“Papi ngapain ke rumah sakit memangnya? Papi sakit?” tanya Laura saat sang papi yang berada di seberang telepon sana menanyakan keberadaannya.
“Enggak, Papi tadi abis ketemu Amel sama Dimas. Niatnya mau ngunjungin kamu ngajak makan bareng. Eh kamunya malah gak ada di ruangan. Papi lapar tau, Aunty sama Uncle kamu tega banget, mereka cuma suguhin Papi minum doang,” adunya yang di akhiri dengan dengusan. Laura hanya menggelengkan kepala. Semakin tua papi-nya itu semakin banyak drama.
“Ohh, Ela kira,” Laura menghela napasnya lega. “Iya, tadi sebelum jam makan siang Ela langsung izin pulang. Kai demam,” ucapnya jujur.
“Ck, kayak bocah aja sakitnya demam,” cibir Leo dari seberang sana. Laura terkekeh mendengarnya lalu melirik pada laki-laki yang tertidur nyenyak sambil memeluknya itu, tangannya terulur memainkan rambut lebat Kai.
“Papi masih di rumah sakit?” tanya Laura mengalihkan.
“Iya, tapi udah mau pulang sekarang. Kamu mau nginep di apartemen bocah itu?” jawab Leo, yang kemudian balik bertanya.
“Emangnya Papi izinin?”
“Sebenarnya sih enggak, kalian kan belum nikah. Tapi kalau emang bocah itu lagi sakit, kasian juga kalau di tinggal. Si Angga kemarin siang ke luar kota bawa istrinya juga,” helaan napas dapat Laura dengar dari seberang sana. “Manja emang tuh orang, udah aki-aki aja masih harus di temenin kalau pergi,” kali ini decakan yang keluar dari mulut Leo.
“Bilang aja kalau Papi iri karena ke mana-mana sendiri,” sindir Laura becanda.
“Papi mana mungkin iri, lagi pula Papi gak sendiri. Mami selalu ikut Papi kemanapun,” Laura menunduk sedih saat mendengar kalimat itu padahal Leo mengucapkan dengan nada riang. Seolah itu hal yang biasa dan Luna benar-benar berada di samping pria itu, mengikutinya kemanapun dia pergi.
“Iya, Mami gak pernah pergi. Mami selalu ada di hati kita, jadi kemanapun kita pergi Mami selalu mengikuti,” Laura meyakinkan itu, bukan untuk papinya tapi untuk dirinya sendiri. Selagi di hati masih tertanam sosok bidadarinya, maka kemanapun kakinya melangkah pergi keberadaan sang mami akan tetap terasa.
“Kalau begitu Papi tutup telponnya ya, Dek. Kamu baik-baik jaga Kai. Awas jangan macam-macam dulu sebelum halal!” peringat Leo terdengar tajam, membuat Laura memutar bola matanya. Siapa juga yang niat macam-macam. Batin Laura.
“Papi hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut nyetirnya. Jangan lupa makan, tidurnya jangan terlalu malam. Besok pagi, Papi mau kan bawain baju Ela?”
“Tanpa kamu minta pun Papi udah berniat bawain kamu baju ganti besok, sekalian Papi jenguk calon mantu,” ucap Leo dengan nada menggoda, membuat semburat merah muncul di pipi Laura. “Udah ah, Papi matiin, ya, bye sayang. I love you.”
“Love you too,” balas Laura kemudian menjauhkan ponsel dari telinganya saat sambungan di putus dari seberang sana.
“Telponan sama siapa?”
“Astaga!” kaget Laura hampir membuat ponselnya jatuh. “Apa-apaan sih lo, Kai. Ngagetin tahu gak!” deliknya kesal.
“Ngagetin gimana coba, aku cuma tanya loh, Yank, kamu telponan sama siapa, mesra gitu sampai bilang love you too segala. Sama aku aja kamu gak pernah bilang kayak gitu,” ucapnya cemberut.
“Cemburu,” ledek Laura memutar bola matanya. “Kenapa udah bangun lagi?” tanyanya mengalihkan.
“Aku takut kamu diam-diam pergi, makanya tidurnya gak nyenyak. Ditambah lagi kalimat cinta terakhir itu bikin aku langsung bangun. Kuping aku panas,” Kai menunjuk telinganya yang memang memerah akibat dari demamnya. “Mungkin kalau kata itu ditunjukinnya ke aku, tidur aku bakalan makin nyenyak,” cengirnya kemudian.
“Iya, gak usah bangun lagi sekalian,” ujar Laura pedas.
“Tega benget sih Yank sama calon suami sendiri,” ucapnya dengan wajah cemberut yang begitu menggemaskan. Namun Laura tidak akan pernah mau mengakuinya apalagi di depan Kai.
Mengabaikan ucapannya, Laura meletakkan tangannya di kening Kai, mengecek suhu tubuh pria itu yang sedikit turun dari pertama kali Laura mengeceknya beberapa jam lalu. ia menghela napas lega.
“Masih pusing gak?” anggukan lemah menjadi jawaban yang Kai berikan. “Kalau gitu tidur lagi, biar pusingnya berkurang,” titahnya. Dan kali ini tanpa malu Laura memainkan rambut Kai, mengelusnya lembut berharap dengan itu Kai bisa tertidur dengan cepat.
“Tapi aku udah gak ngantuk,” ucapnya manja.
“Paksain. Lo gak mau cepat sembuh memangnya?”
“Ya mau, tapi—”
“Gue gak akan pergi Kai, Papi udah kasih izin gue nginep buat rawat lo malam ini. Tapi please nurut, jangan buat keberadaan gue disini ngerawat lo sia-sia. Gue gak pernah minta lo apa-apa ‘kan selama ini?” Kai mengangguk pelan. “Jadi boleh kali ini gue minta lo buat nurut, jadi pasien gue yang patuh. Lo sakit gue sedih Kai. Meskipun lo pernah ngecewain, gue tetap peduli. Sejudes-judesnya gue sebulan belakangan ini, gue yakin lo tahu perasaan gue yang sesungguhnya. Sekarang tidur, ya,”
Kai mengangguk lagi. Tidak ada kata yang mampu dirinya ucapkan setelah mendengar kalimat Laura barusan. Kai terharu karena ternyata selama ini, di balik ketidakramahannya, Laura masih menyimpan peduli dan sedikit perasaan yang selama ini Kai kira sudah hilang.
Tanpa mengucapkan apa-apa Kai kemudian memejamkan matanya, melingkarkan tangan di pinggang Laura lagi, lalu menyerukan wajahnya di perut sang kekasih. Sedangkan tangan Laura bergerak memainkan rambut Kai kembali dengan seulas senyum di bibir. Tidak butuh waktu lama untuk pria itu jatuh tertidur, terlihat dari napasnya yang mulai teratur. Laura yang mengantuk pun memilih ikut memejamkan mata, tertidur dengan posisi duduk dengan Kai yang menggunakan pahanya sebagai bantalan.
****
Perlahan Kai mengerjap, menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu, lalu menoleh ke sampingnya dan terkejut saat dirinya tidak mendapati sang kekasih di sana. Panik, Kai langsung bangkit dari tidurnya mengabaikan rasa pusing yang masih berdenyut di kepala, mencari Laura ke seluruh ruangan yang ada di apartemennya, namun sosok itu tidak juga dirinya temukan. Hanya makanan yang masih mengepul hangat yang tersaji di dapur. Membuktikan bahwa sebelum pergi Laura sempat memasak terlebih dulu.
Dengan lesu, Kai kembali melangkah lalu menjatuhkan diri di sofa ruang tengah. Perasaannya tak menentu saat ini, ia kecewa karena ternyata apa yang sore tadi di ucapkan kekasihnya itu hanyalah sebuah kebohongan, hanya bujukan agar dirinya mau tidur. Kai tersenyum getir, merutuki dirinya yang bodoh karena dengan mudahnya luluh dengan kalimat manis Laura.
“Lo ngapain di sini?” mendengar suara itu Kai langsung menoleh ke belakang, dan bangkit dari duduknya, melangkah cepat ke arah Laura berdiri kemudian memeluknya.
“Aku kira kamu pulang,” lirihnya seraya menyerukan kepala di lipatan leher Laura yang terkejut dengan pelukan tiba-tiba kekasihnya.
“Lo kenapa sih, Kai?” heran Laura sambil berusaha melepaskan pelukan Kai. Namun selemah apa pun pria itu saat ini, tetap saja Laura tidak bisa menyingkirkan Kai dari tubuhnya.
“Kamu dari mana?” bukannya menjawab, Kai malah justru balik bertanya tanpa meregangkan pelukannya sama sekali.
“Abis mandi,” jawab Laura seadanya, ia masih keheranan dengan sikap Kai yang terlihat ketakutan. “Lo kenapa? Kok, bisa duduk disini?” tanya Laura lagi dengan suara lembut.
“Nyari kamu,” singkatnya menjawab sambil menambah erat memeluk kekasihnya itu. “Waktu bangun aku terkejut karena kamu gak ada. Aku kira kamu pulang,” ungkapnya jujur. “Hampir aja aku kecewa ….” Kai menghela napasnya lega, lalu satu kecupan diberikannya di puncak kepala Laura.
Beberapa menit lalu Kai benar-benar diserang rasa takut yang membuat jantungnya berdebar tidak seperti biasanya. Kepanikan akan kehilangan Laura nyata Kai rasakan sampai tidak sadar bahwa masih ada satu tempat yang tidak dirinya cek. Katakanlah ia terlalu berlebihan tapi memang begitulah perasaan Kai saat tidak menemukan sang terkasih di sampingnya. Dulu Kai pernah mengecewakan Laura hingga perempuan itu memutuskan untuk pergi dengan membencinya. Dan kali ini Kai tidak ingin kembali di tinggalkan Laura. Ya, memang secinta itu Kai terhadap sang kekasih.
“Gue bukan orang yang suka ingkar janji,” ucapnya ringan seraya memutar bola matanya malas. “Makan yuk, gue lapar,” lanjut Laura kembali berusaha melepaskan diri. Beruntung kali ini laki-laki itu sudah mengendurkan pelukannya, jadi dengan mudah Laura meloloskan tubuhnya, lalu melangkah ke dapur dengan Kai yang mengekor bagai anak ayam.
Acara makan malam yang biasanya Laura lakukan dengan banyak orang kini hanya berdua saja dengan seorang laki-laki yang bukan keluarganya. Jujur ini terasa aneh, mendebarkan, tapi juga menyenangkan. Dan tidak dapat di pungkiri bahwa hatinya merasa hangat. Bayangan Laura sudah jauh menuju rumah tangga yang suatu saat nanti akan dirinya jalani. Harapannya ia bisa menjalankan itu dengan pria di hadapannya. Semoga saja mereka memang berjodoh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
udh donk laura jangan judes² sma kai
2022-09-12
0
Tsariyyah Rein
disini aku bingung😇 maminya laura luna apa lyra?
2021-06-26
2
Ervan Imam
klo ngebahas luna, aku merinding thor dan sedih merasa kasian sma leo, padahal ini hanya novel tapi bagi ku ini kaya kisah nyata 😭😭😭😭😭😭😭😭
2021-05-23
2