“Nyusahin emang lo, Kai. Sakit bukannya pergi ke dokter malah telepon gue,” omel Laura sedetik setelah masuk ke dalam apartemen Kai.
Alih-alih merasa bersalah atau tersinggung, Kai malah justru mengulas senyumnya mendapat omelan itu dari sang kekasih. Ia merasa bahwa Laura sedang peduli, meskipun cara penyampaiannya terlalu kasar. Tak apa, Kai paham dengan gengsi dan kekeras kepalaan kekasihnya itu.
“Kamu kan juga Dokter, Yank, jadi aku gak salah panggil,” masih dengan senyum Kai berucap, menggeser tubuh lemahnya ke tengah ranjang agar Laura bisa duduk di tepiannya.
“Gue Dokter anak, bukan Dokter aki-aki kayak lo. Ibuprofen gak akan mempan buat lo,” delik Laura seraya menyentuh kening, pipi dan juga leher Kai untuk memastikan suhu tubuh pria itu.
Sebenarnya Laura tidak ingin mengomel, hanya saja saat melihat wajah Kai yang begitu pucat dan sayu membuat Laura marah, kesal juga sedih. Perasaannya campur aduk, antara khawatir dan juga jengkel karena bisa-bisanya di saat demam seperti ini pria itu memilih di apartemen seorang diri.
“Tente Indah tahu lo demam?” gelengan lemah yang Kai berikan membuat Laura lagi-lagi mendengus semakin kesal. “Terus makan lo tadi pagi gimana?”
“Aku sejak pagi tiduran, gak makan gak minum juga. Kepala aku terlalu berat untuk di ajak bangkit dan tubuh aku lemes banget. Untung aja gak kebelet ke toilet,” ucap Kai dengan suara lemahnya.
Satu jitakan Laura daratkan di kening Kai. “Lo mau mati!” Kai menggeleng lemah.
“Maunya nikah sama kamu,” ucapnya dengan senyum manis yang berhasil menggetarkan hati Laura. Bukan hanya itu saja, rasa hangat pun menjalar ke wajahnya dan sudah dapat di pastikan bahwa kini pipi Laura memerah layaknya tomat kelewat matang.
“Lagi sakit masih aja ngegombal,” cibir Laura kemudian membereskan alat-alat kesehatan yang di gunakan untuk memeriksa Kai, mengalihkan dari salah tingkahnya.
“Kamu mau ke rumah sakit lagi?” Laura yang sudah berbalik hendak melangkah, urung, menoleh pada sang kekasih dengan raut wajah yang sudah kembali datar.
“Ke dapur bikin bubur,” jawabnya, lalu melanjutkan langkah tanpa menghiraukan Kai lagi.
Sambil menelisik apartemen Kai, Laura membuka gorden dan juga jendela yang langsung memberikan pemandangan bangunan-bangunan tinggi, jalan raya juga lapangan golf yang luas membentang, cukup indah dan asri. Tempatnya juga nyaman. Laura yang baru pertama kali datang saja rasanya enggan untuk kembali, bukan karena ada Kai di dalamnya, tapi kesunyian ini yang ia sukai.
Teringat akan tujuannya, Laura segera meninggalkan pemandangan yang sedang dinikmatinya, melangkah menuju dapur dan mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat bubur ayam. Untung saja isi kulkas Kai lengkap, jadi Laura tidak harus repot-repot pergi ke supermarket dan membuang waktu lebih lama lagi.
Selesai membuat bubur ayam lengkap seperti di penjual, minus kerupuk, Laura membawanya ke kamar Kai, dan membangunkan laki-laki yang sedang terlelap itu untuk makan terlebih dulu.
Sebenarnya Kai tidak berselera untuk memakan apa pun saat ini, tapi akan sangat menjengkelkan untuk Laura jika hasil jerih payahnya tidak di terima Kai. Jadilah mau tidak mau Kai membuka mulutnya saat Laura menyuapi. Tak apa, kapan lagi mendapati Laura melakukan ini dengan suka rela.
“Kamu gak apa-apa gak pergi ke rumah sakit lagi?” tanya Kai sebelum menerima suapan selanjutnya dari sang kekasih.
“Lo mau gue pergi?” dengan cepat Kai menggeleng. “Gue balik setelah ini,” lanjut Laura tanpa menghiraukan gelengan pria di depannya.
“Jangan,” cegah Kai mencengkram tangan Laura yang kembali hendak menyendokkan bubur di mangkuk, seolah Laura akan pergi saat itu juga. “Please!” mohonnya dengan memelas.
“Lepas tangan lo, gue susah nyuapinnya,” gerakan mata Laura mengisyaratkan untuk tangan Kai melepaskan cengkramannya.
“Janji dulu kamu gak akan pergi setelah ini,” pinta Kai masih enggan melepaskan tangannya.
“Kai …."
“Janji dulu,” paksanya. Laura menghela napas lalu mengangguk. “Makasih,” riang Kai diakhiri dengan kecupan singkat di pipi Laura, membuat perempuan itu menjengit kaget dan langsung melayangkan tatapan tajamnya pada sang kekasih, tapi Kai malah justru memberikan cengirannya. “Aaa lagi dong, buburnya enak. Rasanya tidak berubah,” lanjutnya memuji dengan senyum manis terukir sempurna di bibirnya yang pucat.
Wajah Laura menghangat seketika. Kalimat Kai memang terdengar seperti gombalan, tapi entah mengapa tetap saja mampu membuat Laura bersemu. Dulu ia memang paling suka membawakan bekal untuk Kai dan mereka akan makan sama-sama di taman belakang atau di kelas. Pernah juga sekali Laura main ke rumah Kai saat laki-laki itu absen sekolah karena sakit dan Laura sengaja datang, membuatkan Kai bubur ayam seperti yang sekarang tengah laki-laki itu nikmati.
Pujian Kai selalu meluncur setiap kali menikmati makanannya, entah itu jujur atau hanya sekedar untuk menyenangkan hatinya, tapi yang jelas Laura senang Kai selalu berusaha menghargai setiap usahanya.
Selama mereka kenal, Laura tahu bagaimana sosok asli Kai, laki-laki itu tidak kasar seperti yang terlihat. Sikapnya hanya untuk melindungi dirinya sendiri sekaligus pemberontakan atas kasih sayang yang tidak dia dapatkan. Laura sangat mengerti akan hal itu karena ia pun sedikit pernah merasakannya.
Ia pernah merasa bahwa orang tuanya tidak menyayanginya saat hanya kakaknya yang begitu dimanjakan. Namun sekarang semua pikiran itu musnah dan rasa cemburunya sudah lama hilang. Laura cepat sadar bahwa dibalik semua itu ada alasan yang menjadi pendukung. Sama halnya seperti ayah Kai yang memiliki alasan dibalik pengabaiannya pada sang putra. Hanya saja saat itu Kai tidak mengerti, atau lebih tepatnya enggan mengerti. Tapi Laura senang karena pada akhirnya ayah dan anak itu bisa bersatu, Laura dapat melihat bagaimana Angga menyayangi Kai.
“Mau ke mana?” Kai menahan tangan Laura yang hendak bangkit dari duduknya.
“Ke dapur. Simpan ini,” jawab Laura seraya mengangkat nampan berisi mangkuk dan gelas yang isinya sudah berpindah ke perut Kai semua.
“Oh, ya udah,” Kai melepaskan cengkraman di lengan Laura. “Tapi jangan lama-lama, ya, temenin aku tidur disini,” ucapnya dengan nada manja. Membuat Laura memutar bola matanya. Jika sedang sakit Kai memang menyebalkan, lebih-lebih dari pasien Laura yang usianya masih anak-anak.
“Ck, nyusahin emang, lo!” dengus Laura kemudian benar-benar bangkit dan melangkah keluar dari kamar Kai menuju dapur untuk mencuci peralatan makan yang habis di gunakan. Setelahnya ia kembali ke kamar Kai, dan lagi-lagi Laura mendengus saat di lihatnya Kai bukannya istirahat tapi malah bermain ponsel.
Dengan cepat Laura merebutnya dan melempar benda pipih itu ke sofa yang ada di sudut kamar. Beruntung benda itu mendarat tepat sasaran jadi bisa di pastikan bahwa ponsel Kai tidak rusak.
“Yank ….”
“Tidur!” perintah Laura dengan tatapan tajamnya.
“Ta—”
“Tidur atau gue pulang!” ancam Laura, yang berhasil membuat Kai menurunkan tubuhnya yang semula bersandar pada kepala ranjang jadi berbaring, menatap nanar ponselnya yang tergeletak mengenaskan di sofa. Bukan karena di ponsel itu ada chat dari perempuan-perempuan pemujanya, melainkan game yang sedang dirinya mainkan sebentar lagi akan menang. Tapi sepertinya sekarang malah justru ia kalah.
“Maaf game, tapi ancaman calon istri lebih mengerikan dari pada kekalahan lo,” guman Kai dalam hati.
Melihat bagaimana Kai menurut, diam-diam Laura mengulas senyumnya. Ia gemas dan ingin sekali mencubit kedua pipi kekasihnya itu, tapi Laura tidak ingin citra jual mahal dan judesnya hancur dan membuat Kai besar kepala. Disini Laura sedang mempertahankan egonya. Ia ingin melihat kesungguhan Kai, penyesalan Kai, dan perubahan pria itu walau sebenarnya Laura tidak terlalu memedulikan itu. Tapi sebentar lagi saja, ia ingin tahu hingga mana batas sabar seorang Kaivan. Karena ini menyangkut masa depannya, masa depan mereka.
“Kalau aku tidur, kamu gak akan pulang ‘kan?” tanya Kai untuk memastikan.
“Sore gue pulang,” ucap Laura singkat, duduk di sisi kanan Kai yang kosong dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang lalu menyalakan ponselnya dan mulai memutar video-video mengenai kesehatan. Sebagai dokter Laura harus banyak-banyak belajar dan itu ia lakukan lewat apa pun, entah itu dari membaca, video-video atau dari sumber lain yang akan semakin membuat pengetahuannya di dunia kesehatan bertambah.
“Kok pulang? Nginep dong, Yank, emangnya kamu gak kasian ninggalin aku sendiri di saat sakit kayak gini?” rengek Kai seperti anak kecil, membuat acara menonton Laura terganggu. Perempuan itu lalu menoleh pada sang kekasih, menatapnya dengan satu alias terangkat.
“Semalam aja lo di rumah sendiri dalam keadaan sakit, tapi sampai siang ini masih hidup,” ucap Laura kejam.
Kai memajukan bibirnya tidak bisa menjawab kalimat pedas Laura. Tapi kemudian tanpa kata laki-laki itu melingkarkan tangannya di pinggang sang kekasih, memeluknya erat agar Laura tidak bisa beranjak meninggalkannya. Dan kelakuannya itu membuat Laura lagi-lagi terkejut dan meminta Kai segera melepaskan belitannya, namun Kai tidak sama sekali peduli. Ia malah justru semakin mengeratkan pelukannya, bahkan kepalanya yang semula berada di bantal dipindahkannya jadi ke pangkuan Laura.
“Dengan begini kamu gak bisa pergi, Yank,” ucap Kai seraya menenggelamkan wajahnya di perut Laura yang terlapisi bluss merah muda berbahan lembut, mencari posisi yang nyaman untuk dirinya tidur. Dan tidak butuh waktu lama kantuk sudah mulai menjemputnya. Entah itu karena efek obat yang Laura berikan beberapa menit lalu atau karena posisi nyamannya memeluk Laura, yang jelas Kai tersenyum dalam tidurnya. Apalagi saat sebuah elusan lembut ia rasakan di kepalanya. Kai hanya berharap bahwa ini bukan hanya sekedar mimpi indahnya saja. Semoga saja ketika bangun nanti wajah cantik Laura lah yang Kai temukan pertama kali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Anita Jenius
Salam kenal ya kak..
10 like mendarat buat kk.
Lanjut up ya.
2021-04-23
1
Ratifah hanum
mumpung sakit jadi bisa dimanja y kai...
2021-03-05
1
Nana_Yuu
gue mau yang begitu tan😭😭😭
2021-02-26
3