"Loh..., Vinsen kemana sepagi ini?" Aku melihat ke seisi kamar. Aku benar-benar tak menemukannya.
Aku duduk di atas kasur dengan selimut yang masih menutupi kakiku. Aku mengusap wajahku lalu perlahan berdiri.
"Mungkin dia udah keluar duluan kali." Aku menoleh ke arah jendela. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku keluar dari kamar lalu duduk di tepi pantai sambil menikmati secangkir kopi susu dan nasi goreng.
Aku memandangi pantai yang terlihat begitu indah. Seseorang datang menghampiriku.
"Hallo, mbak. Ini ada surat dari pasangan mbak." Wanita itu memberikan selembar kertas kepadaku.
"Iya mbak, terima kasih." Aku meraihnya. Wanita kembali meninggalkanku.
Aku membuka lipatan kertas itu lalu membaca isi surat itu. Aku menghela nafas panjang lalu menghembuskannya.
"Nat, aku harus pergi karena ada urusan mendadak. Maaf gak sempat ngomong langsung. See you soon," tulis Vinsen dalam kertas itu.
Aku kembali menikmati makanan dan minumanku. Kemudian berjalan ke kamar. Mengemasi barang-barangku untuk melanjutkan perjalanan.
Aku melangkah ke arah jalanan dengan sebuah map dari ponselku. Aku berdiri di tepi jalan untuk mencari tumpangan. Sebuah mobil pengangkut rumput berhenti ketika aku melambai.
"Bang, boleh saya numpang gak?"
"Boleh mbak. Ayo ayo." Pemilik mobil membuka pintu. Aku pun masuk ke dalam mobil.
"Mau ke mana mbak?"
"Eh..., saya mau ke tempat-tempat wisata di daerah ini bang." Aku menoleh ke arah abang itu.
"Oh iya mbak. Banyak destinasi wisata disini. Indah mbak." Abang itu menjelaskan dengan antusias. "Oh ya mbak..., kita kenalan dulu gak apa-apa kan?" lanjutnya.
"Hahaha.... Ya bang. Panggil Nat aja." Aku mengulurkan tangan.
"Oh ya, Mbak Nat. Saya Gerri. Panggil Ger aja. Gak usah pakai abang. Ketuaan rasanya. Hahaha." Gerri menjabat tanganku dengan ramah sambil tersenyum.
"Iya bang. Eh, Ger. Panggil Nat aja lah Ger. Gak usah manggil mbak. Canggung banget." Aku tersenyum ke arah Gerri.
"Kita mampir di tempat aku dulu, mau gak?"
"Oh..., iya gak apa-apa."
"Oke deh."
Kami berhenti di sebuah rumah yang sederhana. Sepertinya, rumah itu rumah adat. Dengan kekhasan bangunannya.
"Iya, Nat. Ini rumah adat. Aku dan keluargaku yang tinggal di sini." Gerri mengajakku masuk ke dalam rumah. "Ibu...." Gerri masuk ke dalam rumah.
"Eh, iya Ger.... Loh, ini siapa Ger?" Seorang wanita keluar lalu memandangku.
Aku tersenyum ke arah wanita itu. Dia mendekatiku sambil tersenyum.
"Cantik sekali. Ayok duduk nak."
"Iya bu. Terima kasih." Aku duduk di samping ibu itu.
"Bu, ini Nat." Gerri menatapku. "Nat, kamu sama ibu dulu ya. Aku mau turunin rumput dulu," lanjutnya sambil tersenyum.
"Kamu tunggu bentar ya, nak. Ibu mau ambilkan minum dulu." Ibunya Gerri berdiri.
"Hm..., tidak usah bu. Tidak usah repot-repot."
"Udah. Biar ibu ambilkan dulu." Ibu itu bergegas ke dalam rumah.
"Ger..., itu rumput untuk apa?" Aku berjalan menghampiri Gerri.
"Makanan sapi, Nat." Gerri menurunkan rumput-rumput itu.
"Sini aku bantu." Aku menangkat sekarung rumput itu lalu meletakkannya di bawah.
"Bisa?" Gerri tersenyum.
"Bisa kok." Aku membalas senyuman Gerri.
"Nat! Ini minum dulu." Ibu meletakkan segelas teh manis di atas meja.
"Iya bu. Terima kasih." Aku duduk.
Aku menghampiri ibu yang duduk di teras. Aku menyeruput teh manis dengan perlahan karena masih panas, ditemani beberapa cemilan di atas meja.
Beberapa lama kemudian, Gerri menyusul.
"Mau ibu buatkan teh juga, Ger?"
"Ah, tidak usah bu. Gerri bisa sendiri kok."
"Yo Wes, Ibu ke dapur dulu. Mau masak." Ibu berjalan ke dalam rumah.
"Habis ini mau ke mana, Nat?" Gerri menoleh ke arahku.
"Hm, aku sih sebenarnya butuh orang yang bisa bawa aku ke tempat-tempat indah di daerah ini. Sayangnya, tadi gak jadi sih. Jadi bingung." Aku menggarut kepalaku yang sedikit gatal.
"Hm.... Tenang aja. Aku bisa bantuin kamu kok. Selow aja." Gerri lagi-lagi tersenyum ramah ke arahku.
"Thanks, Ger."
Hari sudah siang. Aku bersama keluarga Gerri berkumpul di meja makan untuk makan siang. Sambil menikmati makanan, keluarga itu terlihat sangat bahagia. Sesekali aku merasa sedikit canggung ketika Gerri mulai menatapku lama. Aku merasa seakan ada sesuatu yang salah denganku.
"Nat, Ibu senang deh kamu datang ke sini. Kamu tau, baru kali ini Gerri bawa cewek ke rumah ini. Itu bukan hal yang biasa baginya dan bukan sembarang orang." Ibu menepuk pundakku ketika kami berada di teras rumah.
"Masa sih, bu?" Aku menatap ibunya Gerri dengan heran.
"Iya, Nat. Maka dari itu, ibu heran ketika dia tiba-tiba datang bersama kamu. Terus, Ibu perhatikan..., dia kelihatan bahagia banget deh."
Aku tersenyum ke arah ibu. Aku tidak tahu apa yang diharapkan ibunya Gerri.
Beberapa saat kemudian, Gerri muncul, lalu menghampiriku.
"Ibu tinggal bentar ya. Kalian ngobrol aja dulu." Ibu meninggalkan aku dan Gerri di teras.
"Jalan sekarang?" Aku menatap Gerri.
"Nginap aja dulu malam ini di sini. Kamu kan masih capek. Besok baru kita beraksi. Gimana, gak pa pa kan?" Gerri duduk di kursi samping.
"Hm..., gak pa pa sih. Oke deh besok. Tapi kamu yang nemanin kan?"
"Iya, tenang aja." Lagi-lagi Gerri tersenyum kemudian disusul gerakan tangannya yang mencubiti hidungku.
Usai makan malam, akupun masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan Ibunya Gerri. Sambil menatap ponsel, aku membayangkan perjalanan besok akan bagaimana.
Tok.... Tok.... Tok....
Pintu diketok. Aku berjalan membukakan pintu.
"Eh, Gerri."
"Udah mau tidur?"
"Eh..., belum sih. Kenapa Ger?"
"Mau keluar gak?"
"Hm..., boleh. Aku ambil jaket dulu ya."
"Oke. Aku tunggu di teras ya."
Aku mengambil jaket lalu berjalan menyusul Gerri.
"Udah siap?" Gerri memainkan kunci motornya.
"Udah kok."
"Yok."
Kami berjalan menuju parkiran motor Gerri. Dia mengambil helm lalu memakainya. Kemudia. Mengambil satu helm lagi. Gerri mendekatiku lalu memasangkan helm itu di kepalaku. Aku hanya terdiam. Motorpun melaju. Kami menuju ke suatu tempat yang begitu banyak orang berkumpul-kumpul. Aku heran melihatnya.
Motor berhenti, aku turun dari motor lalu melepas helmnya. Gerri menarik tanganku. Kami berjalan ke tempat itu.
Ternyata di sana ada acara layar tancap. Semacam bioskop kecil gitu. Aku tersenyum kagum melihatnya. Unik sih. Aku pikir yang sepeerti ini tidak ada lagi. Rupanya masih bisa ditemukan.
Gerri membeli beberapa minuman dan cemilan lalu kami duduk di tengah orang-orang di sana.
Kami menyaksikan film-film romantis kala dulu. Terlihat beberapa pasang orang duduk menyaksikan pertunjukkan film itu.
Geri terlihat sangat menikmati filmnya. Dengan minuman dan makanan di depan kami, aku memperhatikan orang-orang di sana yang dengan serius menonton. Tampak mereka sangat menikmati filmnya.
Drtttttt.... Drtttttt.... Drtttttt....
Ponselku bergetar. Aku bergegas meraihnya.
"Ger, aku jawab telpon dulu ya." Aku berdiri lalu meninggalkan Gerri. Dia hanya mengangguk. Aku berlari pelan ke sudut tempat itu.
"Hallo, ma. Ada apa?"
"Kamu di mana sayang?"
"Ini mah aku lagi di luar nih."
"Ha? Di luar di mana? Kamu sama siapa? Ini udah malam loh sayang?" Mama terlihat parno.
"Ma, mama tenang dong. Nat lagi sama teman Nat. Mama tenang ya."
"Teman? Teman yang mana?"
"Udah deh ma. Mama gak usah kwatir. Semua baik-baik aja Ma."
"Hallo.... Hallo...."
Aku mengakhiri panggilan dari mama.
Mamaku memang seperti ini. Suka 'parno'.
Aku mengantongi ponselku lalu kembali ke tempat tadi.
Kami menyaksikan film-film yang ditayangkan. Sesekali para penonton tertawa serentak lalu kemudian terdiam.
Akhirnya filmnya selesai. Aku dan Gerri meninggalkan tempat itu.
"Yok, kita pulang aja lagi. Udah malam ini." Gerri menarik tanganku lalu kami berjalan menuju parkiran.
"Um.... Btw, aku masih mau dong jalan-jalan." Aku menatap Gerri ketika dia hendak memasangkan helm ke kepalaku.
"Boleh. Mau ke mana, Nat."
"Aku gak tau sih. Ke mana aja deh Ger. Lagian kan masih jam sembilan lewat."
"Ya udah. Naik."
Beberapa lama kemudian, kami tiba di sebuah pantai.
Terdapat batu-batu besar yang berbentuk seperti bentuk 'love'. Batu-batu itu berada di pinggir pantai. Meski sering diterpa ombak, batu-batu itu tidak bergeser sama sekali.
Aku dan Gerri duduk di atas bebatuan mengarah ke pantai.
"Wow. Indah ya. Bintang-bintangnya banyak banget."
"Iya. Tapi lebih indah wajahmu, Nat."
"Hohoh..., bisa aja." Aku mendorong pelan tubuh Gerri.
"Serius loh."
"Thanks loh ya. Oh ya, Ger.... Di tengah laut itu apa, kok banyak lampu-lampu?" Aku menunjuk ke arah lampu-lampu itu.
"Oh itu. Itu rumah, Nat.
"Di tengah laut?" Aku tercengang mendengarnya.
"Iya. Rumah mengapung."
"Wow. Apa gak bahaya ya. Ntar kalau ada tsunami, mereka gimana cara nyelamatin diri. Jauh banget dari daratan."
"Hahaha. Iya sih. Beresiko. Semuanya beresiko Nat. Termasuk perasaanku ke kamu."
"Maksudnya?" Aku menatap Gerri penasaran.
"Hahaha, perasaan.... Kalau aku.... Kalau aku merasa lucu ngeliat kamu dengan ekspresi seperti itu. Hahaha. Santai aja Nat. Mereka aja gak merasa cemas. Kok kamu cemas banget nampaknya." Gerri mencubit pipiku.
"Dih. Kok lucu sih."
Gerri hanya tertawa melihatku.
Aku bersandar di bahu Gerri sambil memandang langit. Sangat indah. Sesekali aku sempat melihat bintang jatuh lalu membuat beberapa permohonan dalam hati.
Gerri merangkulku. Tangannya berada di pundakku. Kami memandangi langit.
Tak terasa, hari sudah mulai larut. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments