“Udah waktunya jam makan siang, Dok, mau pergi keluar atau saya beliin?” tanya Nandini, asisten Laura.
“Gak usah, nanti ada yang antar makanan, kok,” jawab Laura tersenyum tipis pada perempuan cantik yang usianya lebih muda dua tahun darinya. Dini mengangguk paham, teringat akan sosok yang belakangan ini sering datang ke rumah sakit hanya untuk mengajak Laura makan siang.
“Pacarnya, ya, Dok,” Dini mengedipkan matanya menggoda. “Ganteng,” tambahnya dengan senyum-senyum. Laura memutar bola matanya.
“Kamu naksir? Ambil aja. Saya gak suka,” ujar Laura dengan ringannya, membuat Dini membulatkan mata dengan mulut terbuka cukup lebar.
“Dokter serius? Gak naksir sama cowok ganteng itu?” tanyanya tak percaya. Laura hanya menjawab lewat anggukan malas. Tatapannya kembali fokus pada map di depannya, membaca rekam medis pasien.
Dini geleng-gelang kepala tak habis pikir. Cowok seganteng, sekeren dan se-hot Kaivan tidak disukainya, dokter-dokter tampan di rumah sakit di tolak, keluarga pasien yang naksir di abaikan, lalu jenis laki seperti apa yang dokter cantik itu sukai?
“Dok—”
“Apa?” delik Laura langsung memotong kalimat hati-hati penuh ragu Dini. “Gak usah mikir macam-macam! Saya tidak seperti yang ada dalam pikiran aneh kamu. Tidak menyukai laki-laki seperti dia bukan berarti saya gak normal,” lanjut Laura tajam, membuat Dini menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya tersenyum salah tingkah. Merasa tidak enak hati karena sudah berpikir yang macam-macam.
“Ya udah deh, kalau gitu saya makan siang duluan, ya, Dok. Permisi,” pamit Dini cepat-cepat keluar.
Laura tidak memberi tanggapan, dan memilih kembali fokus pada map di hadapannya hingga suara knop pintu yang terbuka mengalihkannya. Hanya sesaat, setelahnya Laura mengabaikan seseorang yang masuk tanpa permisi itu.
“Udahan dulu kerjanya, sekarang makan. Ini sengaja aku bawa dari restoran-ku, dan aku sendiri yang masak,” kata Kaivan berharap Laura akan terkesan. Namun sayangnya yang kini dirinya hadapi bukanlah Laura yang dulu, melainkan Laura si jutek yang keras kepala dan dingin tak tersentuh bahkan sekalipun mereka pernah bahagia, berbagi kisah bersama di masa lalu.
Kaivan mengikuti langkah Laura menuju sofa yang tersedia di ruangan lain yang hanya terhalang oleh tembok dan rak buku tinggi. Perempuan itu belum membuka suara hingga saat ini, bahkan sepertinya tidak berniat sama sekali menatap Kaivan. Hanya bisa menghela napasnya Kai menghadapi perempuan cantik itu. Sedikit berjuang dan bersabar memang sepertinya ia perlukan demi meluluhkan hati Laura.
Dulu Laura memang pendiam dan tidak banyak bicara apalagi basa-basi. Tapi setidaknya tidak sediam dan sedingin sekarang ini. Dua minggu waktu yang sudah mereka habiskan sejak makan malam itu, tapi Laura tidak banyak bicara selain penolakan-penolakannya setiap kali Kai datang menjemput atau mengajaknya makan.
Sebenarnya Kai kesal, ia bukanlah laki-laki penyabar mengenai apa pun. Ia selalu tidak bisa mengendalikan emosinya, namun demi seorang Laura Priela Arsyatami, Kai harus benar-benar menahan keinginannya untuk memaki. Ia tidak ingin membuat perempuan itu semakin membencinya dan berakhir semakin melangkah menjauhinya.
Waktu sepuluh tahun lalu sudah membuatnya menyesal karena pengendalian dirinya yang jelek, salah satu alasan juga yang membuat Laura pada akhirnya memutuskannya. Ya, selain karena kebodohannya mengkhianati Laura, Kai juga kerap kali bersikap seenaknya dan tidak jarang melayangkan ucapan-ucapan kasar pada Laura yang dulu menjadi kekasihnya. Kaivan memang seburuk itu dulu.
Namun bukan berarti ia tidak berusaha untuk berubah, selama ini Kai berusaha untuk memperbaiki dirinya dan meninggalkan sikap buruknya itu, meskipun belum sepenuhnya berhasil. Tapi setidaknya Kai sudah lebih baik di bandingkan dulu. Beruntung wanita yang sekarang menjadi mama-nya bisa membantunya sedikit demi sedikit.
“Enak gak?” tanya Kai saat dengan santainya Laura memakan makanannya yang sudah Kai siapkan spesial untuk calon tunangannya itu.
“Lumayan,” jawabnya dengan raut wajah datar, membuat Kai mendesah pasrah dan sedikit kecewa. Tapi sebisa mungkin untuk tetap sabar dan memahami perempuan di depannya yang sudah banyak berubah dari terakhir kali mereka bertemu saat acara perpisahan sekolahnya dulu tanpa kenangan berarti.
“Mama minta kamu main ke rumah, kangen katanya sama calon mantu,” kembali Kai membuka suara setelah sekian menit hening. Masih berusaha untuk meluluhkan perempuan itu.
“Gue sibuk.” Penolakan terang-terangan Laura layangkan di depan wajah Kaivan.
“Iya, nanti kalau udah gak sibuk. Mama siap, kok, nunggu kamu kapan aja datang main ke rumah. Sama kayak aku yang siap nunggu kamu bilang iya, untuk menikah denganku.”
Laura memutar bola matanya. “Bahkan hanya dalam mimpi aja lo jangan berharap,” jawab sinis Laura.
Sedikit banyak ucapan itu melukai hati Kaivan. Namun sebisa mungkin Kai menahannya untuk tidak emosi. Ini baru dua minggu. Wajar kalau Laura masih belum bisa menerimanya. Tapi Kai akan pastikan bahwa suatu saat nanti perempuan itu akan menjadi miliknya tanpa ada lagi penolakan apalagi kata-kata menyakitkan seperti barusan.
Kaivan hanya mengulas senyumnya tipis, lalu kembali melanjutkan makannya dalam diam. Tidak lagi berusaha untuk menciptakan suasana yang lebih santai dan hangat seperti niatnya sejak masih dalam perjalanan tadi. Kai tidak ingin terpancing emosi dan berakhir bersikap kasar atau melakukan hal-hal yang di luar nalar. Ia akan membuktikan pada Laura bahwa dia patut di beri kesempatan setelah apa yang dulu pernah dirinya lakukan.
Laura sendiri mengerutkan keningnya heran melihat keterdiaman dan kepasrahan laki-laki di depannya. Dulu seorang Kaivan adalah makhluk yang akan mengamuk jika ada yang mengejek atau berkata sinis padanya. Dan Kai tidak akan segan-segan memukul orang itu. Meski Laura tahu bahwa Kai tidak memukul perempuan, tapi selama berpacaran dengan laki-laki itu Laura tahu bagaimana tidak terkendalinya seorang Kaivan Putra Wirasman. Lalu kenapa sekarang laki-laki itu hanya diam saja. Padahal Laura menunggu kemarahan cowok itu, Laura menunggu makiannya dengan kata-kata kasar yang dulu pernah dirinya dengar bahkan pernah dirinya dapatkan hanya gara-gara kecemburuan pria itu.
“Terima kasih makanannya,” ucap Laura terdengar tulus, mengalihkan Kaivan yang masih belum menghabiskan makanan bagiannya. Seulas senyum terukir di bibirnya.
“Lain kali aku masakin lagi buat kamu,” kata Kai dengan wajah berbinar.
“Gak perlu, gue gak mau ngerepotin—”
“Aku gak merasa direpotin kok, La, aku justru senang bisa masakin buat kamu,” potong Kaivan cepat. Senyumnya bertambah lebar sebelum di detik selanjutnya Laura mematahkan semua itu.
“Dan gue gak mau buat lo terlalu berharap. Sampai kapanpun gue gak akan mau menerima lo lagi, apalagi sampai benar-benar nikah sama lo. Gue pastikan bahwa perjodohan ini tidak akan pernah ada.”
***
Sekembalinya dari rumah sakit tempat Laura bekerja, Kaivan kembali ke restorannya dengan langkah lesu dan wajah kecut. Membuat beberapa karyawan menatap heran bosnya itu, namun tidak ada satu pun yang berani menegur karena mereka sudah tahu bagaimana kemarahan seorang Kaivan jika sedang berada dalam mood yang berantakan.
“Kamu kenapa Kai, kok, gak semangat gitu?” heran Indah yang memang sejak tadi berada di restoran milik Kai, lunch bersama sang suami.
“Gagal makan siang bareng Laura?” tebak Angga, sang papa. Kaivan menggeleng, lalu mendudukkan diri di samping sang mama, menjatuhkan kepalanya di pundak perempuan paruh baya itu yang membuat Angga mendengus kesal karena anaknya sudah berada dalam mode manja.
“Ma, apa Kai gak pantas memiliki kesempatan kedua?” Indah dan Angga saling menoleh, menatap satu sama lain dengan kerutan di dahi masing-masing, tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja putranya bertanya seperti itu.
“Semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua, Kai. Tapi tidak semua orang mau memberikannya. Sekarang coba Kai cerita sama Mama kenapa lesu gini? Tadi perasaan semangat banget masakin buat Laura?” usapan lembut Indah berikan di kepala sang putra.
Meski Kai bukanlah anak kandungnya, tapi Indah menyayanginya tulus. Apalagi dirinya tidak memiliki anak dari pernikahan pertamanya dan tidak juga dengan pernikahan keduanya bersama Angga tujuh tahun lalu. Jadilah kasih sayang dan perhatiannya ia curahkan sepenuhnya pada Kai, anak tirinya.
“Laura gak mau balikan sama Kai, dia gak mau nikah sama Kai,” senyum pedih tersungging di bibir Kaivan. Sedangkan kedua orang tuanya masih belum paham ke mana cerita anaknya itu akan mengalir.
“Sebenarnya Kai sama Laura pernah pacaran waktu SMA,”
Indah dan Angga terkejut mendengar pengakuan itu. Selama ini Kai tidak pernah bercerita mengenai asmaranya, meskipun Angga tahu bahwa putranya itu adalah seorang playboy, tapi Angga tidak menyangka bahwa Laura, anak dari kakak kelasnya dulu pernah menjalin kasih dengan putranya. Laura terlalu lembut untuk seorang Kaivan dimasa lalu.
“Kamu … gak becanda ‘kan Kai?” gelengan menjadi jawaban yang Kaivan berikan. Membuat Angga menghela napasnya pelan dan memijat keningnya yang berdenyut.
“Satu tahun Kai pacaran sama Laura, dan dia mutusin Kai ketika kami masuk semester dua kelas 12.” Cerita Kai sedikit demi sedikit karena ia terlalu sesak jika mengingat masa itu.
“Kenapa bisa putus?”
“Papa sama Mama tahu sendiri Kai seperti apa di masa lalu,” Kai tersenyum tipis. Senyum yang sarat akan sebuah penyesalan. “Lebih parahnya lagi saat itu Kai selingkuh sama sahabat dekat Laura. Sejak saat itu kami tidak bernah bertegur sapa lagi. Kai menyesal dan berniat meminta maaf, tapi terlambat, Laura terlalu benci Kai saat itu, berpapasan aja dia begitu enggan. Sepuluh tahun, Kai dihantui rasa bersalah, dan ketika di pertemukan kembali, Laura sudah berubah. Dia yang dulu lembut dan begitu hangat sekarang berubah dingin tak tersentuh. Kai menyesal sudah mengecewakan Laura. Sekarang apa yang harus Kai lakukan?” Kaivan menatap kedua orang tuanya bergantian. Raut wajahnya yang frustrasi membuat Indah semakin memeluk putranya itu erat.
“Kamu cinta dia?” Indah menangkup wajah putranya, bertanya dengan sungguh-sungguh. Dan Kai menjawab dengan anggukan tegas dan yakin.
“Sejak awal Kai emang cinta sama Laura, maka dari itu cuma dia pacar Kai yang bertahan hingga satu tahun. Sayangnya saat itu Kai tidak bisa menahan emosi, Kai terlalu marah melihat Laura sama laki-laki lain. Belum lagi sahabat Laura yang terus ngomporin Kai tentang kedekatan mereka,” Kai tersenyum kecut, ia merasa bodoh saat itu. Percaya pada titisan medusa yang memang berniat menghancurkan hubungannya dengan sahabatnya sendiri. Lebih bodohnya Kai mau-mau saja terperangkap pada godaannya dan berakhir menyakiti perempuan yang dicintainya.
“Papa gak percaya kalau kamu bisa sebodoh itu Kai?” Angga menggeleng-geleng kepalanya. “Kalau sampai Leo tahu anaknya pernah kamu sakiti, Papa yakin mereka gak akan mau lagi meneruskan perjodohan ini.”
“Jangan bicara kayak gitu, Mas. Udah tahu anaknya lagi down dan kehilangan kepercayaan diri malah di komporin kayak gitu!” kesal Indah menatap tajam suaminya.
“Ya gimana lagi, Kai emang salah. Wajar kalau selama ini Laura terus menolak perjodohan ini,” Angga menghela napasnya berat, ikut menyesal karena sikap Kaivan dulu juga karena ulahnya. Andai masa lalu bisa di ulang.
“Sekarang papa tanya serius sama kamu, kamu benar-benar cinta sama Laura atau hanya ingin menebus rasa bersalahmu dulu? Jika memang serius, terus berusaha. Yakinkan Laura bahwa kamu sudah berubah, kamu tulus dan tidak akan mengulang kisah lalu lagi. menaklukkan perempuan yang sudah terlanjur kecewa memang sulit. Tapi percayalah, kalau Laura masih memiliki sedikit rasa untukmu, semua tidak akan ada yang mustahil.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Rini Astuti
kayak kisahnya lyra pandu ... 🤭 orang ke 3 nya sahabat sendiri 🤦♀️
2022-04-28
2
Ilan Irliana
inti namah lamun jodoh pst brstu...kitu welh...hihi
2021-10-03
1
Siti Komariah
yaelah..cinta masa SMA mah masih tergolong cibta2 an kalii..aku sih gka prnh baper ama mantan ku wwkkw
2021-08-29
1