Pulang kerja, Laura mengunjungi Kai lebih dulu seperti janjinya pagi tadi. Tidak lupa ia mampir ke supermarket untuk membeli beberapa macam buah, sayuran dan bahan makanan lainnya. Rencananya Laura akan memasak dan makan malam bersama Kai sebelum pulang ke rumah orang tuanya. Laura hanya ingin memastikan bahwa pria itu makan banyak malam ini untuk membantu penyembuhan setelah demam kemarin, juga memastikan laki-laki itu meminum obatnya.
Selesai belanja, Laura langsung mengendarai mobilnya menuju apartemen sang kekasih, tanpa menghiraukan dering telepon yang sejak tadi berbunyi dengan nama Kai yang tertera sebagai pemanggil.
Decakan, gelengan, juga senyum tipis menjadi ekspresi Laura sepanjang perjalanan, namun begitu tiba di gedung Apartemen Kai semua itu di gantikan dengan wajah datar andalannya. Laura masih tidak ingin Kai mengetahui perasaan senangnya. Ia belum ingin terlihat luluh dan menerima laki-laki itu kembali setelah masa lalu yang menggores hati.
Biarlah ia jual mahal untuk beberapa saat ini, sebelum nanti memberi kejutan pada pria tersayangnya itu. Ya, sekecewa apa pun ia dulu nyatanya kebenciannya tidak dapat mengalahkan rasa cintanya. Laura akui dirinya kalah, tapi ia tidak akan membiarkan hatinya kembali tersakiti. Apalagi oleh orang yang sama.
“Ngapain duduk di lantai?” tanya Laura terkejut saat membuka pintu dan mendapati Kai duduk di sana.
“Nunggu kamu. Kenapa gak angkat telpon aku?” Kai bangkit dari duduknya lalu menarik perempuan tercintanya itu ke dalam pelukan.
“Lagi nyetir. Lagian kenapa nelpon coba, udah tahu gue mau ke sini juga,” delik Laura memutar bola matanya malas seraya menarik diri, melepas pelukan Kai. Lalu melangkah menuju dapur untuk mulai memasak. Hari sudah sore dan Laura tidak ingin pulang kemalaman.
“Ya tadi aku takutnya kamu gak jadi ke sini,” ucapnya mengikuti langkah Laura dan duduk di kursi meja makan, memperhatikan kekasihnya yang sedang mengeluarkan satu per satu barang belanjaannya. “Kamu nginep lagi kan?” Laura menghentikan pekerjaannya, menoleh ke arah Kai sekilas kemudian menggelengkan kepalanya.
“Kemarin Papi ngizinin gue nginep karena tahu lo sakit dan gak ada yang ngerawat, sekarang lo udah sembuh. Gak ada alasan untuk Papi kasih izin gue nginep lagi. Kita belum nikah Kai, gak bisa tinggal sama-sama.” Laura menjelaskan dengan lembut dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Makanya kalau aku ajak nikah itu mau. Aku juga udah pengen kali, La hidup bareng kamu. Aku pengen kayak gini terus sama kamu,” Kai bangkit dari duduknya lalu memeluk Laura dari belakang, menyerukan kepalanya di lipatan leher sang kekasih yang menegang di tempatnya. “Coba dulu kamu gak pergi ninggalin aku, mungkin sekarang anak kita udah dua.” Tambah Kai berbisik.
“Memangnya saat itu lo yakin bakal nikah sama gue?” Laura mengerutkan keningnya sedikit menoleh pada laki-laki yang masih memeluknya, mengabaikan degup jantungnya yang menggila. Ia mencoba rileks walau pada kenyataannya gugup setengah mati. Karena jujur saja, ini adalah kali pertama dirinya seintim ini dengan laki-laki. Meskipun dulu sempat pacaran dengan Kai, tapi hubungan mereka tidak berlebihan, hanya sekedar pegangan tangan saat jalan, atau Kai yang merangkulkan tangannya di pundak Laura. Sekarang saja pria itu berani mencuri-curi kecupan darinya.
“Kenapa harus gak yakin?”
“Ya karena untuk perasaan gue aja lo meragukan, apalagi menikah,” Laura mengedikkan bahunya singkat.
“Untuk kejadian dulu aku minta maaf, aku tahu aku terlalu bodoh dengan percaya ucapan Prisil saat itu. Aku gak sadar kalau saat itu dia hanya mengadu domba kita untuk menghancurkan kamu dan aku. Aku menyesal, La. Aku mohon maafin aku,” sesal Kai semakin mengeratkan pelukannya.
***
“Berangkatnya tanggal lima belas pagi, pulangnya tanggal enam belas malam, bagus!” sindir Rapa saat Laura menginjakkan kaki di rumah sang bunda.
“Kenapa lo, Bang, syirik? Kemarin waktu gue pergi sepuluh tahun lo gak rese, kenapa sekarang nyebelin?” delik Laura pada kakak iparnya itu.
“Bedalah, Dek, sekarang kan lo nginepnya di rumah cowok,” ucap Rapa seraya mengedipkan matanya menggoda. “Gimana enak gak?” tanyanya ambigu.
“Lo kira makanan, enak!” ujar Laura lalu melengos pergi menuju ruang tengah dimana orang tuanya bersantai. Sebenarnya Laura ingin langsung istirahat, tapi ia tidak mau membuat keluarganya khawatir, jadilah Laura mampir terlebih dulu untuk menemui ayah dan bundanya.
“Kamu udah pulang, La?” Pandu yang lebih dulu menyadari kedatangan Laura langsung bertanya. Laura tak lantas menjawab, memilih melanjutkan langkahnya lebih dulu hingga dirinya duduk di sofa yang sama dengan kedua paruh baya kesayangannya itu.
“Iya, Yah. Maaf kemarin malam Ela gak pulang,”
“Gak apa-apa, lagi pula Papi kamu yang izinin ‘kan?” Laura mengangguk.
“Sekarang gimana keadaan Kai?” Lyra yang kali ini bertanya.
“Udah baikan, Bun,” jawab Laura yang diangguki lega oleh Lyra.
“Kai gak macem-macemin kamu’kan?” Laura berdecak mendengar pertanyaan bundanya itu. Kenapa semua orang bertanya demikian? Tidak papinya, tidak bundanya, tidak pula abangnya. Apakah harus ada yang terjadi jika perempuan dan laki-laki berada di dalam ruangan yang sama berdua-duaan? Otak orang dewasa memang menyebalkan, terlebih yang sudah berpengalaman.
“Ela pulang ya, Bun, pengen istirahat,” kata Laura menghindari pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya. Ia tidak ingin otak polosnya semakin tercemari dengan berbagai hal yang tidak-tidak. Meskipun ia sadar usianya sudah dewasa.
“Ya sudah kamu istirahat aja. Udah makan?” Laura mengangguk sebagai jawaban lalu bangkit dan mencium ayah bundanya sebelum kemudian melenggang pergi. Jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam sekarang karena Laura tiba di rumah tepat pukul sembilan. Papinya sudah pulang, kakak dan keponakannya sudah tidur sedangkan iparnya malah nongkrong di depan rumah seorang diri.
Laura tersenyum begitu matanya menangkap sosok yang memang sering dirinya lihat begitu malam menjelang. Ide jahil muncul di otak cerdasnya saat masih mendapati abang iparnya duduk di teras depan sambil memainkan game di ponselnya, sepertinya laki-laki itu sengaja diluar karena tidak ingin di ganggu dan mengganggu siapapun saat memainkan salah satu game yang popular di semua kalangan itu.
“Bang,” panggil Laura ikut duduk di kursi yang berseberangan dengan Rapa yang masih fokus pada ponselnya, dan hanya deheman singkat yang menjadi jawaban pria itu. “Ela udah pernah cerita tentang pohon mangga itu belum?” tanyanya sambil menunjuk pohon mangga yang ada di sudut kiri pekarangan rumah Lyra.
Rapa yang mulai penasaran mengalihkan pandangannya dari ponsel dan mengikuti telunjuk Laura yang terarah pada pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Sore tadi dirinya baru selesai manjat dari sana untuk mengambilkan mangga yang matang atas suruhan sang bunda.
“Belum, kenapa memangnya?”
“Abang lihat baik-baik di dahan kedua, ada yang duduk di sana liatin ke sini dari tadi,” ucap Laura dengan nada tenangnya seolah apa yang tengah diceritakannya bukanlah hal yang menyeramkan.
Rapa menelan ludahnya yang terasa keras, melihat arah yang di maksud adik iparnya itu. “Lo gak lagi nakutin abang ‘kan, Dek?” tanya Rapa yang sudah mulai merinding.
“Ngapain juga Ela nakutin Abang. Ela cuma mau ngasih tahu aja, yang disana bilang kalau metik mangga yang sopan, dia hampir kesenggol abang tadi sore,” kata Laura menambah ketakutan Rapa.
Inginnya Rapa tidak mempercayai apa yang Laura katakan, tapi adik iparnya itu tidak ada di rumah saat ia memetik mangga sore tadi. Jadi bisa di pastikan bahwa apa yang adiknya ucapkan memang benar adanya. Terkadang Rapa merutuki keistimewaan Laura, karena di saat kejahilan Laura merajai maka cerita-cerita horror seperti inilah yang akan menjadi andalannya, iparnya itu terlalu tahu seberapa penakut dirinya.
“Bang, dia nyamperin!” seru Laura heboh membuat Rapa yang sudah ketakutan di tempatnya langsung bangkit dan berlari masuk ke dalam rumah sambil meneriakkan nama istrinya. Laura yang melihat itu tertawa kencang sampai Pandu dan Lyra keluar untuk mengetahui keributan apa yang terjadi di malam-malam seperti ini.
“Abang kamu kenapa, La?” heran Lyra melihat anak lelakinya berlari menaiki tangga.
“Gak apa-apa, Bun. Biasalah Bang Rapa ‘kan penakut,” ujar Laura di tengah tawanya yang masih berderai.
“Ck, pasti deh kamu cerita-cerita yang aneh lagi,” Pandu menggelengkan kepalanya. Sudah tidak lagi asing dengan hal ini.
“Ela bukan cerita aneh, cuma ngasih tahu Abang aja soal penunggu pohon mangga itu,” Laura membela diri sambil menunjuk pohon mangga milik sang bunda.
“Memangnya pohon itu ada penunggunya ya, La?” tanya Lyra sambil mengikuti arah pandang Laura.
“Bunda mau liat?” tawar Laura yang dengan cepat di jawab gelengan kepala oleh Lyra.
“Gak deh, Bunda gak niat kenalan. Biarin aja di sana asal jangan ganggu,” kata Lyra yang kini ikut merinding melihat pohon mangga kebanggaannya karena selalu berbuah lebat.
“Sudah-sudah, Ela pulang gih udah malam, kamu harus istirahat, besok kerja,” lerai Pandu, yang diangguki Laura.
“Ya udah deh, Yah, Bun, Ela pulang, ya. Selamat malam Ayah, Bunda, nice dream,” Laura kembali mencium pipi Pandu dan Lyra sebagai pamit, lalu melambaikan tangannya sambil melangkah menuju rumahnya yang ada di sebelah. Sengaja meninggalkan mobil di rumah Lyra karena besok pun ia pasti kembali ke sini untuk meminta sarapan.
Kaki Laura bergerak menuju kamar orang tuanya terlebih dulu, mengecek keadaan sang papi yang diam-diam selalu menangis seorang diri sambil memeluk foto mami Luna, atau bercerita mengenai pekerjaannya sehari-hari. Menceritakan tumbuh kembang anak-anaknya, cucu-cucunya dan menyebalkannya sang menantu.
Laura tidak pernah mengganggu, ia tidak pernah menghampiri pria tersayangnya itu, karena sebagai anak Laura paham bahwa itulah cara papinya menghibur diri, mengenang sang mami dan tetap bertahan pada kewarasannya. Ya, meski apa yang pria paruh baya itu lakukan jauh dari kata waras. Tidak ada orang normal yang bicara dan tertawa sendiri pada sebuah foto yang tidak bernyawa. Tapi Laura tahu bahwa sang papi tidak gila hingga saat ini.
Menekan tuas pintu di depannya dengan hati-hati, Laura mengintip sang papi yang ternyata sudah terlelap di atas tempat tidur dengan pigura berisi foto Luna setia dalam pelukannya. Laura melangkah pelan dan duduk di tepian ranjang, memperhatikan wajah tampan papinya yang sudah terdapat kerutan-kerutan halus tanda bahwa pria itu sudah tua. Tangan Laura terulur menyentuh kening sang papi, mengelus lipatan-lipatan lelah di sana sebelum kemudian menjatuhkan kecupan singkatnya di tempat yang sama.
“Night Pi, mimpi indah. Ela sayang Papi,” ucap Laura sebelum kemudian meninggalkan kamar orang tuanya, melangkah menuju kamarnya untuk membersihkan diri dan istirahat. Ia begitu lelah hari ini mengingat sejak kemarin tidak cukup istirahat. Terlalu khawatir dengan keadaan Kai yang demam.
Kamar mandi adalah tujuan utama Laura saat tiba di kamar untuk membersihkan diri dari keringat yang menempel setelah seharian beraktivitas, setelah itu barulah Laura membaringkan tubuhnya di ranjang, tapi sebelum memejamkan mata, Laura mengecek ponselnya terlebih dulu, membuka pesan yang Kai kirimkan dua jam yang lalu, menanyakan dirinya sampai atau belum, ucapan terima kasih karena sudah merawat pria itu dan sebuah pesan manis yang berisi ungkapan cinta laki-laki itu, juga pesan yang menyuruhnya untuk istirahat.
Diam-diam senyum Laura mengambang membaca semua pesan itu, lalu ia meletakan ponselnya di nakas tanpa membalas semua pesan Kai, karena Laura lebih senang membalas dengan kalimatnya yang langsung ia ucapkan meskipun Kai tidak dapat mendengarnya.
“Lo juga tidur nyenak, Kai. I love you too.” Itulah yang selalu Laura ucapkan sebelum kemudian menjemput mimpinya. Membalas kalimat Kai yang ada di aplikasi chat-nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Efi Susanti
yahhhh kenaoa tokoh luna d matikan sih thor
2021-06-17
1
࿇KangEs😏😜✿࿐ ❦︎⃝ ⃝ ᵍᵇᵗ
sumpah ngakak aQ Ella isengnya kebangetan
2021-05-26
2
N I A 🌺🌻🌹
mamy luna😭😭😭😭😭😭😭
2021-03-17
1