Sesat, Sesat!

Akhirnya kami pergi menuju lokasi yang ditentukan pada peta yang diberikan Himara. Cukup jauh dari kota jika berjalan kaki. Artex juga melarangku untuk membuat kendaraan karena tidak ingin membuat orang lain curiga.

Rute yang kami lalui sangatlah terbuka. Kami berjalan di jalanan umum yang terdaftar di peta. Di jalan kami bertemu dengan seseorang, pria paruh baya yang jalannya bongkok. "Halo, anak muda. Kalian ingin pergi ke mana?"

"Selamat siang, Pak. Kami ingin pergi ke hutan terbengkalai dekat Desa Lapang." Jawabku

"Untuk apa kalian ke sana?"

"Kami berniat untuk menemui organisasi penyihir yang berada di sana. Kami sedang melakukan investigasi terhadap mereka."

"Oh, ya? Hati-hatilah kalau kau sudah sampai di sana."

"Memangnya kenapa?"

"Di desa sudah muncul beberapa rumor mengenai hutan di dekat desa. Kabarnya beberapa wanita, gadis, bakan sampai anak perempuan sering menghilang saat dalam perjalanan pergi dari desa ataupun pulang ke desa."

"Eh? Memangnya ada apa di sana?"

"Setiap kali melewati hutan itu, aku selalu merasakan hawa yang buruk. Baik siang maupun malam, selalu saja terpikirkan tentang bahaya di dekatku setiap kali melewatinya."

"Apakah ada yang aneh dengan itu?"

"Dahulu kala ada sebuah perkumpulan para penyihir. Mereka selalu membantu kami setiap kami terlihat kesulitan. Yah, meskipun hanya saat dekat hutan. Tujuan mereka sangat baik, yaitu untuk melindungi hutan dan membasmi para penjahat yang berniat buruk terhadap hutannya. Namun semua tujuan mereka sirna tanpa sebab. Dua hari yang lalu ada salah satu dari mereka yang lari terbirit-birit keluar hutan. Dia berlari meminta pertolongan kepada kami, tetapi kami hanya sebatas insan yang bergantung pada lingkungan. Kami tidak bisa berbuat apa-apa padanya."

"Anda bilang seorang penyihir berlari terbirit-birit. "Apakah saat itu dia ditangkap oleh orang yang memakai baju zirah?" Ujar Artex.

"Ya. Tapi sepertinya dia bukan ditangkap, tetapi dia yang meminta pertolongan kepada orang-orang berbaju besi."

"Berarti dialah yang sebelumnya diceritakan Himara pada kita." Tegas Artex. "Kalau boleh tahu, di mana hutan itu berada?"

"Kau ingin pergi ke sana? Jangan coba-coba untuk membahayakan dirimu setelah terjadi kejadian yang berbahaya bagi warga desa!" nampaknya si Bapa mencemaskan kami.

"Jangan khawatir, Pak. Kami ke sana hanya ingin menginvestigasi saja. Tidak ada keperluan selain itu." Aku berusaha berdalih untuk meyakinkannya.

"Oh, menginvestigasi ya? Baiklah kalau begitu. Tapi jika kalian menemukan sesuatu yang berbahaya, tolong jangan terlalu berurusan dengan mereka. Sudah dua hari ini kami tidak bertemu dengan penyihir lainnya. Kami begitu khawatir dengan keadaan mereka."

"Siap!"

"Kalian tinggal berjalan saja di jalan utama Desa Lapang. Setelah keluar dari desa, tinggal lurus saja dan kalian akan melihat tanda bertuliskan Peace Forest."

"Terimakasih atas bantuannya." Ucap Artex.

Kemudian kami masuk ke desa untuk pergi ke Peace Forest itu. Saat memasuki desa, semuanya tidak menghiraukan kedatangan kami. Mungkin lumrah bagi pendatang asing mengunjungi desa mereka. Meskipun banyak yang berjalan kesana kemari, tidak ada satupun yang menyapa.

...~Π~...

Akhirnya kami sampai di Peace Forest. Setelah di dekat hutannya, aku merasakan perasaan tidak enak. Namun Artex berbeda, dia hanya memandang ke depan tanpa keraguan. Aku yakin dia sudah sering mengalami hal seperti ini.

Kami pun bergerak masuk ke dalam hutan. Menelusuri seluk beluk bagian dalam hutannya. Hanya pohon, bebatuan, dan sungai yang kami temukan. Beberapa ratus meter setelahnya, kami menemukan sebuah gua yang mencurigakan. Tampilan luarnya terpampang ukiran simbol berbentuk lingkaran yang dipahat sedemikian rupa. Aku bertaruh itu pasti lambang dari organisasi mereka.

Di dalam gua terdapat tangga berbentuk L yang memberi akses untuk naik ataupun turun. Kami pun turun untuk menggeledah tempatnya. Namun setelah menapakkan kaki di dasar gua, terdengar suara hentakan kaki dari atas. Mereka pasti para penyihir itu. Kami bergegas mencari tempat sembunyi dan akhirnya diam di bawah tangga ditutupi oleh tumpukan barang. Untung saja tangganya tidak ada celah sedikitpun, semuanya tertutup rapat oleh kayu.

Para penyihir turun menggotong seorang wanita dan seorang gadis yang diikatkan pada bambu yang berbeda. Mereka meletakkannya lalu membacakan sebuah mantra. Tiba-tiba sesosok iblis merah muncul dengan iringan asap hitam.

Setelah asapnya tidak lagi menutupi pandangannya, dia berkata "Seperti biasa, pekerjaan kalian bagus sekali!"

"Terimakasih, Tuan!" ucap salah satu penyihir.

"Cepat bawa alatnya!" ucap rekannya.

Salah satu dari mereka pergi mengambil 'alatnya'. Namun alat yang dimaksud bukanlah sesuatu yang bisa diduga-duga. Dia membawakan segenggam kapak di tangannya. Mungkinkan, dia akan membunuh kedua perempuan itu?!

Penyihir lainnya melepas ikatan dari wanita dewasa dan masih menyisakan ikatan di tangan dan kakinya. Wanita itu dibuat terbaring oleh si penyihir. Penyihir yang membawa kapak mendekati wanita itu dan bersiap mengayunkan kapaknya. Wanita itu panik setengah mati melihat ajal yang sangat dekat dengannya. Dia berusaha menjerit namun sia-sia, mulutnya sudah ditutupi oleh ikatan kain di kepalanya. Kini kapak pun dilayangkan pada perutnya yang membuat darah bermuncratan kesana kemari.

Aku merasa ingin muntah melihatnya. Meskipun aku sudah membunuh seseorang, tetapi jika melihat orang lain dibunuh rasanya tidak tega. Namun dibandingkan dengan Artex, dia melihat kejadiannya dengan tegar tanpa tekanan apapun.

"Sebaiknya kita segera selamatkan mereka!" bisikku pada Artex.

Namun dengan santainya Artex menjawab, "Tunggu dulu. Kita masih belum tahu apa maksud mereka."

Aku membantah ucapannya. "Apa kau sudah gila?! Kita baru saja melihat kejadian percobaan pembunuhan! Dan kau masih ingin menunggunya dihabisi?!"

"Aku mengerti perasaanmu. Tetapi akankah kita bisa menyelamatkannya hanya dengan kita berdua? Apalagi di hadapan mereka ada sesosok iblis sebagai tuan mereka."

Aku hanya bisa diam mendengar kebenaran darinya. Bertindak semaunya saat ini hanya akan berujung pada tindakan bunuh diri. Aku pun berusaha untuk menahan perasaanku ini dengan tetap mengamati keadaannya.

Aksi penganiayaan mereka tidak berakhir di situ saja. Mereka mengambil isi dari perut si wanita. Wanita itu terus menjerit kesakitan hingga pada akhirnya orang yang memegang kapak segera memenggal kepalanya. Semua usus yang sudah diambil kini dipotong panjang menjadi beberapa potongan.

Semua orang berjubah itu melepaskan pakaiannya lalu mengambil satu potongan usus setiap orangnya. Mereka melakukan hal yang tidak diduga. Setiap orang memasukkan alat kelamin mereka ke dalam lubang ususnya.

Hal ini membuatku jijik sekali. Kali ini aku muntah sejadi-jadinya karena ulah mereka yang tidak beradab ini. "Oi! Berapa lama kau ingin menunggu?!" bentakku secara berbisik pada Artex.

Tetapi Artex hanya bisa menggigit bibirnya sendiri.

Mereka berteriak kegirangan sambil mengocok ususnya sampai mengeluarkan cairan putih di lubang yang satunya. Gadis kecil yang dibawa oleh mereka panik ketakutan karena sedang dalam ancaman kematian.

Aku tak tahan dengan perbuatan mereka dan pada akhirnya aku turun tangan. Aku membuat sebuah senapan yang sebelumnya pernah kubuat di desanya Virie.

Saat aku ingin membidik kepala salah satu dari mereka, Artex menahan senjatanya. "Buatkan senjatanya satu lagi untukku." Nampaknya dia juga sudah muak dengan tingkah mereka. Akhirnya kami berdua bersiap membunuh mereka.

"Bagaimana cara memakainya?" ucap Artex.

Aku melakukan eject pada senapan Artex. "Lihat bagaimana caraku memegangnya." Aku mulai mengeker targetnya. "Gunakan teropongnya untuk membidik targetmu. Jika titik tengahnya sudah tepat di kepala, tarik pelatuk seperti yang ada di jari telunjukku ini."

"Baiklah." Dia melakukan arahannya dengan baik.

"Aku akan membidik yang kiri dan kau yang kanan. Tarik pelatuknya saat kuberi aba-aba."

Kami sudah siap untuk menembak.

"Sekarang!"

Dua buah peluru melayang bersamaan. Menembus dua kepala dan menumbangkannya tanpa perasaan. Suara tembakan yang begitu keras tak terlewatkan membuat semua orang sadar akan kehadiran kami. Perasaan mencekam sedang menggerogoti tubuh kami. Takut hidup kami akan berakhir di sini.

Semua orang menghadap ke arah sini. Mempersiapkan senjata mereka, sebuah bola api yang diciptakan di tangan, segenggam katana yang ditarik dari bambu yang digunakan untuk menggotong, juga beberapa kapak yang diambil lagi oleh seseorang.

Artex dengan sigap meletakkan senapannya di tanah lalu berlari menerjang ke depan. Kedua tangannya mengambil sesuatu di balik jubahnya, lalu dia melemparkan dua buah pisau berurutan. Kedua pisau menancap pada dada si penyihir di depannya. Dia mengambil lagi pisau di balik jubahnya dan menggunakannya sebagai alat pertahanan.

Dia menangkis serangan katana dengan kedua pisaunya. Namun pertahanannya sangat terbuka, seseorang yang menggunakan kapak menghantamnya di bagian samping. Kemudian dia mendorong pisaunya dan menendang orang yang di depannya. Lalu dia menebas leher orang di sampingnya dan akhirnya menusuknya dengan keras hingga dia tak melawan.

"Menarik sekali." Ujar si Iblis. "Tunjukkan hasil pengabdian kalian padaku selama ini!"

Orang yang memegang bola api kini menyatukan apinya dengan menepuk kedua telapak tangannya. Ketika dibuka, benda yang baru saja dihimpit menjadi kecil yang kemudian bergerak cepat menembus dadanya sampai ke belakang. Setelah itu benda tersebut mengembang dan melahap orangnya. Seketika sekujur badannya dilapisi oleh kobaran api membentuk seperti zirah seorang samurai. Kepalanya tumbuh sepasang tanduk mencirikan sifat iblis dari tuannya.

Sementara itu, di balik bayangan aku sedang fokus membidik musuh. Pertama aku menembak habis orang yang ditendang oleh Artex. Lalu targetku sekarang adalah samurainya. Hanya butuh satu tarikan dan dia akan tumbang.

Namun setelah aku menarik pelatuknya, peluru yang seharusnya mengenai si samurai kini ditangkis olehnya dengan katana apinya. Aku sangat terkejut dengan refleksnya yang mengerikan. Secepat itu dia bisa menangkis pelurunya?

Artex mengambil katana yang tergeletak lalu lalu meminum cairan merah muda yang sebelumnya dia beli. Dua botol ia habiskan. Artex melangkah maju perlahan sambil menunggu efek obatnya bekerja. Kemudian dia berlari sembari menghunuskan pedangnya, namun disayangkan dia malah tertusuk oleh katana api milik si samurai. "Den! Majulah!" teriaknya.

Mau tidak mau aku harus maju ke depan karena sasaranku terhalangi olehnya. Aku menyerap kembali kedua senapan agar setidaknya manaku terisi sedikit. Aku berlari sambil membawa trisula yang kubuat.

Pedang api yang menusuk Artex dilepaskannya lalu Artex dilempar seperti yang sudah tidak berguna. Samurai itu berjalan pelan siap menghadapiku. Saat aku menghunuskan trisulaku, pedang api duluan memotong pegangan trisulanya. Si samurai mengangkat pedangnya siap untuk membelahku. Panik setelah melihat senjataku terpotong dua, aku langsung membuat tameng seukuran tubuhku yang mampu menahan serangan dari pedang api. Setelah satu serangannya dilayangkan pada tameng, dia terus-menerus melayangkan serangan bertubi-tubi yang membuatku tidak kuasa menahannya.

"Sialan! Aku harus bagaimana." Dalam panik aku berpikir sekeras mungkin. "Oh iya, keseluruhan tubuhnya kan terbuat dari api." Saat ini aku sedang memikirkan untuk memadamkan apinya. Aku berencana untuk membuat molekul air dalan jumlah banyak untuk menyemburnya. Kuangkat tanganku lalu kuciptakan sebuah bola air. Namun setelah selesai memproduksi, bukannya menyembur ke atas airnya malah membanjiri sekujur tubuhku. "Brr!" aku lupa bahwa aku bukan pengendali air, aku hanya bisa menciptakan tanpa mengontrolnya

Sesaat setelah itu, si samurai berhenti menyerang. Aku penasaran dan melepas tamengku, dan yang kulihat bagian lehernya telah tertusuk katana. Artex terus menekan katananya sampai menembus zirahnya. Dia merobek leher orang yang di dalamnya hingga api yang menyelimutinya hilang. Tidak berakhir di situ, Artex memenggal habis kepalanya hingga terpisah.

"Bagus juga kekuatan kalian." Sahut si iblis dari ketinggian. "Mengabdilah padaku dan akan kuberikan kekuatan yang lebih besar dari yang kalian miliki!"

Artex berteriak dan melempar pisau yang ia pungut ke arah iblis itu. "Tutup mulutmu!"

Si iblis menangkisnya hanya dengan punggung tangannya. "Apa kalian akan menyia-nyiakan kesempatan kalian untuk menjadi lebih kuat?"

"Daripada jadi budak iblis jelek, lebih baik aku jadi kacung kerajaan!" balas Artex.

"Baiklah kalau begitu." Tangannya bergerak seperti menggenggam sesuatu. Organ dalam yang tadi dipakai oleh para penyihir melayang mendekatinya. Isi cairan yang ada di dalamnya keluar, baik cairan putih maupun darahnya. Semua cairannya berkumpul dan menyatu membentuk kumpulan individu baru. Mereka semua hidup dari campuran ****** dan darah?!

"Mungkin tak ada pilihan lain selain melawannya langsung." Ucapku. "Artex, bisa kau incar yang di atas? Aku akan melibas habis pasukannya. Aku akan membuat jalan bagimu untuk mendekatinya." Kali ini aku tak ragu untuk menghabiskan semua energiku. Kubuat sebuah minigun di tanganku. Ya, ini berat bagiku.

"Tidak usah. Aku bisa sendiri." Tiba-tiba dia memotong tangan kirinya lalu melemparkannya pada iblis di atas.

Aku tak mengerti apa tujuannya. Tetapi aku tak peduli dengan itu. Aku hanya perlu menembak semua pasukannya dengan senjataku ini.

Tetapi sebelum itu, aku teringat akan gadis satu lagi yang dibawa oleh para penyihir. Aku segera melepaskan ikatannya dan menyuruhnya untuk pergi dari sini. "Cepatlah cari jalan keluar dan cari pertolongan untuk dirimu."

"Te-terimakasih!" ucapnya.

Lanjut rencanaku untuk menembak habis mereka. Suara tembakan yang berisik menyemangatiku untuk terus menghabisi musuh. Mungkin ini aneh, tapi aku mulai menyukai suasana seperti ini. Aku terus menembak tanpa ragu. Setiap ada yang muncul langsung kutembak. Mudah sekali bagiku menembak mereka yang masih diam menyempurnakan wujud mereka.

Semua musuh sudah kuhabisi dan tidak ada lagi yang tercipta dari gumpalan cairannya. Saat aku melihat Artex, entah bagaimana dia sudah mengalahkan iblis yang sedang melayang itu. Dia mendarat sambil berdiri di atas si iblis.

Aku berlari padanya untuk melihat kondisinya. "Hebat sekali kau bisa mengalahkannya yang sedang terbang!"

"Tidak usah dibahas. Aku saja masih takut saat mendekatinya. Selain itu, aku melihat sebuah portal di atas. Mungkin ada sesuatu di dalamnya."

Aku menatap ke atas dan benar, ada portal biru di sana. "Baiklah!" aku membuat tangga untuk mencapainya. Kami berjalan mendekatinya dengan tubuh yang berlumuran darah—dan mungkin campuran spermanya juga. Ini buruk sekali.

Setelah kami masuk ke dalam portalnya, kami disuguhi dengan pemandangan hutan lebat dan disinari cahaya warna biru. Namun ada satu hal lagi yang membuatku terkejut. "Eh, Saa?!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!