Menuju Dunia Luar

Di dalam suhunya cukup hangat. Perasaan merindingku hilang seketika. Aku dapat berjalan santai sekarang. Namun aku merasa aku sedang berjalan menuju ruangan dengan penuh tekanan. Aku melihat pintu di depan dengan jendela persegi yang memberi pandangan ke dalam. Lalu kubuat teropong untuk mengintipnya, dan di sanalah aku mengetahui tekanan yang kumaksud. Ada beberapa sedang berkumpul di sana yang kelihatannya sedang rapat.

Saat tepat berada sepuluh meter di depan pintu, aku terdiam karena tidak ingin masuk ke dalam. Virie sudah dekat dengan pintu, namun aku sedang mencari tempat bersembunyi. Ada sebuah lorong yang dapat menyembunyikanku dari pandangan orang di dalam. Aku segera berjalan mendekati lorong itu lalu terdiam bersembunyi. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Padahal aku yang memutuskan untuk datang ke sini. Aku duduk lalu membaca salah satu buku yang kubawa.

“Ni dapet buku ginian dari mana ya.” Gumamku pada buku berisikan mekanisme senjata api. “Tapi gapapa lah, lumayan bisa bikin pistol.” Kubuka halaman yang membahas sniper rifle. Senjata ini membuatku tertarik untuk mempelajarinya karena jaraknya yang begitu jauh. Di bumi, warga sipil tidak diizinkan bahkan dilarang untuk menggunakan senjata api apapun. Tetapi mumpung ini dunia lain yang tidak diatur oleh undang-undang, aku bebas menggunakannya.

Sedang asyik-asyiknya aku membaca, tiba-tiba datang Virie yang sedang mencariku. Ia marah padaku karena tidak ikut masuk ke dalam. Aku meminta maaf padanya dan mengatakan alasanku.

Aku segera mengemasi bukuku dan hendak pergi menuju tempat yang kumaksud tadi. Saat hendak menuju ke dalam ruangan, aku membuat masker untuk menyembunyikan ekspresiku.

Di dalam ruangan ada dua orang pria dan satu wanita. Saat berada di dalamnya, ternyata aku tidak merasakan tekanan yang seperti kubayangkan. Kemudian aku duduk di kursi yang telah disediakan.

“Aku telah mendengar sedikit tentangmu dari Virie. Katanya kau mengalami masalah yang sama dengan kami dan berniat membantu kami meskipun duniamu sendiri sedang dipertaruhkan.” Ucap salah seorang pria. Dia terlihat seperti bapak-bapak bagiku.

“Begitulah. Awalnya aku juga kaget denger gituan—“ Aku memotong ucapanku karena teringat saat pertama kali bertemu Virie yang belum mengerti bahasa yang tidak baku.

“Ya?”

“Ah, maaf. Maksudku, aku juga terkejut ketika mendengarnya. Cukup aneh bagi duniaku yang tidak pernah berurusan dengan monster, malah didatangi oleh pemimpinnya untuk mendeklarasikan perang.”

“Yah, meskipun ini kali pertama bagi kami diserang oleh monster yang mengancam dunia kami, kami tak akan gentar menghadapinya.”

“Ngomong-ngomong, ssebelumnya aku mendengar dari Virie bahwa kalian itu adalah semacam roh. Kalau begitu, bukannya harusnya aku tidak bisa melihat kalian?”

Seorang wanita yang duduk di sampingnya menyela. “Mungkin pemahaman tentang roh dari dunia kita berbeda. Bagi kami, roh adalah sosok maha pelindung yang melindungi berbagai macam tempat. Mungkin kami lebih sering menyebutnya dengan ras.”

Saat mendengar kata maha pelindung, aku sempat membandingkannya dengan tuhan. Tetapi, mustahil saja jika tuhan ada di muka bumi. Yang kupercaya, tuhan berbeda dengan ciptaannya.

“Begitu, ya.” Balasku. “Kalau begitu, mengenai topik sebelumnya. Jika saja monster yang dikirimnya ditempatkan di tempat lain, bagaimana cara kalian mengatasinya?”

Pria yang sebelumnya menjawab “Oleh karena itu kami mengajakmu untuk bersekutu dengan kami. Aku khawatir jika roh yang menjaga di bagian lain tidak mengetahui akan hal ini. Aku berniat mengutus Virie untuk menyampaikan hal ini pada mereka.”

Lalu kakek yang di sebelahnya melanjutkan “Namun jika saja mereka sudah tahu, maka tidak akan repot-repot lagi menjelaskan detilnya pada mereka.”

“Lalu setelah semua roh mengetahuinya, apa yang akan kalian lakukan?” lanjutku bertanya.

“Tentu saja kami akan menyiapkan pasukan untuk mempertahankan dunia kami.” Balas pria yang di tengah.

“Bukankah lebih baik untuk menyerang mereka daripada bertahan?”

“Jika saja bisa demikian, maka akan kami lakukan. Tetapi kami lebih mengedepankan pertahanan untuk melindungi rakyat, baik di dalam desa ini, maupun manusia di luar.”

“Kalau begitu, hal ini hanya akan menguntungkan sebelah pihak. Lalu apa yang akan kami dapatkan jika menyetujuinya?”

“Tenang saja, aku akan mengirim bala bantuan untuk pertahanan kalian. Kudengar pasukan kalian hanya sedikit dan selalu fokus dalam teknik penyerangan.”

“Masuk akal juga yah.” Tapi aku kepikiran gimana kalo nanti orang-orang Bumi malah banyak yang gugur. Terus siapa yang mau basmi ketuanya. Dia kan mandor doang gamau kerja.

“Bagaimana? Kau setuju?”

“Baiklah kalau begitu. Semoga saja kedamaian dari dunia kita terwujud kembali.” Kami bersalaman menggambarkan persetujuan kami untuk bersekutu.

Selagi kami bersalaman, tiba-tiba terdengar suara ledakan di luar rumah. Kami bergegas pergi ke luar untuk mengecek keadaan, kecuali si Kakek. Di luar kami melihat para roh sedang bertarung melawan sesosok cindaku.

Tiga orang laki-laki sedang menahan cindaku itu dengan menusuknya menggunakan tombak. Lalu satu orang perempuan di belakangnya sedang menembakinya dengan panah yang cukup unik. Busurnya sama persis seperti busur biasanya, namun panahnya berwarna kuning dan muncul begitu saja ketika penembaknya menarik benangnya. Saat panahnya mengenai Cindaku, panah tersebut langsung meledak. Tetapi setelah dilontarkan beberapa tembakan, cindaku yang mereka hadapi tidak terlalu terluka. Hanya saja luka yang nampak ialah dari tusukan tombak.

Setelah banyak tembakan tak berguna yang dilontarkan, akhirnya Cindaku merespon. “Ah, kukira aku akan mendapat serangan yang kuat. Tapi serangan ini terasa seperti pijatan bagiku!” ia mematahkan ketiga tombak yang menusuknya lalu mencabut salah satu ujung tombak yang bersinar.

Kemudian Cindaku mencekik leher orang yang menusuknya dan menancapkan ujung tombak pada kepalanya. Namun pada saat mengenai kepalanya, “Apa?!” ujung tombaknya tiba-tiba menghilang menyisakan patahan batang yang digenggam.

Ketiga orang yang menusuk Cindaku termasuk yang sedang dicekik memutar balik arah batang tombaknya. Lalu muncul ujung tombak sama percis seperti yang Cindaku cabut dari tubuhnya. Dua orang yang sedang bergerak bebas segera menusuk kembali badan Cindaku, sedangkan yang satunya berusaha menusuk lengan yang sedang mencekiknya.

Saat semua tombak berhasil menusuknya kembali, Cindaku langsung melempar orang yang ia cekik ke arah orang satunya yang berada di sebelah kiri. Kemudian ia menusuk orang yang di sebelah kanan dengan tangannya, menembus sampai ke belakang. Orang itu sampai muntah darah sangat banyak.

DORR!!! Tiba-tiba kepala Cindaku berlubang dan memuncratkan darah, juga tubuhnya mulai jatuh. Semua orang menengok ke arah sumber suara—yaitu aku. Tanpa disadari oleh mereka, aku sudah terpental mundur akibat recoil dari sniper yang kugunakan. Aku membuat snipernya di sela-sela kesibukan Cindaku yang sedang fokus pada lawannya.

“Apa yang baru saja kau lakukan?!” ucap pria yang sebelumnya berunding denganku.

Aku menjawabnya dengan santai sambil berusaha bangkit dibantu Virie. “Inilah wujud dari kekuatanku. Baru saja aku menembakkan peluru padanya menggunakan senjata ini.”

“Senjata macam apa itu?! Bahkan di dunia ini yang bisa menembak dengan kecepatan tinggi hanyalah sihir panah!”

“Benda ini dinamakan senapan yang biasa digunakan para militer melawan *******.” Yah, meskipun aku tidak diperbolehkan menggunakan bahkan memegang senjatanya. Tetapi ini dunia lain yang tidak memiliki aturan untuk melarang seseorang menggunakan senjata api.

“Sungguh hebat sekali kekuatannya.”

Seorang pemanah yang tadi datang menghampiriku. “Anu. Panah macam apa yang kau gunakan barusan? Apa kau bisa menggunakan sihir cahaya juga?”

“Ini bukan panah, melainkan senjata api. Tidak ada sihir apapun yang kugunakan saat menggunakannya. Senjata ini memiliki mekanismenya sendiri untuk menembakkan peluru.” Jawabku.

“Peluru? Apakah itu semacam panah?”

Jika diamati dari ucapannya, berarti di dunia ini tidak ada senjata berbahaya macam pistol. “Yaa... seperti itulah. Hanya saja ukurannya lebih kecil sehingga hanya muat untuk senjata tertentu saja.”

“Bolehkah aku mencobanya?” dia mulai ambisius.

“Tentu saja.... Tidak boleh. Akan berbahaya jika kita mencobanya tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Akan kuajarkan padamu jika aku sudah menguasainya secara penuh.”

“Apakah senjata itu tidak terkendali?”

“Ya!”

Tak lama setelah kami berbincang, datang segerombolan pasukan roh membawa tongkat dan perisai. Sempat aku terpikir, kaya spartan aja.

“Mohon maaf atas keterlambatan kami, Yang Mulia. Kami sempat mengalami hambatan saat datang ke sini.” Ucap salah seorang pasukan yang kuduga dia pemimpinnya.

“Tidak apa. Katakan saja padaku hambatan apa yang kalian hadapi.” Balas pria yang sebelumnya berbicara denganku yang diduga pemimpin desa ini.

Pemimpin pasukan menjawab “Baik. Saat keluar dari barak kami dihadang oleh seseorang berbadan besar dan berjubah hitam. Dia menggertak kami dengan berkata ‘sebaiknya kalian jangan pergi ke sana karena hanya akan mengganggu’. Saya tak mengerti apa maksudnya sehingga saya berniat untuk menebasnya. Namun pada saat tombak yang saya gunakan mengenaiknya, tombaknya menembus begitu saja.”

“Tunggu, apakah dia memiliki mata merah menyala?! Apakah dia menggunakan kekuatan semacan portal hitam?!” sahutku.

“Benar sekali. Saat kami berusaha menyerbunya, dia mengambil selembar kertas dari lubang hitam lalu menyuruh kami untuk membacanya. Kami tak mengerti tulisan apa yang disampaikannya. Tak lama kemudian dia memasukkan kembali kertasnya lalu portal hitam muncul di belakangnya dan kemudian dia mundur dan menghilang.”

“Tak salah lagi! Dia pasti Gildarts, dalang dari semua ini!” tegasku.

“Jelas sekali. Aku pernah melihatnya secara jelas saat dia datang padaku.” Pemimpin desa setuju. “Nampaknya kita tidak memiliki banyak waktu lagi setelah dia mengutus salah satu bawahannya. Virie, pergilah ke desa roh-roh lain dan kabari mereka untuk menyiapkan diri untuk bertempur!”

“Baik, Ayahanda.” Ucap Virie.

...~Π~...

Setelah menunggu cukup lama untuk Virie menyiapkan perlengkapannya, akhirnya dia tiba. “Maaf telah membuatmu menunggu.” Dia mengenakan gaun yang desainnya lebih rumit dari yang tadi dengan ditambah jubah yang menutupi bagian punggungnya. Rambutnya diuntai dan diletakkan di depan bahu kirinya. Eh, bentar. Ini beneran Virie atau wanita yang tadi? Tetapi ada satu hal yang membuat perasaanku tidak enak. Mengapa bagian dada sampai lehernya harus begitu terbuka?!

“Bagaimana menurutmu?” ucapnya.

Aku mengacungkan jempol dan berkata “Tidak hebat!”

Virie memiringkan kepala, “Mana yang benar, kau memujiku atau mengkritikku?”

Aku menjawab “Keduanya. Aku menghargai model bajunya, tetapi aku tidak suka bagian yang terbukanya.”

“Ah, maaf. Aku tidak punya baju lain untuk pertemuan formal selain yang ini.”

Pemimpin desa atau kusebut Pa Kades datang menghampiri kami. “Sudah kusiapkan kereta kuda untuk kalian. Berangkat dan sampaikanlah pesanku pada semua kepala desa. Jangan berlama-lama diam di suatu daerah agar cepat terlaksana.”Pa Kades memberikan beberapa gulungan pada Virie.

“Kalau begitu, aku masuk ke kereta duluan.” Sahutku sambil berjalan menuju kereta kuda berwarna putih. Keretanya memiliki bentuk kubus tertutup yang memiliki satu pintu di kedua sisi. Panjangnya kira-kira dua meter. Terletak jendela tiga buah di masing-masing sisi. Seorang kusir membukakan pintunya untukku.

Saat berada di dalam, aku melihat-lihat isi keretanya. Terdapat dua kursi berhadapan di depan dan belakang yang memanjang selebar keretanya. Aku duduk di kursi belakang dan melihat Virie yang masih berbincang-bincang. Keputusanku untuk masuk terlebih dahulu mungkin salah karena aku merasa bosan di sini. Aku membuat papan dengan tulisan ‘Bangunkan aku jika kita sudah sampai’. Lalu kuletakkan tasku dan segera tidur.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!