sudah biasa di desa itu.
Musik diputar dengan keras. Anak-anak hingga orang dewasa berjoget di tengah remang-remang lampu. Sebagian hanya menggoyangkan kepala di tempat duduk.
Melihat yang lain bergoyang, Bidadari dan Bagus ikut bergoyang di tengah-tengah warga lain. Tak beberapa lama, Auna ditarik oleh Bagus dan Bidadari untuk bergoyang bersama mereka. Dengan malu-malu, Auna pun berjoget bersama mereka.
"Oke, kita akan mendengarkan persembahan lagu dari teman kita, kepada teman kita disilakan." Seorang pria menarik. Seorang wanita dari bawah panggung untuk bernyanyi.
Wanita itu menyanyikan sebuah lagu dengan bagus. Penonton dan hadirin bertepuk tangan riang. Aku dan kawan-kawanku duduk di kursi yang ada sambil mendengarkan yang lain bernyanyi.
.......
Malam semakin larut, aku memutuskan pulang ke rumah. Aku membujuk yang lain untuk pulang bersama, namun mereka menolak. Aku pun pamit pulang duluan.
"Hei, tunggu." Seorang pria berlari mendekatiku.
Aku menoleh. Aku pun berhenti menunggunya.
"Malam-malam begini pulang sendiri, emang gak takut?" Dia berdiri di sebelahku.
"Loh, Han. Kok...?" Aku tercengan melihat Han di sana.
"Hahaha. Kenapa? Kok kaget?"
"Loh, kok kamu bisa di sini?"
"Um. Aku berkunjung di tempat orang tua angkat aku. Sebenarnya kemaren aku udh balik ke Jakarta, tapi bunda sakit, makanya aku ke sini. Kamu?"
"Ah, aku jalan-jalan ke sini sekalian jadi sukarelawan." Aku menggarut kepalaku.
"Ah, lagi? Aku tau loh, waktu itu sebenarnya kalian bukan sukarelawan kan? Modus banget." Han menyenggol bahuku sengaja.
Kami pun berjalan sambil berbincang-bincang.
.................
"Oh ya guys,, jangan lupa di like, komen and vote yah.. karena author butuh support dari teman-teman semua agar author lebih semangat lagi nulisnya." Author cengar-cengir sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments