Mungkinkah sebuah Petunjuk?

Bosan sekali kami menunggu. Jika dilihat dari posisi matahari, kira-kira sekarang pukul dua belas. Sudah beberapa halaman aku membaca buku yang kubawa tetapi tetap saja rasa bosan tak kunjung hilang. "Hei, Artex. Apa kau tidak ada keperluan lagi di kota ini? Rasanya bosan menunggu seharian di sini."

"Tidak. Aku hanya ingin membeli ramuan di kota ini."

"Sebaiknya apa ya yang kita lakukan."

"Aku tidak tahu. Mungkin aku akan pergi ke perpustakaan untuk mencari informasi."

"Ide bagus. Aku juga ingin melanjutkan buku yang kemarin."

Akhirnya kami pergi ke perpustakaan yang sebelumnya kukunjungi. Sebelum sampai di sana, terlihat bahwa situasi kota sudah ramai. Tidak seperti kemarin saat aku datang pada sore hari. Saat tepat di depan penginapan yang Virie singgahi kemarin, Artex menghentikan gerakanku.

"Sebaiknya kita mampir dulu ke sini. Aku tahu kau dari pagi belum makan sama sekali, begitu juga denganku." Ucap Artex.

Aku nurut saja padanya. "Baiklah."

Kami duduk di kursi paling pojok. Di sini suhunya cukup panas karena tidak ada alat pendingin sama sekali. Baik kipas ataupun AC. Yah, ini dikarenakan teknologi yang ada di sini masih belum se-Modern di bumi.

"Kau ingin pesan apa?" tanya Artex. "Biar aku yang ke kasir."

"Aku pesan nasi saja."

"Apa lauknya?"

"Daging saja."

"Baiklah, kare ya."

"Oh, bukan. Maksudku daging goreng."

Artex langsung tertegun setelah mendengar ucapanku. "Be—benar kau ingin makan daging dengan nasi?" ucapnya kaku.

"Memangnya kenapa?"

"Hanya orang aneh yang makan daging dengan nasi!"

"Hey, hey.... Jangan bilang begitu. Porsi makan seperti ini sangat laku keras di daerah asalku. Kalau kau tidak tahu, belum puas rasanya jika makan daging ayam tanpa nasi."

"Kau ini benar-benar orang yang aneh."

Akhirnya Artex pun beranjak pergi menuju kasir. Dia memesan makanan yang kami pesan. Namun di saat-saat dirinya tidak ada di meja, datang dua orang dengan pakaian setengah telanjang.

"Hei, bocah! Nampaknya kau sedang menunggu seseorang. Bolehkah aku menemanimu?" ucap pria botak.

Aku punya prasangka buruk tentang orang ini. Dilihat dari tampangnya sudah seperti preman jalanan saja. Sepertinya aku harus bersikap sok akrab saja dengannya.

"Aku sedang menunggu temanku."

"Temanmu ya.... Oh, kudengar kemarin kau datang ke sini dan berbicara dengan orang kerajaan. Entah kerajaan mana aku tak peduli. Tapi sepertinya kau memiliki hubungan yang dekat dengannya."

"Ah, itu hanya kenalanku saja."

"Tentu saja aku tahu itu. Tidak mungkin orang serapi dia ingin berbicara dengan gembel seperti kita."

"Mana mungkin juga seorang gembel ingin mencari perhatian orang tinggi. Yang ada mereka malah disergap dan diinterogasi."

"Ya, ya! Maka dari itu aku ingin menawarkanmu sebuah pengawal agar kau aman dari tindak kejahatan mereka."

"Pengawal? Tidak usah repot-repot. Kerjaanku saja sudah jadi pengawal. Untuk apa pengawal butuh sebuah pengawal?"

Kini si botak itu mulai geram lalu menarik kerah jaketku. "Maunya apa kau ini?! Susah payah aku bersikap baik padamu hanya untuk merampokmu! Dan kau malah membuatku marah!"

"Yang benar saja. Di jaman seperti ini merampok masih menggunakan cara halus? Tidak seperti menggambarkan dirimu saja."

Orang yang di belakangnya ikut terprovokasi dan melangkah ke depan lalu menyiapkan tinju untukku.

"Hey, hey! Tunggu dulu! Aku minta maaf sebelumnya." Ucapku

"Heh! Harus diancam dulu baru kau takut."

"Baiklah, baiklah aku mengerti. Kau ingin merampokku kan? Ambil saja uang yang kupunya." Aku mengodok sesuatu dalam saku jaketku. Kubuat beberapa koin emas yang serupa dengan milik Artex untuk diberikan padanya. "Nih." Aku memberikan koinnya pada si botak. Tak lupa koinnya kurancang dengan menambahkan benang tipis agar aku bisa mengendalikannya dari jarak jauh.

"Hoho. Ternyata kau ini penurut juga." Akhirnya dia melepaskan cengkeramannya dari jaketku dan menerima uang yang kuberikan. Dia pun tidak menyadari bahwa uang yang dimasukkan ke dalam sakunya terkait oleh benang yang kubuat. "Baiklah tugas kita disini sudah selesai." Ucapnya pada rekannya. Kemudian dia meninggalkanku dengan benang yang menggantung di sakunya.

Setelah jaraknya cukup jauh dariku, aku langsung bersiaga menunggunya sampai di depan pintu. Benangnya kuperpanjang seiring dia berjalan. Saat dia tepat di depan pintu keluar, aku mengubah koinnya menjadi sebuah petasan. Eh, nanti ledakinnya gimana?! pikirku spontan. Aku mengatasinya dengan mengubah benangnya menjadi sumbu tipis, dan juga kubuat korek di tanganku. Dengan cepat kubakar sumbunya lalu kuletakkan di lantai. Segera kuhilangkan koreknya dan berlagak seperti orang habis kemalingan.

Sumbu merambat begitu cepat menuju petasannya. Hanya butuh tiga detik untuk menghasilkan ledakan. Duarr!! Petasannya meledak di dalam saku si botak.

Dia terkaget-kaget merasakan sakit dan panas di pahanya. "Oi, siapa yang melakukan ini padaku?!" teriaknya. Kemudian dia datang lagi ke arahku. "Pasti kau yang melakukannya!"

"Melakukan apa? Dari tadi aku hanya terdiam di sini." Ucapku polos.

"Lalu siapa yang melakukannya?!"

"Ya tidak tahu. Tanya saja orang sekitar."

Dia melirik kanan kiri mencari pelakunya. Namun, akhirnya dia hanya pergi meninggalkan tempat ini. Akan malu jika dia bertanya pada semua orang tetapi tidak menemukan pelakunya.

Artex yang sedari tadi mengawasiku hanya menunjukkan mulutnya tersenyum padaku tanpa ekspresi. Dia pun menghampiriku dengan membawa dua hidangan di kedua tangannya. "Aku terkejut dengan usahamu untuk membalasnya." Ucap Artex sambil menaruh hidangannya.

"Sudahlah jangan dibahas. Aku akan mati jika ketahuan." Aku mengambil piringku untuk menyantap hidangannya.

Artex terheran-heran melihat caraku makan. "Kau ini sungguh kelewatan dari batas aneh. Bagaimana bisa kau mengambil nasi hanya dengan menggunakan tangan."

Aku mempercepat kunyahanku. "Aneh bagaimana? Dari dulu aku selalu makan menggunakan kelima jariku. Kecuali untuk makanan yang basah, baru aku pakai sendok."

"Kau ini sebenarnya keturunan mana. Caramu makan dan memakan sesuatu sangat diluar nalar."

"Bandung. Memangnya kenapa?"

"Tempat macam apa itu? Aku tidak pernah mendengarnya sama sekali."

"Kau tidak usah tahu dimana tempat itu. Kau tidak akan pernah menemukannya meskipun kuberi peta lokasinya."

Artex pun tutup mulut dan ikut menghabiskan makanannya.

......~Π~......

Setelah mengisi perut kami yang keroncongan, kami pun keluar dari penginapan, atau mungkin lebih bagus disebut bar.

"Ingatkan aku untuk membayar utangku."

"Tidak usah dipikirkan."

Kemudian kami berpindah tempat ke perpustakaan di samping. Kami pun masuk ke dalam. Aku melihat Noah yang sedang tertidur di bangkunya. Mungkin sudah menjadi kebiasaan baginya tertidur karena bosan. Lalu aku melirik ke arah meja pembaca dan melihat seorang gadis sedang membaca buku. Kami pun duduk di meja sampingnya.

"Pinjam bukumu." Sahut Artex.

"Buku yang mana?"

"Yang mana saja. Sekalian jika boleh, aku ingin terjemahannya juga."

Kuberikan buku tentang kendaraan beserta secarik kertas berisikan terjemahan dari aksara sunda ke huruf latin padanya. Dia membaca bukunya sambil menyamakan huruf di buku dengan terjemahan yang kuberikan padanya. Melihat orang lain berjuang ketika aku sudah mahir sangatlah menyenangkan. Bagaikan melihat penerus yang akan melampaui gurunya. Yah, meskipun aku suka merasa sombong saat aku lebih ahli dari mereka.

Aku pun ikut membaca buku dengan melanjutkan buku senapanku. Kurasa aku sedikit paham dengan struktur dari pistol yang kecil. Aku lupa namanya, tapi sepertinya mirip dengan kata 'revive'. Lebih baik aku mencarinya saja di buku.

Setelah kucari di daftar isi, ternyata namanya 'revolver'. Yah, kalau dilihat dari jumlah bagiannya, revolver ini lebih sedikit dibandingkan pistol normal yang digunakan polisi di kebanyakan film.

Di sela-sela kesibukanku membaca, aku sadar gadis di meja samping terus melirikku tanpa maksud yang kuketahui. Sengaja aku tidak menunjukkan kecurigaanku padanya agar tidak terlihat seperti mengintimidasinya.

Kali ini dia memutuskan untuk berdiri lalu berjalan ke hadapanku. "Permisi, maaf mengganggu. Tapi, bolehkah aku duduk di sini?"

"Ah, silakan-silakan." Jawabku.

"Terimakasih." Dia pun duduk di depanku. "Kalau boleh tahu, buku apa yang kamu baca?"

"Hm?" aku mengangkat bukuku. "Buku ini?"

"Ya, aku penasaran dari tadi. Aku terus melirik pada tulisannya tetapi semua yang ada di situ tidak ada yang bisa kupahami."

"Oh, jadi begitu. Memang di buku ini tidak ada tulisan yang bisa kau pahami."

"Maksudnya?"

"Tulisan dalam buku ini tidak ditulis menggunakan aksara sunda."

"Aksara sunda? Apa itu?"

"Yang sedang dibaca anak ini." Aku menunjuk pada kertas yang sedang dipegang Artex.

"Eh? Ini tulisan Tsarasu kan. Kenapa kau menyebutnya aksara sunda?"

"Eh? Bukannya namanya memang aksara sunda? Ini kan tulisan asal suku Sunda."

"Suku Sunda? Aku makin tidak mengerti dengan ucapanmu."

Aku mulai teringat bahwa bumi dengan dunia ini sangatlah beda. Jadi wajar saja jika semua sejarah yang berkaitan berbeda. Mungkin ada yang suatu hal yang sama tetapi tidak akan seutuhnya sama. "Sudahlah, lupakan saja. Mungkin ingatanku yang bermasalah di sini."

"Jadi siapa kau ini?" sahut Artex.

"Ah, maaf. Namaku Himara. Seorang petualang."

"Petualang ya..." Artex terlihat ragu "sebutan yang tidak ingin kudengar lagi."

"Hmm? Kenapa?" tanyaku.

"Tidak apa. Aku hanya memiliki masa lalu yang buruk saat menjabat sebagai petualang."

"Maafkan aku! Aku tidak tahu." Ujar Himara.

"Semua orang memang tidak tahu apa yang dibenci oleh seseorang. Jadi tidak usah merasa bersalah."

Aku mulai membahas kembali tentang tulisan untuk mengubah alur pembicaraan. "Mengenai tulisannya, apa yang membuatmu penasaran?"

"Ya. Jika dilihat lagi, tulisan yang ada pada buku milikmu berbeda jauh dengan tulisan kami. Aku ingin tahu dari mana kau mendapatkan buku itu."

"Kalau itu, buku ini kuambil dari rumahku. Tempatnya jauh sekali dengan negeri ini. Hampir semua negara di tempatku menggunakan tulisan yang sama, namun ada beberapa negara yang menciptakan tulisan lain. Tetapi di negaraku ada juga tulisan yang berbeda tiap daerahnya, dan salah satunya ada yang memiliki tulisan serupa dengan buku yang ada di sini."

"Jadi di tempatmu semua tulisannya seperti yang ada di bukumu? Lalu ada satu daerah yang memiliki tulisan yang sama dengan tulisan kami?"

"Tepat sekali."

"Memangnya dari mana kamu berasal? Aku belum pernah mendengar sejarah seperti itu selama ini."

"Tentunya dari Indonesia."

"Indonesia? Dimana itu? Belum pernah seseorang menemukan pulau bernama Indonesia."

"Yah, tentu saja sih kalau kalian tidak mengenalnya—"

"Tunggu!" Artex menyela. "Jangan bilang kau datang dari planet lain?!"

"Planet lain? Bisa dibilang begitu sih. Tapi lebih tepatnya dibilang dunia lain."

"Dunia lain? Jadi kau anak buah si penyihir itu kan?!"

"Bukan lah!" tegasku. "Siapa juga si penyihir itu."

"Kalau begitu, apa tujuanmu datang kemari?"

Duh mulai lagi. Sepertinya aku harus membahasnya kembali. "Aku tidak ingin bercerita panjang. Jadi kusimpulkan saja ceritanya. Pertama, duniaku diserang iblis. Lalu tak lama dunia ini juga diserang oleh musuh yang sama. Virie datang padaku untuk bekerja sama mengalahkan si iblis, dan aku setuju."

"Iblis.... Jadi mereka yang memberiku kutukan ini. Baiklah, aku mengerti."

"Oke bagus." Aku menengok lagi ke arah Himara. "Maafkan aku karena harus mendengarkan ocehanku."

"Ti—tidak apa. Aku juga mendapat wawasan baru tentang tulisanmu beserta asal-usul kedatangannya ke sini."

"Mengenai tulisannya, apa ada lagi yang membuatmu penasaran?"

"Kurasa aku sudah mendengar semuanya tentang tulisannya. Terimakasih telah memberi tahuku."

"Tidak perlu sungkan untuk bertanya."

"Oh, iya. Aku mendapat informasi baru-baru ini tentang organisasi yang memuja iblis. Semoga ini akan membantumu."

"Apakah itu?!" Aku penasaran dan juga bersemangat.

"Baru-baru ini ada seorang penyihir yang ditangkap saat sedang lari ketakutan. Saat diinterogasi, dia mengatakan bahwa organisasinya sudah berubah haluan. Semuanya dikarenakan oleh ulah iblis."

"Ya-ya?!" Aku makin penasaran.

"Awalnya organisasi mereka berpendirian teguh untuk meningkatkan kekuatan mereka dengan cara meditasi dan berinteraksi dengan alam. Tetapi si iblis datang dan mengajarkan metode yang tidak biasa untuk mendapatkan kekuatan yang melimpah. Semua rekannya tergoda dengan bisikan iblis itu. Tetapi si penyihir lari karena masih ingin memiliki akal sehat dan juga takut melihat iblis itu."

"Kau bilang dia masih ingin memiliki akal sehat? Jadi apa yang sudah dilakukan oleh iblis itu? Lalu metode apa yang dilakukan oleh penyihir lainnya?" ucap Artex.

"Aku tidak tahu. Tetapi saat ditanya demikian, si penyihir langsung muntah dan pingsan."

"Baiklah kalau begitu," ucapku semangat, "mari kita cari organisasi itu lalu kita habisi iblisnya."

"Jangan langsung asal menyimpulkan, Den." Ujar Artex. "Kita masih belum tahu apa yang dilakukan oleh organisasi ini. Kita beranggapan saja mereka tidak aman bagi warga. Juga kita belum memiliki informasi yang cukup untuk mengetahui lokasi mereka."

"Kalau masalah lokasi, aku punya petanya. Kebetulan aku mendapatkannya dari penyihir itu."

"Tunggu!" Artex mulai curiga. "Dari mana kau bisa mendapatkannya?"

"Dari mana? Aku yang memintanya pada saudaraku yang menginterogasi penyihirnya. Mungkin lebih baik kusebut menanyakan saja agar terkesan lebih menghormatinya."

"Begitu ya. Jadi bolehkah kami melihat petanya?"

"Boleh saja." Himara menyerahkan petanya pada Artex

Artex dengan senang hati menerimanya. "Terimakasih."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!