Yang Sebenarnya Terjadi

“♪Akulah srigala. Aku memang ada. Disaat kau mungkin teerluka. Jangan pernah coba. Membuatku marah. Mendekat dan hadapilah♪.” Dengan suara yang pas-pasan aku bernyanyi selagi mengayuh untuk mengisi suasana.

“Kita ini bukan anak kecil, bodoh! Lagian kenapa kita harus menunggangi becak kaya gini? Sudah mah tidak bertenaga, kau juga mengayuhnya terlalu pelan!” Salsa marah mengenai keadaan yang sangat membosankan ini.

“Santai aja napa. Lagian ga ada kendaraan lain yang pas buat tiga orang. Mau buat mobil pun kita belum punya SIM. Motor juga gitu. Kalo sepeda yang capenya semua. Jadi becak pilihan terbaik. Bisa sambil nyantai juga.” Zack yang sedang bersantai mencoba menenangkannya.

“Setidaknya tambah kecepatannya biar kita bisa cepat sampai ke sana.”

“Oh? Pengen ngebut ya? Bentar. Kalian pegangan yang kuat. Biar kupasang mesin motor di becaknya.” Sombongku sambil mengubah dari alat kayuh menjadi mesin motor.

Stang yang asalnya lurus tak ada spesial apapun kini bisa mengendalikan kecepatan becak ini. Body becaknya pun kuubah agar terlihat seperti body motor agar terlihat lebih keren.

“Sip beres. Sekarang tinggal tancap gas. Pegangan!” ucapku.

Ngeeeeng.... Becak yang asalnya menggunakan kayuhan, kini berubah total menjadi becak berkekuatan mesin motor. Kecepatannya yang bertambah empat kali lipat membuat becak ini tidak bisa disebut becak lagi.

Tak butuh waktu lama, kami tiba di lokasi dengan kurun waktu sepuluh menit. Salsa dan Zack beranjak turun lalu mendekati Desa Guntur sementara aku seperti biasa menyerap kembali sisa energi yang ada pada becak.

Aku segera menyusul mereka sambil berlari kecil. Setelah dilihat-lihat, tempat ini tidak terlihat seperti desa. Banyak kendaraan yang berlalu-lalang disini. Tetapi yang membuatnya masih memiliki nama desa ialah keadaan warganya yang masih aman tentram. Juga keadaan jalannya yang belum menggunakan aspal.

“Berhubung kita ga punya kenalan disini, mending langsung capcus aja yuk.” Ucapku

“Tapi kau tau tempatnya dimana?” tanya Zack.

“Apanya?” jawabku.

“Itu loh. Sarang monsternya.”

“Eh iya juga ya. Coba kita tanya dulu Pa Aryo. Zack, coba telpon dia.”

“Mmm.... Anu. Masalahnya aku gapunya nomer guru satupun.”

“Kalo gitu gimana ya...”

“Nih. Aku punya nomornya Pak Aryo. Aku menyimpan kontak semua guru mata pelajaran kelas kita saat aku minta ke Pak Aryo buat jaga-jaga kalau ada masalah dengan sekolah.” Sela Salsa.

“Wis bagus lah kalo gitu.” Ucapku.

Salsa mengeluarkan HPnya dari sakunya. Setelah terhubung dengan Pak Aryo, ia menyerahkan HPnya padaku. “Halo, Salsa. Ada apa sampai menghubungi bapak?”

Aku menjawabnya dengan ragu karena yang sedang berbicara dengannya bukanlah Salsa tapi aku. “Anu, Pak. Ini Den. Saya minjem HP Salsa buat nelpon bapak.”

“Nah kan kata bapak juga apa. Sudah diingatkan buat beli HP masih aja belum.”

“Ehehe, iya, Pak. Kemaren udah beli tapi nomor bapak ga ada di HP saya.”

“Duh. Kenapa tidak memintanya ke ketua kelas. Dia kan punya semua nomor guru yang mengajar di kelas kita. Kalau begitu, ada urusan apa kamu nelpon bapak?”

Apakah Pa Aryo baru saja memarahiku?

“Gini, Pak. Soal masalah yang tadi, saya gatau portalnya dimana. Soalnya tadi bapa ga ngasi tau tempat spesifiknya dimana.”

“Oh, maaf, Den. Bapa lupa. Kalau gitu kamu pergi cari warung yang ada spanduk bertuliskan ‘Warung Bi Eli’,” sambil Pa Aryo menjelaskan tempatnya, kami mengikuti arahannya Pa Aryo agar cepat sampai. “Lalu lihat sawah yang ada di depannya. Majulah kesana. Sesampainya disana, ada rumah dengan kambing yang sedang digembala—“

“Tunggu, Pa. Kambing? Mana ga ada kambing disini. Kosong gini.”

“Eh...” tiba-tiba nada Pa Aryo menjadi terhenti. “Berarti, selama ini mereka menculik para kambing milik pengembala. Tapi untung saja bukan anak-anak yang mereka culik. Hentikan para monster itu sebelum mereka mulai menculik hewan ternak lainnya, Den.”

“Siap, Pak. Laksanakan.”

Kuakhiri panggilannya lalu bergegas menuju portal dimana para iblis itu keluar masuk. Kebetulan hutannya berada di samping peternakan kambing yang Pa Aryo ceritakan.

Kami mencari kesana kemari, setiap ranting yang menghalang kami terobos, terkadang jalan terhadang oleh pohon beranting runcing sehingga kami tidak bisa melewatinya. Kami putus asa dan berniat untuk keluar hutan terlebih dahulu dan menanyakan letak spesifik portalnya kepada Pa Aryo.

Namun saat menuju jalan keluarnya, cahaya merah terlihat jelas di depan kami. “Jadi ngapain kita muter-muter hutan kalo portalnya ada di samping jalan masuk.” Keluhku.

...~Π~...

Setelah masuk ke dalam portal, hal pertama yang kulihat adalah warna merah. Semua daratan yang ada di depanku berwarna merah. Mulai dari tanah, bangunan, bahkan langit, semuanya berwarna merah.

Kami mulai menjelajahi tempat ini. Menyusuri sela-sela bangunan yang ada hingga kami mendapati gerombolan makhluk hitam bertanduk yang sedang bekerja layaknya manusia. “Kelihatannya itu iblis banteng.” Ujar Salsa.

“Eh? Banteng?” Ucapku dan Zack.

“Eh, Den. Ini mah maskotnya PDI.” Kata Zack sambil tertawa kecil.

“Iya, ya. Logonya juga kan ada bantengnya. Ada lagunya juga pula.” Balasku.

Tanpa aba-aba, kami langsung sepemikiran untuk menyanyikan lagu yang kumaksud. “Teng, teng teng teng teng. Coblos gambar banteng....”

“Kalian ini bocah, apa! Sudah berumur 16 tahun masih aja kelakuannya seperti anak kecil.” Tegur Salsa.

Kami meneruskan penyelidikan kami dengan mengendap-endap agar tidak ketahuan oleh musuh. Tiba lah kami di sebuah gua yang cukup besar untuk ukuran banteng yang bisa berdiri. Kami memasuki gua tersebut lalu mendengar ada yang sedang mengobrol. Segera kami langsung bersembunyi di balik tembok

“Padahal makhluk kecil tapi kenapa harus dijaga segala.” Ucap salah satu iblis.

“Diamlah. Ketua pasti punya suatu alasan untuk membawanya kemari.”

Sepertinya semua kambing ditahan disini dan dijaga oleh mereka. Jika yang dikatakan oleh salah satu iblis itu benar, maka kami harus mencari ‘ketua’ mereka untuk mencari tahu lebih dalam apa yang mereka lakukan.

“Sepertinya kambing-kambing yang hilang ada di depan kita dan mereka sedang menjaganya.” Bisik Salsa.

“Yah. Sesuai dari apa yang mereka bicarakan.” Zack setuju.

“Kalau gitu. Mau balik dulu atau langsung hajar aja?” tanyaku.

“Ya hajar lah. Culun amat kabur.” Nampaknya Zack sudah bersemangat untuk menghajar mereka. Tanpa pikir panjang langsung kubuat palu berukuran besar dan kuberikan pada Zack.

Dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, Zack langsung maju ke arah belakang musuh dan melayangkan palunya yang sudah diperkuat olehnya ke arah samping kepala banteng itu.

Pipi yang terkena tumbukan palu Zack terlihat bonyok dan darah mulai bercucuran. “Yo, makhluk durjana. Kenalan dong.” Singgung Zack.

“Apa-apaan ini?!” ucap iblis yang satunya.

“Apa-apaan? Kalian udah nyulik kambing-kambing orang lain dan masih sok suci?” jawab Zack dengan girangnya.

“Oh. Jadi ini milikmu ya,” iblis yang dipukul Zack mulai mengangkat palu besarnya diikuti dengan rekannya dan siaga bertarung. “Kalau kau ingin mengambilnya kembali, coba saja kalau bisa!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!