Iblis bertanduk?

Hari-hari berjalan seperti biasanya, dan sekarang sudah hari Senin. Aku dan Zack yang selalu bertemu di jalan sedang menuju ke sekolah. “Zack, kenapa ya dari Senin ke Minggu itu enam hari, tapi dari Minggu ke Senin cuman satu hari.” Keluhku.

“Gatau. Kayanya ilmuwan ngasih kita hari bekerja lebih banyak biar kitanya aktif. Engga rebahan mulu di rumah.” Zack juga mengeluh dengan keadaan ini.

Di kelas kami langsung duduk di bangku kami dan membaringkan kepala kami di meja menghadap ke jendela. Terdengar suara hentakan kaki yang perlahan-lahan semakin keras. Setelah terdengar suaranya yang paling tinggi, ia langsung berhenti dan pemilik langkah kakinya menghalangi cahaya matahari kami.

Tanpa peringatan dia langsung menjepretkan karet ke kepala kami, tepatnya di bagian rambut. “Kalian udah ngerjain PR Matematika belum? Hari ini ada pelajaran matematika pada jam pertama.” Yang sedang mengomeli kami adalah Salsa, salah satu dari kesepuluh orang. Dia juga orang yang beberapa bulan sebelumnya yang tiba-tiba menghajarku.

Aku dan Zack yang sedari kemarin selalu bermain terkejut mengingat bahwa ada tugas Matematika dari Bu Hanna. Dengan memasang wajah tersenyum, aku melirik Zack. “Zack, udah?”

Begitu pula dengan Zack yang ikut tersenyum saat melirikku. “Belum...”

“Buruan kerjain! Bukan saling nanya!” bentak Salsa.

“Oiya iya. Zack, kau kerjain nomer enam sampai sepuluh, aku satu sampai lima.” Dengan keadaan yang rusuh aku mengeluarkan bukuku di tas sampai isi tasku berantakan.

“Iya iya, siap.” Respon Zack.

...~Π~...

Setengah jam telah berlalu. Kami berdua yang telah mengerjakan soalnya dan saling melihat jawaban sisanya setelah berpikir secara konstan. “Ahirnya selesai juga.” Ucapku sambil menyandarkan punggungku di kursi. “Sekarang tinggal nunggu gurunya dateng terus kumpulin.”

Beberapa saat kemudian bel berbunyi lalu diikuti dengan Bu Hanna yang masuk ke kelas. Tanpa basa-basi ia langsung memberikan pengumuman, “Eh... Maaf anak-anak ada yang ingin Ibu sampaikan. Kemarin ibu lupa bilang kalo hari ini kita ulangan. Jadi terpaksa kita ngadain ulangan dadakan. Siapkan kertas selembar.”

Eh...?

‘Lah kok gitu? Terus kami ngerjain PR buat apa dong kalo ujung-ujungnya ulangan.’ Pikirku.

Tanpa disadari, Zack sudah melirikku dengan wajah tersenyumnya untuk kedua kalinya. “Ngapain senyum-senyum gitu?” ucapku.

“Minta kertas selembar dong.”

“Astaga. Cobaan macam apa lagi ini. Tadi pagi PR belum dikerjain, barusan pengumuman ulangan, sekarang temen yang minta sumbangan,” keluhku sambil mencabut kertas di bagian tengah bukuku lalu membagi dua. “Nih.”

“Oke, makasih.”

...~Π~...

“Akhirnya beres juga.” Zack dengan leganya langsung menyandarkan punggungnya pada kursi yang ditempatinya. “Den, barusan ulangannya susah gak?”

“Enggak.” Jawabku.

“Enggak susah?”

“Enggak paham aku.”

“Terus sebelum-sebelumnya kau belajar apa sih?”

“Ya... kau tau kan pas ngerjain soal latihan aku nyontek mulu.”

“Dahlah. Punya temen gabisa diharapin.”

...~Π~...

Kriiing.... Bunyi alarm berbunyi diikuti dengan pengumuman dari speaker, “Panggilan kepada Den dari kelas 1-B untuk segera menghadap Pa Aryo di ruangan kepala sekolah.”

“Hayolo, abis ngapain sampe dipanggil gitu.” Ejek Zack yang mendengar namaku dipanggil lewat pengumuman.

“Abis bakar kebun Pa Dadang.” Jawabku dengan penuh kebohongan dan gurauan. Aku pun lekas pergi ke tempat yang diminta.

...~Π~...

“Langsung pada intinya saja. Bapa ingin kalian segera pergi ke Desa Guntur untuk membereskan masalah yang disebabkan para monster.” Dilihat dari raut wajahnya, kurasa Pa Aryo menanggapi hal ini dengan serius. “Kemarin malam juga Bapa sempat melihat suatu penampakan dengan tanduk di kepalanya. Bapa juga sempat membuntutinya sampai tiba di suatu portal yang berada di hutan di dekat desa itu.”

Mungkin ini akan menjadi pertarungan yang hebat. Aku sering menonton film fiksi dimana tokoh utamanya bertarung dengan makhluk bertanduk, pasti yang dibicarakan oleh Pa Aryo sama dengan apa yang kulihat di film. Ya, iblis yang menjadi musuh utama pada setiap film fiksi petualangan.

Tanpa membantah sedikit pun aku langsung mengiyakan ucapan Pa Aryo. Sepertinya akan seru jika aku melawan iblis yang bisa mengeluarkan api di mulutnya. Mungkin aku bisa membawa ikan dan menyuruhnya untuk membakar ikan itu sampai matang.

“Kalau gitu...”

“Diam dulu. Bapa belum selesai bicaranya. Mereka memasuki portal dengan membawa kantung yang dibawa di pundaknya. Bapa curiga isinya warga desa yang diculik karena kantungnya yang besar. Maka dari itu Bapa ingatkan padamu untuk memprioritaskan keselamatan warga desa jika asumsi Bapa benar.”

“Jadi...”

“Jadi. Bereskan masalah ini tanpa adanya korban jiwa. Ajaklah Zack dan Salsa untuk membantumu.”

“Siap, Pak.”

Seusai percakapan kami berakhir, langkah sepatu mulai terdengar dari kejauhan. Semakin lama suaranya semakin keras.

Crek. Suara pintu terdengar yang menandakan ada seseorang di depan ruangan ini. “Oh. Ternyata Pak Aryo. Saya kira ada maling karena pintunya tidak terkunci.” Ternyata itu kepala sekolah.

“Iya, Bu. Maaf menggunakan ruangan Ibu tanpa izin terlebih dahulu. Di Ruang Guru banyak sekali guru yang sedang istirahat. Jadi saya tidak enak membicarakannya disana dengan Den soal invasi monster saat ini.” Pak Aryo cemas.

“Tidak apa jika kalian membahas soal itu. Jadi, ada kabar apa?”

“Begini, Bu....” Pa Aryo menceritakan kembali apa yang telah ia katakan padaku kepada kepala sekolah. Karena aku harus segera bertugas, aku pergi dari ruangan kepala sekolah lalu mengajak Zack dan Salsa untuk pergi bertugas.

“Oh iya, Den. Minta surat dispen ke Ruang Tata Usaha lalu serahkan itu pada guru yang mengajar di kelasmu jam ini.” Ucap Pa Aryo.

...~Π~...

“Zack, ada tugas nih dari Pa Aryo. Langsung ikut aja, ga usah nanya dulu kita mau ngapain. Ajak Salsa juga buat ikut kita. Aku mau nunggu di luar.” Ucapku.

“Siap, bos.” Canda Zack diiringi senyumannya.

Dari sekolah menuju Desa Guntur kira-kira membutuhkan waktu setengah jam berjalan kaki. “Duh cape gini. Coba tadi kita ajak Juan aja biar bisa pake portalnya buat kesananya.” Keluhku.

“Iya ya. Kita ga usah cape-cape gini jalan kaki.” Zack setuju.

“Kalian itu bodoh atau gimana? Si Den kan bisa buat kendaraan. Kenapa dia tidak membuatnya dari tadi?” Salsa menang telak dengan pernyataannya itu.

“Eh, iya ya.” Kalimat sama yang kami berdua katakan setelah mendengar perkataan Salsa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!