Sesuai waktu yang sudah di tentukan pada makan siang tempo hari, pertunangan antara Kai dan Laura akan berlangsung dua hari lagi, tepatnya pada malam sabtu nanti. Undangan sudah selesai di cetak dan itu mengejutkan semua penghuni rumah sakit. Terlebih beberapa laki-laki yang menyimpan hati pada Laura. Mereka tidak menyangka bahwa perempuan yang dengan tegas menunjukan ketidak tertarikannya itu mengirim undangan secara langsung.
Belakangan ini memang beredar gosip mengenai laki-laki yang kerap kali datang mengunjungi Laura, tapi siapa yang menyangka bahwa pertunangan akan terselenggara, sedangkan mereka menganggap bahwa laki-laki itu akan bernasib sama.
Patah hati masal jelas membuat rumah sakit sedikit suram. Dokter dan perawat laki-laki yang mendamba bisa bersanding dengan dokter cantik itu seolah kehilangan semangatnya, sedangkan yang perempuan berlomba-lomba memberikan selamat, terlebih Nandini. Sang asisten yang semula sempat mengira Laura tidak normal. Dia menatap Laura dengan takjub, mulutnya bahkan sampai terbuka lebar untuk beberapa saat. Ingatannya kembali pada hari dimana Laura mengatakan bahwa dia tidak suka pada si tampan yang datang membawa makanan itu, sampai mengizinkan Dini mengambilnya. Tapi lihatlah sekarang … Dini malah mendapat undangan sebuah pertunangan kedua orang itu.
“Dok,” panggil Dini masih memegang undangan di tangannya yang baru saja dirinya selesai baca.
“Kenapa?”
“Ini, Dokter yang tunangan?” tanyanya hati-hati. Deheman singkat yang menjadi jawaban Laura, tanpa mengalihkan tatapannya dari rekam medis pasien-pasiennya. “Sama si tampan yang selalu datang bawa makanan itu ‘kan?” Laura mengangguk dengan ringan.
Dini menelan ludahnya susah payah, kata selanjutnya yang ingin ia tanyakan membuatnya sedikit takut. Bagusnya mungkin tidak di tanyakan tapi, Dini penasaran. “Kok tunangan, bukannya Dokter bilang gak suka?”
Gerak tangan Laura di berkas yang sedang di ceknya terhenti, ia mengangkat kepalanya dan melirik sinis asistennya itu. “Kenapa memangnya? Apa kalau saya tidak suka, itu berarti gak boleh tunangan?”
“Bu- bukan gitu Dok, ta—”
“Perasaan itu bisa berubah dengan seiring berjalannya waktu, Din. Lagi pula saya dan dia memang sudah menjalin hubungan dari sebelas tahun lalu. Kemarin kita lagi berantem aja makanya saya bilang gak suka,” jelas Laura, entah itu bisa dikatakan berbohong atau tidak. Karena pada kenyataannya mereka sudah putus. Sepuluh tahun rasanya sangat tidak etis dibilang marahan. Tapi entah mengapa Laura berat mengatakan yang sesungguhnya. Ada setitik rasa yang menolak mengakui bahwa mereka dulu pernah berpisah. Perasaan oh perasaan kenapa secepat ini luluh. Teriak Laura dalam hatinya. Dua bulan. Bukankah itu terlalu cepat untuk melupakan kekecewaan dan sakit hati?
“Jadi sebenarnya Dokter Laura cinta sama Pak Kai?”
“Ya iyalah, ya kali sama calon suami sendiri gak cinta,” sahut cepat Laura entah sadar atau tidak, yang pasti sosok yang berada di balik pintu tengah mengintip itu mengelum senyumnya.
“Ya, kalau gitu saya patah hati dong, Dok,” lesu Dini, duduk di kursi yang selalu digunakan untuk si orang tua pasien konsultasi mengenai kesehatan anak-anaknya pada Laura.
“Patah hati kenapa?” kening Laura mengerut dalam, lalu matanya memicing menatap curiga asistennya itu. “Jangan bilang kalau kamu ….” Tatapan Laura berubah tajam.
“Dokter sendiri yang bilang kalau saya boleh mengambilnya. Saya udah jatuh hati sejak pandangan pertama loh, Dok,”
“Ya terus?” Laura semakin menaikan sebelah alisnya.
“Masa Dokter mau tunangan sama dia, terus perasaan saya gimana dong,” cemberut Dini menopang wajahnya di meja kerja Laura. Dini memang tidak segan memelas pada Laura karena mereka memang sudah cukup dekat walau masih selalu berbicara dengan formal.
Meskipun galak, Dini tidak memungkiri bahwa Laura memang baik hati terlebih pada dirinya yang selama satu tahun ini menjadi asisten Dokter cantik yang sudah dianggapnya sebagai kakak itu. Dan untuk kalimatnya barusan Dini tidak sungguh-sungguh, ia hanya sedang menggoda Laura agar mengakui perasaan yang sesungguhnya terhadap calon suami. Ini Dini lakukan bukan maunya sendiri tapi ada dalang di baliknya. Siapa lagi jika bukan Kaivan? Satu lagi yang perlu diingat, Dini melakukan ini tidak gratis. Kai membayarnya mahal hanya untuk memancing perasaan Laura untuk pria itu ketahui.
“Ya itu urusan kamu, siapa suruh naksir calon suami orang,” cuek Laura kembali fokus pada berkas di tangannya.
“Kok gitu sih Dok, dokter sendiri loh yang—”
“Udah cukup, lebih baik sekarang kamu keluar dan kembali kerja, pasien saya sudah banyak yang menunggu pasti,” usir Laura halus. Dini semakin mengerucutkan bibirnya, bangkit dari kursi yang didudukinya kemudian melangkah keluar dengan kaki yang di hentak, membuat Laura geleng kepala di buatnya.
“Buang perasaan kamu jauh-jauh, Din. Ingat dia calon suami saya,” ucap Laura sebelum Dini benar-benar keluar dari ruangannya, tidak sama sekali Laura menampilkan wajah bersalahnya karena sudah memberi Dini harapan palsu. Dini hanya berdecak pelan sambil membuka pintu dan meninggalkan ruangan Laura, tapi berakhir dengan ulasan senyum manis di bibir.
“Sukses kan, Pak?” Kai yang sejak tadi berdiri di depan pintu itu mengacungkan kedua ibu jarinya, memuji kesuksesan Dini. “Voucher makan gratisnya bisa di tambahin dong, Pak,” Dini mengedipkan sebelah matanya, membuat Kai tertawa.
“Pesan apa pun yang kamu kamu di restoran saya, Din. Ajak temannya sekalian. Tunjukan kartu yang kemarin saya kasih ke kasir di sana, mereka pasti paham.” Mata Dini berbinar, lalu menganggukkan kepalanya antusias.
“Kalau gitu Bapak masuk gih, Dokter Laura free hari ini. Tinggal visit kamar aja jam empat sore nanti,” kata Dini memberi tahu. Kai mengangguk dan tidak lupa mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan Laura. Ia sudah amat rindu pada calon istri cantiknya itu. Yang akhirnya ia ketahui juga perasaan sesungguhnya perempuan itu.
“Sibuk, Yank?” tanya Kai pura-pura tidak tahu jadwal Laura hari ini.
Laura mengalihkan tatapannya dari kertas-kertas di tangan ke arah Kai yang melangkah mendekat dan langsung melayangkan kecupan di puncak kepalanya begitu jarak mereka tidak sampai selangkah. Laura yang masih duduk di kursinya dengan Kai yang berdiri memudahkan laki-laki itu melakukan kebiasaannya. Mencium kepala Laura.
“Gak terlalu. Kenapa memangnya?”
“Makan dulu,” Kai meraih tangan Laura untuk bangkit dari duduknya, menarik lembut perempuan itu menuju sofa.
“Kali ini Mama yang masak,” ucap Kai seraya mengeluarkan satu per satu luchbox berisi makanan dari paper bag yang dibawanya.
“Aku pasti ngerepotin terus, ya,” Laura meringis tak enak hati. selama ini Kai selalu saja membawa makanan untuknya karena Laura yang lebih sering menolak ketika di ajak makan keluar. Tapi itu dulu saat rasa bencinya belum surut, dimana Laura enggan pergi makan berdua dengan laki-laki itu. Sekarang Laura tidak akan menolak, sungguh. Tapi sayangnya Kai tidak pernah lagi mengajaknya makan di luar, Kai mengira bahwa ia tidak memiliki banyak waktu untuk makan di luar mengingat ia memang sering menggunakan alasan sibuk untuk menolak ajakan Kai. Jadilah pria itu lebih memilih membawa makanan hasil masakannya dan kemudian makan bersama diruangannya. Beberapa waktu lalu mungkin itu lebih baik, tapi sekarang Laura merasa bosan. Ia ingin suasana yang baru.
“Mana pernah kamu ngerepotin, Mama justru senang bisa masakin untuk calon mantunya,” goda Kai seraya mengedipkan sebelah matanya genit. Membuat Laura mendengus dengan wajah memerah, entah malu atau kesal.
“Kai,” panggil Laura pelan setelah beberapa detik berjalan dalam keheningan, hanya Kai yang sibuk menyiapkan makan sing mereka.
“Kenapa?” tanya Kai dengan nada lembutnya.
“Besok-besok jangan bawa makanan lagi, ya,” Kai menghentikan kegiatan menyusun makanannya di meja, dia mendongak dan menatap Laura dengan tatapan datar yang sarat akan tersinggung.
“Ka—”
“Sesekali aku pengen makan siang di luar, Kai. Cari suasana baru. Bosen di sini terus,” lanjut Laura memotong kalimat Kai sebelum laki-laki itu benar-benar salah paham.
“Bukan bosen karena makananku?” selidik Kai. Laura dengan cepat menggeleng.
“Makanannya gak pernah ngebosenin, tapi suasananya aja yang harus di ubah.”
“Kenapa tiba-tiba pengen makan di luar, bukannya kamu selalu nolak setiap aku ajak pergi makan keluar. Kamu bilang lebih baik makan di kantin karena lebih hemat waktu.” Itu benar. Saat itu Laura pernah mengatakannya.
“Waktu itu aku cuma beralasan, aku malas pergi sama kamu,” ringis Laura lalu merutuki bibirnya yang malah berkata jujur.
“Segitu gak maunya kamu dekat-dekat aku?” tanya Kai terluka, apalagi saat satu anggukan dilakukan kepala Laura entah sadar atau tidak. “Kenapa rasanya sesakit ini mendengar kejujuran kamu,” lanjut Kai dengan raut wajah miris. Senyum dan semangat yang menghiasi wajah tampannya beberapa menit lalu hilang tak bersisa, membuat Laura merasa bersalah akibat kejujurannya yang ternyata melukai pria yang duduk di sampingnya.
“Kai, aku gak bermaksud se—”
“Gak apa-apa kok, aku ngerti,” Kai memaksakan senyumnya. “Kesalahanku dulu memang tidak mudah kamu maafkan. Kebencianmu aku terima karena itu sudah sepantasnya aku dapatkan. Sejak awal seharusnya aku sadar bahwa tidak pantas aku mengharapkan kamu kembali. Harusnya aku menyerah—”
“Kenapa baru bilang nyerah sekarang, hah! Kenapa gak dari kemarin-kemarin?” emosi Laura memotong kalimat Kai. Wajahnya yang berkaca-kaca membuat laki-laki itu terkejut. “Kenapa baru sekarang, di saat aku sudah berusaha membuka hati?” lemah Laura yang kini air matanya mulai menetes satu per satu, semakin membuat Kai panik. Tidak menyangka kekasihnya itu akan meledak seperti ini.
“Yank—”
“Kamu sakit hati ‘kan dengan penolakanku selama ini? Kamu mau nyerah? Kalau begitu pergilah. Biar aku yang bicara ke Bunda tentang pembatalan pertunangan lusa,” Laura menyeka air matanya dengan kasar, lalu bangkit dari duduknya dan hendak pergi, namun Kai lebih cepat menarik pergelangan tangannya hingga membuat Laura terjatuh kembali ke sofa, menubruk tubuh Kai sampai laki-laki itu setengah berbaring menyandar pada kepala sofa dibelakangnya.
“Pertunangan itu akan tetap berlangsung,” bisik Kai serak, setelahnya menyatukan bibirnya dengan milik Laura yang masih terkejut di atas tubuhnya.
“Kai—”
“Jangan pernah berniat untuk meninggalkan aku lagi, Yank. Tolong hentikan siksaan ini,” parau Kai berucap tepat di depan bibir merah sedikit bengkak Laura yang baru saja dilepaskannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
❣︎Йσѵเε♚⃝𝕯𝖚ͨᴅᷞ𝖚ͧ𝖑ᷨ
belum halal, uda main sosor ja
2021-05-03
1
moemoe
ulu..uluuhh
kasianyg bucin
2021-03-15
1
ekha
disosor deh tuh laura😁😁😂
2021-03-07
1