Sudah Saatnya

Setelah pelatihan selama enam bulan, kami sedikit menguasai kekuatan masing-masing dan mulai bisa mengontrol secara lihai. Hari ini adalah pelatihan terakhir yang Pak Aryo berikan. Dia berpesan agar memperdalamnya sendiri-sendiri agar tidak terlalu dimanjakan. Perjuangan yang telah kami lewati selama enam bulan terakhir ini sangatlah berharga.

...~Π~...

Kubuka pintu rumahku dan saat akan melempar tasku ke kursi, tiba-tiba muncul lagi lubang hitam yang dulu pernah ada di kamarku. Kali ini bukanlah sang penguasa Nether yang muncul, melainkan seorang pria berseragam serba hitam dengan tas selendangnya dan topi yang diarahkan ke bawah hingga menutup matanya. Dia memberikan sepucuk surat padaku dengan tatapan dingin. “Bersiaplah akan kedatangan pasukanku. Kumpulkan seluruh anggota untuk mempertahankan nyawamu.” Begitulah yang tertulis dalam suratnya. Sebuah surat ancaman yang ditujukan pada kami yang telah ditunjuk.

...~Π~...

Di sebuah gubuk, terdapat dua orang yang sedang duduk saling mengobrol. “Eh. Kau ga salah nulis apa. Di suratnya ditulis pasukan, tapi yang dikirim hanyalah sepuluh orang.” Kata salah seorang yang menggunakan seragam hitam.

“Emangnya sepuluh orang tidak bisa disebut pasukan?” jawab satunya yang berbadan kekar.

“Gatau juga sih. Tapi biasanya pasukan itu terdiri dari 30 orang ke atas. Kaya pasukan perang, kan sampai ribuan.”

“Masuk akal juga yah. Tapi gapapa lah. Sudah terlanjur dikirim, mau gimana lagi.”

...~Π~...

Keesokan harinya, aku tergesa-gesa berlarian kesana kemari mencari rumah teman-temanku. Beranjak dari rumahku lalu pergi ke rumah tante untuk menanyakan tempat tinggal mereka, lalu berlarian lagi ke setiap alamat satu persatu. Aku sudah diingatkan oleh Pak Aryo untuk membeli ponsel pintar agar mempermudah komunikasi jarak jauh tapi aku selalu tidak menghiraukannya. Kini aku mulai menyesal.

Setelah memberitahu kepada empat orang, beruntungnya aku bertemu dengan Zack di jalan. Lalu aku memberitahunya dan memintanya untuk membantuku. Untung saja dia punya ponsel, dengan begitu aku tidak usah lelah berlarian lagi.

“Makanya di zaman moderen kaya gini tuh beli Hp biar ga jadi minoritas. Capek kan lari-larian kaya dikejar anjing.” Gurau Zack.

Aku yang masih terengah-engah perlahan mulai mengatur pernapasanku, “Iya, makanya aku nyesel ga nurut apa kata Pak Aryo. Besok lah aku beli. Temenin ya.”

“Oke, sekalian aku juga mau beli amunisi buat cadangan makananku.”

...~Π~...

Sabtu hari, di sebuah tempat dimana teriakkan beberapa orang selalu terdengar, dari pagi sampai malam. Ya, pasar. “Permisi, Paman. Ayamnya satu kilo.” Sahut Zack pada bapak paruh baya. Tidak seperti lapak-lapak yang lain yng dipenuhi dengan pelanggan, lapak bapak ini sepi sekali pembeli. Hanya Zack yang berdiri di depan sana untuk membeli dagangannya.

“Terima kasih, Paman.” Kata Zack.

Dalam perjalanan mencari makanan yang lain, aku bertanya pada Zack. “Oi, Zack. Kenapa kau memilih dagangan bapak-bapak itu daripada yang lain? Padahal ada tempat yang lebih ramai pengunjungnya daripda yang itu.”

Zack menghela napas, “Gini nih, Den. Kita tuh jangan selalu memandang sesuatu dari sampulnya. Jangan berpikir ‘kalau banyak pembeli, bakalan enak makanannya’. Nyatanya daging yang dijual bapak itu aslinya lebih enak daripada tempat sebelah. Memang benar tempat bapak itu sepi pembeli karena tempatnya sudah kumuh. Tapi dagingnya lebih nikmat dari yang lain. Tektsturnya yang empuk. Dagingnya yang dipenuhi dengan serat-serat berkualitas.”

“Kalau gara-gara tempatnya yang kumuh, kenapa dia tidak merenovasinya saja?”

“Itu masalahnya. Karena sepi pembeli, maka penghasilannya juga kurang.”

“Masuk akal juga ya.” Kurenungkan dahulu pikiranku sejenak. Aku punya suatu rencana untuk membantu keadaannya yang terpuruk itu.

“Duh, kebelet lagi. Zack, aku mau ke toilet umum dulu. Kau duluan aja dulu nyari bahan makanan lainnya.” Aku terburu-buru karena tiba-tiba ingin buang air.

“Oke.” Balas Zack. Lalu ia berkeliling mencari bahan lainnya.

15 menit kemudian setelah semuanya didapatkan, dia mencari tempat duduk untuk menungguku. “Mana lagih ni orang. Buang arinya lama banget.”

Kebetulan aku datang dengan membawa buku tentang kendaraan. “Maap lama.”

“Ke toilet doang padahal. Tapi lamanya minta ampun. Udah cebok belum?”

“Udahlah. Kau kira aku ini binatang, apa.”

“Hehe. Yaudah langsung aja kita nyari Hpnya.”

“Oh, kalo HP aku udah beli tadi abis dari toilet.”

“Wah, bener? Coba liat. Iphone X+ bukan?”

“Gatau sih ini namanya apa. Tapi kata penjualnya ini lebih simpel dari Hp yang lain.” Kukeluarkan Hpnya untuk memperlihatkannya.

Zack tertawa setelah melihat Hpku, “Bwahahaha... Duh, Den. Ngapain kau beli Hp jadul kaya gini. Di zaman kaya gini mana ada orang yang mu make Hp jadul.”

“Yaa... Selagi praktis dan ga ribet mah biasa aja buatku. Lagian Hp buat nelpon doang kan?”

“Ga gitu doang, Den. Hp yang canggih banyak kegunaannya. Bisa masang aplikasi, bisa memotret dengan kualitas tinggi, terus bisa main game yang seru.”

“Oh. Gapapa sih, lagian aku gatau cara pake Hp. Jadi beli yang praktis aja cukup.”

Dengan wajahnya yang masih terlihat tertawa, kami beranjak dari pasar untuk segera pulang. Di jalan kami menemukan sebuah portal. Membuat kami penasaran akhirnya kami memutuskan untuk mendekatinya.

Setelah memasuki portal itu, seketika kami berada di sebuah pemakaman yang begitu luasnya. Banyak batu nisan berjejeran. Langit yang hitam menambah suasana semakin mencekam. Tiba-tiba sebuah tangan muncul dari kuburan dan mencengkram erat kaki kami. Dengan sigap aku mengeluarkan tongkat baseball andalanku untuk memukul tangan itu.

“Ada yang ga beres ini mah. Mendingan balik lagi aja yok.” Ujar Zack.

Sesaat ketika kami membalikkan badan, portalnya terhalangi oleh untaian rantai yang mengikat portal itu. Di tengah-tengah lilitan rantai itu terdapat semacam kertas–mungkin itu adalah jimat yang menghalangi jalan keluar masuknya portal.

Seseorang berjubah hitam serta tudungnya yang menutupi kepalanya datang sambil membawa sabit. “Maut telah datang pada kalian dan akan mengantarkan kalian pada ajal kalian.”

Kami berdua saling melirik karena keheranan. “Apaan deh. Aneh.” Kata Zack.

“Ikuti aku.” Lanjut orang itu

Kami pun mengikutinya dan tibalah kami di sebuah kuburan yang paling mencolok dari yang lain. Dengan kuburannya yang luas serta dikelilingi pagar mengisyaratkan bahwa orang di dalamnya adalah yang paling disegani.

Tiba-tiba sebuah tangan keluar, diikuti dengan badannya yang berusaha ingin keluar. Terlihat sebuah mayat berbadan besar berdiri di depan kami. Mayat itu mengeluh, “Aaahh... Maut, kenapa kita yang sudah mati dan seharusnya menikmati kehidupan setelah kematian harus berurusan dengan bumi. Aku benci si tua bangka itu. Seenaknya saja memerintahkanku untuk bertarung dengan keadaanku yang sudah sekarat ini.”

“Entahlah saudaraku. Jika kau ingin mengakhirinya, kau harus mengalahkan sepuluh pahlawan yang ditunjuk olehnya. Juga, kita ini sudah mati dan tidak sekarat lagi.” Jawab orang berjubah hitam tadi yang diduga bernama Maut. Mungkin maut yang dimaksud dia di depan portal adalah namanya, dan bukan kutukan.

“Yasudahlah. Aku hanya perlu memberantas mereka bukan. Kalau begitu, dua di depanku paati salah satunya karena sudah datang kesini. Maut, pinjami aku sabitmu.”

Kami khawatir dengan keaadaan kami yang seperti ini. Apa mungkin ini salah satu pasukan yang dikirim olehnya–Gildarts.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!