“Selamat pagi calon istri,” sapa Kaivan dengan senyum tampannya yang selalu sukses menjerat wanita manapun. Namun kali ini malah justru tidak mempan untuk Laura, karena perempuan itu malah justru mendengus, terlihat kesal dengan kedatangannya. Bukti bahwa Laura memang tidak pernah mengharapkan kehadirannya.
“Lo ngapain pagi-pagi datang ke sini? Kemarin bukannya udah gue bilang kalau hari ini gue gak kerja?” ketus Laura. Kaivan tidak sedikitpun menyurutkan senyumnya, laki-laki itu memilih menghampiri Laura dan berdiri tepat tiga langkah kecil di depannya.
“Aku tahu. Tapi berhubung hari ini juga aku libur jadi mau ngajak kamu jalan. Gimana, mau?” Laura mengerutkan keningnya dalam, menatap laki-laki di depannya dengan mata memicing curiga.
Laura tahu, Kaivan bohong tentang libur. Dia hanya bersikap seenaknya mentang-mentang dialah bosnya. Libur hanyalah alasan agar bisa bertemu Laura dan mengajak jalan dirinya, tapi jangan harap ia mau. Ck, jangan mimpi! Lagi pula ia libur bukan untuk menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna. Laura memiliki kepentingan yang pastinya tidak berhubungan dengan Kaivan.
“Gak bisa, gue sibuk,” jawabnya tanpa menghilangkan keketusannya. Setelahnya Laura melangkah melewati Kaivan begitu saja. Laura akan ke rumah sebelah untuk meminta sarapan seperti biasa.
Kaivan menatap kepergian Laura dengan sedih, penolakan-penolakan yang di berikan perempuan itu jujur saja membuat Kai rendah diri. Ia tidak yakin bisa meluluhkan perempuan itu, mendapatkan maafnya dan juga kesempatan untuk kembali bersama, memperbaiki semua yang sudah dirinya hancurkan dimasa lalu.
Menarik dan menghembuskan napasnya kembali dengan perlahan, Kai akhirnya mengejar langkah Laura yang sudah hampir tiba di gerbang hingga kini mereka berjalan bersisian. Laura sudah jelas melayangkan tatapan tak sukanya, tapi Kaivan memilih untuk mengabaikan itu. Ia ingat ucapan papanya tempo hari, bahwa dirinya harus sabar dan berjuang karena sekeras apa pun perempuan pada akhirnya mereka akan luluh juga jika diberi perhatian, pengertian dan kelembutan.
Saat SMA dulu Laura cukup sulit dirinya taklukkan, jadi sekali lagi menaklukkannya seharusnya tidak masalah. Semoga saja kali ini Kai berhasil lagi. Dan ia berjanji setelah ini tidak akan menyia-nyiakan Laura seperti dulu.
“Hebat banget lo, Dek, pagi-pagi udah di apelin aja,” entah itu ejekan atau ketakjuban, yang jelas Laura kesal mendengar kalimat kakak iparnya. Ia memilih mengabaikan Rapa dan masuk ke dalam rumah, tanpa mengajak Kaivan sama sekali. Masa bodo dia mau masuk atau tidak.
Namun ternyata Kai tetap mengekor dan itu membuat Laura lagi-lagi mendengus kecil. Untuk pagi ini belum dua jam dirinya membuka mata entah sudah berapa banyak dengusan yang dikeluarkannya, dan itu gara-gara seorang Kaivan. Hari yang seharusnya tenang malah jadi menyebalkan gara-gara laki-laki tidak tahu malu dan keras kepala itu.
“Yang sabar ngadepin cewek judes kayak Si Ela, Kai. Atau lebih baik lo cari cewek lain aja, deh, soalnya dia lebih peduli sama setan-setannya dari pada sama lo,” teriak Rapa berujar sebelum Kai dan Laura melangkah lebih masuk ke dalam rumah. Dan teriakan itu berhasil membuat Laura membalik badan, melayangkan tatapan super tajam pada kakak iparnya.
“Cari mati lo, Bang!” tawa Rapa pecah melihat kekesalan adik dari istrinya itu. Menggoda Laura memang begitu menyenangkan untuk Rapa, sama halnya dengan menggoda papi mertuanya. Anak sama papi memang sama-sama emosian. Rapa menggelengkan kepala pelan.
“Gue mau cari duit, Dek, bukan cari mati. Itu mah nanti Tuhan yang nentuin,” jawab Rapa masih berniat menggoda sang ipar. Kekesalan Laura dan sang papi mertua adalah semangatnya. Sayang hari ini pria tua itu tidak ada. Jadilah sejak sarapan tadi Rapa tidak mendapat asupan semangat yang cukup. Tapi tidak masalah, menggoda Laura sudah cukup membangkitkan semangatnya.
“Awas lo, Bang, gue minta penunggu kamar lo buat gangguin baru tahu rasa!” ancam Laura sengit, membuat Rapa panik seketika dan berjalan masuk kembali, menghampiri adik iparnya yang masih berada di lorong antara ruang tamu dan tengah rumah.
“Jangan gitu dong, Dek, lo gak seru banget sumpah! Masa ancamannya setan mulu, cukup ya seminggu kemarin gue gak nyenyak tidur. Jangan buat gue gila gara-gara setan-setan lo itu,” melas Rapa, wajahnya mulai pucat.
“Bodo, suruh siapa lo-nya nyebelin,” balas Laura acuh, lalu menyentak tangan Rapa yang bergelayut di lengannya hingga pegangan itu terlepas, setelahnya Laura melanjutkan langkah menuju dapur.
“Priela jangan berulah lo, ya, awas aja lo kalau sampai gue gak bisa tidur nanti malam. Gue nikahin lo besok paginya!” teriak Rapa memberi ancaman, tapi Laura tidak sama sekali menanggapi, bahkan perempuan itu sudah menghilang di tembok pembatas antara dapur dan ruang tengah.
“Yang sabar, ya, Bang. Setan gak gigit kok,” Kaivan menepuk pundak Rapa sebanyak dua kali, lalu menyusul Laura menuju dapur. Namun baru saja dua langkah Kaivan maju, Rapa lebih dulu menghentikannya.
“Lo tahu soal ….”
“Cuma isi hatinya yang gue gak tahu tentang Laura,” potong Kaivan dengan seulas senyum tipis, lalu kembali melanjutkan langkah, meninggalkan Rapa yang terbengong bodoh, bahkan pamit Kai tidak dihiraukannya.
“Selamat pagi Om, Tante,” sapa Kaivan begitu tiba di ruang makan.
“Sini-sini Kai duduk, sarapan bareng kita,” antusias Lyra menarik kursi yang ada di sebelahnya, membuat Pandu yang ada di samping berdeham keras, menyadarkan istrinya bahwa ia masih ada di sana.
“Ayah kenapa? Tulang ikannya nyangkut?” tanya polos Lyra pada sang suami.
“Cemburu yang nyangkut, Bun, bukan tulang ikan,” jawab Pandu dengan tatapan sinisnya. Laura yang menyaksikan itu hanya terkekeh pelan dan menggelengkan kepala. Ayahnya masih saja menjadi pria pecemburu dan posesif meski usianya tak lagi muda. Laki-laki manapun yang mendapat perhatian dari Lyra sudah pasti Pandu cemburui termasuk anaknya sendiri. Cih, dasar bucin tiada obat!
“Calon mantu loh ini, Yah, masa dicemburuin,” Lyra menggeleng seraya mengulas senyum dan menarik piring di depan Kai, mengisinya dengan nasi dan juga beberapa lauk sebelum kemudian menyimpan kembali di depan laki-laki itu. Padahal Kai belum mengatakan bahwa ia ingin sarapan. Tapi ya mau bagaimana lagi, Lyra terlalu senang dengan kehadiran laki-laki muda itu yang belum apa-apa sudah menjadi calon menantu idamannya.
“Terima kasih Tante,” ucap Kaivan dengan senyum ramah.
“Sama-sama. Makan yang banyak, ya, Kai. Jangan lupa nambah lagi,” kata Lyra begitu manis, membuat Pandu mendengus dan menarik istrinya itu keluar dari meja makan.
“La, ayah pergi kerja dulu, Bunda kamu Ayah bawa biar gak pecicilan,” Pandu mendelik ke arah istri cantiknya itu sekilas. “Hari ini kamu jadi ketemu Rendra ‘kan?” tanyanya kemudian.
“Jadi Yah, Ela udah buat janji jam sepuluh siang nanti,” jawab Laura. Pandu mengangguk paham sedangkan Kaivan hanya menyimak, ia belum berani bertanya meski penasaran karena takut di anggap tidak sopan oleh calon mertuanya itu terlebih Pandu adalah satu-satunya sosok yang terlihat kurang menyukainya. Terlihat setiap kali dirinya datang selalu tatapan datar dan mengintimidasi yang di berikan pria paruh baya itu, berbeda dengan Leo yang sedikit lebih bersahabat.
Namun meski begitu Pandu tetap ikut andil mendekatkannya dengan Laura. Bahkan seolah memberinya kesempatan untuk Kai membuktikan bahwa ia bisa menaklukan putrinya. Kaivan tahu, Pandu percaya padanya, tapi jika sekali saja Kaivan mengecewakannya, entah apa yang akan terjadi nanti. Semua itu jelas terlihat dari sorot matanya setiap kali bertemu tatap dengannya.
“Kalau begitu biar Kaivan yang antar kamu ke sana, Ayah menyusul nanti. Tapi mungkin sedikit terlambat.”
Laura menatap pria di depannya seraya mendengus malas, lalu setelahnya mengangguk pasrah. Menolak pun Laura sudah tahu bahwa Kai akan keras kepala, apalagi jika ayahnya sudah berkata seperti itu tepat di depannya.
“Kamu tidak sibuk hari ini bukan, Kai?” Pandu beralih menatap Kai. Gelengan menjadi jawaban yang laki-laki muda itu berikan. “Kalau begitu saya titip anak saya. Nanti antarkan dia ke restoran Kaira’s. Awas jangan macam-macam selama berdua!” Peringat Pandu di akhir kalimatnya, tatapannya tajam tertuju pada Kaivan. Setelahnya pria paruh baya itu melenggang pergi, menarik serta istri cantiknya sebelum Kai berhasil menjawab.
“La, kamu mau ketemuan sama siapa?” tanya Kaivan setelah melihat Laura menyelesaikan sarapannya.
“Bukan urusan lo!” ketusnya sambil bangkit dari kursi, berjalan menuju wastafel dengan membawa serta piring kotornya. Nasi yang tinggal sedikit di piringnya segera Kaivan habiskan, lalu berjalan menyusul sang calon tunangan, berdiri di sampingnya sambil memperhatikan Laura yang tengah mencuci piring sebelum kemudian menyerahkan piring bekasnya, dan membantu membilas piring yang baru saja perempuan itu sabuni.
“Rendra siapa?” kembali Kaivan melayangkan tanyanya. Ia tidak menyerah untuk kepo. Rendra? Itu seorang laki-laki, dan Kai tidak akan membiarkan calon tunangannya bertemu dengan pria lain. Kai tidak akan rela.
“Ck, nanya mulu kayak dora! Nanti juga lo tahu sendiri, Kai. Bukannya lo pasti ikut?” decak Laura kesal.
“Memangnya boleh kalau aku ikut?” pertanyaan bodoh yang dilontarkannya itu malah membuat Laura memutar bola mata jengah.
“Gue larang juga bukannya lo selalu gak peduli?” Kai menggaruk belakang kepalanya salah tingkah. Benar apa yang Laura katakan. Dilarang pun akan tetap dirinya ikuti kemanapun calon tunangannya itu pergi, terlebih menemui seorang laki-laki, ya, meski Kai mendengar sendiri bahwa Pandu akan pergi menyusul, tapi tetap saja Kai harus memastikannya ada urusan apa Laura bersama laki-laki bernama Rendra itu sampai mengambil cuti segala. Lagi pula Kaira’s adalah restorannya, alasan yang sangat kuat untuk Kaivan ada di sana.
“Kamu keberatan?”
“Kalau iya, apa lo mau berhenti mengekor dan kepo urusan gue?” dengan cepat Kaivan menggelengkan kepalanya. Itu tidak akan pernah terjadi. Sekeras apa pun Laura berusaha menjauhkan diri darinya, sekeras itu juga ia akan meyakinkan perempuan itu bahwa ia serius berubah menjadi lebih baik dan pantas mendapatkan kesempatan kedua.
***
Cukup lama Kaivan menunggu Laura selesai bersiap, namun itu tidak masalah selama Laura orangnya. Kai sudah berjanji akan sabar dan berusaha memperbaiki diri, jadi, meskipun ia benci menunggu demi seorang Laura Kai rela melakukan apa pun. Bahkan sepertinya Kai akan bersedia jika Laura memintanya terjun ke jurang. Terlalu bucin memang, tapi Kai tidak peduli. Toh, orang lain tidak akan tahu bagaimana menyesalnya Kai selama ini, bagaimana tersiksanya Kai di benci Laura begitu dalam selama sepuluh tahun ini. Hanya orang-orang yang jatuh cinta lah yang paham posisi Kai selama tiga minggu ini.
Langkah kaki terdengar dari arah tangga, membuat Kai segera menoleh, memperhatikan sosok cantik yang turun dari tangga dengan begitu anggunnya. Dress cantik sepanjang lutut berwarna biru laut, rambut panjang terurai yang bagian bawahnya di buat keriting, make up natural, dan juga heels tidak terlalu tinggi mempermanis kaki jenjangnya.
Ingin sekali Kai menyembunyikan perempuan itu untuk dirinya sendiri, andai Laura tidak segalak singa hamil atau ayam beranak yang doyan mematuk jika anaknya di ganggu. Kai pastikan tidak ada siapa pun yang melihat kecantikan makhluk Tuhan satu ini. Sayangnya Laura bukanlah sosok yang suka di atur dan dikekang apalagi oleh Kai.
“Cantik,” puji Kai begitu Laura tiba di undakan paling bawah, dan entah sejak kapan juga Kai tiba di sana. Terlalu larut dalam pesona bidadari yang turun dari tangga membuatnya tak sadar sudah melangkah menghampiri.
Laura menghentikan langkahnya mendengar pujian itu, namun bukan untuk tersanjung melainkan untuk melayangkan delikannya.
“Lo tahu sendiri bahwa gombalan kayak gitu gak pernah mempan sama gue sejak dulu,” ujar Laura lalu kembali melanjutkan langkahnya, melewati Kai begitu saja. Kai terpaku untuk beberapa saat, sebelum kemudian berbalik dan langsung berlari mengejar Laura yang hampir melewati ruang tamu.
“Emang ya dari dulu buat naklukin kamu itu sulit, terlebih sekarang,” Kai mendesah berat begitu langkahnya sudah sejajar dengan Laura.
“Lo udah tahu, kenapa gak nyerah?” ucapnya tanpa menoleh sedikitpun.
“Aku hidup bukan untuk menjadi lemah—”
“Ya, karena lo hidup untuk menjadi playboy brengsek!” sela Laura tajam. Wajahnya merah dan tatapannya penuh kebencian, membuat Kaivan terkejut dan langsung membatu untuk beberapa saat, mencerna sorot mata Laura saat ini.
Entah berapa lama mereka saling terdiam dengan saling berpandangan, yang jelas kini Kai tahu seberapa bencinya Laura terhadapnya. Pelan Kai menghembuskan napasnya, tatapan terkejutnya sudah berubah lembut namun tidak dengan Laura, kabut emosi itu masih ada, terlalu tebal untuk Kai singkirkan dalam waktu singkat.
“Masuk mobil yuk, kamu udah punya janji sama orang ‘kan?” Kai membuka pintu mobil untuk Laura, dan tanpa kata perempuan itu masuk di susul oleh Kai secepat mungkin setelah menutup pintu mobilnya kembali.
“Pakai dulu sabuk pengamannya, La,” perintah Kai saat diliriknya Laura belum terlindungi seat belt. Lagi, tanpa kata-kata Laura menuruti meski tatapannya tetap lurus ke depan.
Seulas senyum tersungging di bibir Kai, lalu setelahnya laki-laki itu melajukan mobil meninggalkan pekarangan rumah milik Leo. Meskipun hanya sunyi yang menemani perjalanan, tidak menyurutkan bahagia di hati Kai karena bisa kembali duduk bersisian dengan perempuan tersayang, tidak peduli perempuan itu bagai patung yang hanya bisa diam. Sedangkan Laura yang sejak tadi bungkam sedang bergulat dengan pikiran dan perasaannya. Bertatapan cukup lama dengan Kai beberapa menit lalu membuat degupan tidak menyenangkan di dadanya terasa menyiksa. Entah karena alasan apa, yang jelas ada sedih dan juga sesak yang mewarnai hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Zahfira Khairani
ya tegas kan ja ke org tua² klu nolak perjodohan..gt ja ribet...
2023-06-02
1
guest1052981754
c ccx
2021-07-19
0
Ayu Arthamobilindo
ta Laura bucin lg
2021-05-22
1