Gadis Angin (2)

Perasaan gelisah menyelimuti tubuhku. Bagaimana bisa dia adalah kenalanku dulu, yang sementara aku selalu diam seorang diri di rumah dan keluar hanya untuk bersekolah atau ke warung. “Maksudnya apa?”

“Udah kubilang. Orangnya itu kau. Dia mengatakannya seperti itu,” jawab Zack, “Kalo ga percaya tanya aja sendiri.”

Aku terdiam sejenak setelah mendengarnya. Benar apa kata Zack, lebih baik aku tanyakan sendiri kepadanya daripada bertanya pada orang perantara. “Okelah kalo begitu.”

Kuhampiri gadis itu, lalu kutatap wajahnya dan kutanyakan hal yang sama. “Wahai roh angin. Aku ingin bertanya satu pertanyaan padamu. Apa maksudnya bahwa aku adalah kenalanmu saat kau masih kecil.”

Dia tidak menjawab. Hanya mengayunkan tangannya seraya ingin memegang sesuatu. Kugenggam tangan yang bergoyang itu untuk menghentikan kegelisahannya. Tiba-tiba datanglah cahaya yang kemudian membuat pandanganku kabur. Dihadapkanlah kilas balik tentang ingatan sang gadis enam tahun sebelumnya.

“Mungkin ini perpisahan terakhir kita. Besok papa dan mamaku akan pergi ke kota lain. Aku tidak bisa tinggal disini selamanya. Kuberikan topi ini untukmu agar kau selalu mengingatku, dan aku berharap agar pertemanan kita selalu utuh.” Ketulusan dari senyuman gadis kecil itu membuat lawan bicaranya merasa enggan menerimanya.

Raut wajah bocah laki-laki di hadapannya terlihat kecewa. Dia berdiri lalu mengucapkan sepatah kata. Terima kasih. Itulah mungkin yang menandakan akan perpisahan mereka setelah cukup lama mengenal. Sang gadis kecil berlari meninggalkan si bocah dengan perasaan sedih dalam hatinya.

Tiba-tiba pikiran dan penglihatanku normal kembali setelah memegang tangannya. Segera kulepaskan tangannya karena kaget setelah kejadian barusan. Aku diam sejenak untuk merilekskan pikiranku, lalu kusiapkan diriku untuk bicara padanya. Kedua bahunya kupegang dengan kedua tanganku. “Maaf, nona. Mungkin orang yang kau maksud bukanlah diriku. Karena selama hidupku belum pernah aku bermain dengan perempuan. Aku sangat minta maaf jika perkataanku ini membuatmu kecewa. Tetapi kau harus berjuang lagi mencari orang lain yang ku maksud.”

Seketika air mata yang membasahi wajahnya mulai mereda. Tanpa sepatah kata dia mulai menghilang dan hanya menyisakan perasaan dingin. Angin mulai menyelimuti tubuhnya kembali dan menghalangi pandangan kami terhadapnya. Kemudian angin itu berputar dan semakin kencang, lalu menghilang bersamaan dengan gadis itu.

“Jadi, apa yang terjadi barusan?” tanya Zack.

“Tidak ada, hanya saja dia memperlihatkan ingatannya kepadaku agar aku ingat siapa dia. Tapi aku yakin aku bukanlah yang dia maksud.”

“Eh..... Jadi gimana dong?”

“Tidak mengapa, lagian aku ga suka jika berurusan dalam hal yang disebut percintaan.”

Zack kaget mendengar perkataanku yang benci soal percintaan. Yah, mungkin memang aneh jika seseorang tidak menyukai hal tersebut  tetapi beginilah aku yang hanya suka hidup tentram apa adanya.

“Jadi ga ada apa-apa lagi kan? Udah jam lima gini. Aku mau pulang dan istirahat.” Tanyaku.

“Ya. Udah beres sih.”

“Kalo gitu aku mau pulang, sampai jumpa besok.”

“Baiklah, sampai jumpa besok.”

Karena jalan pulang kami berbeda arah maka kami berpisah disini. Aku yang berjalan ke arah sebaliknya dari jalan menuju taman, dan Zack menuju ke bagian dalam arah jalan ke taman.

...~Π~...

Di satu sisi ada seorang gadis sedang berdiri di halte bus. Terlihat air matanya bercucuran tetapi ia menyembunyikannya di balik panjang rambutnya yang berwarna hitam. Seperti merasakan kesedihan yang sangat mendalam hingga ia tak bisa menahan rasa pedihnya. Ramainya kendaraan yang berlalu-lalang membuat isakannya tidak terdengar. Saat bus datang menghampirinya, ia mengusap kedua matanya dengan lengannya lalu masuk ke dalam bus.

...~Π~...

Di lain sisi ada aku yang baru pulang dari taman segera pergi ke kamar untuk istirahat. Kubaringkan badanku di kasur seperti biasa. Beberapa saat kemudian muncul cahaya hitam membentuk pola persegi panjang di depan lemariku. Akupun kaget melihatnya. Aku berdiri dan membuat tongkat baseball di tanganku untuk bersiaga. Tiba-tiba muncul seseorang dengan jubah yang besar berwarna hitam merah. Dia berkata padaku “Sudah saatnya kau beraksi anak muda. Sebentar lagi bumi akan dilanda bencana. Kericuhan terjadi dimana-mana. Monster yang belum pernah kau temui akan datang untuk menguasai bumi. Hanya seseorang yang memiliki kekuatan hebat yang dapat menghentikannya.”

Untuk seorang manusia, dia memiliki terlalu banyak aura di sekitarnya. Badan yang kekar serta mata yang merah menyala terpancarkan kepadaku seakan-akan ia memberitahuku bahwa dia bukanlah manusia.

Mungkin tidak sopan jika aku berteriak kepada orang yang lebih tua. Dlihat dari mana pun, jelas dia jauh lebih tua dariku. “Sebelum kau berkata yang aneh-aneh, perkenalkan dulu dirimu!”

Dengan nada yang tegas, ia sedikit membuatku gemetaran. “Hmmm?” ia memandangku dengan tatapan sangar, “Benar juga. Bagaimana bisa aku yang memikiki derajat paling tinggi di Nether sampai bisa lupa untuk memperkenalkan diri. Maaf untuk sebelumnya. Aku adalah sang penguasa Nether, Gildarts B. Velskud. Aku bertugas untuk memimpin kaumku yang lemah. Apakah ada lagi yang harus kusampaikan?”

“Tidak ada, hanya saja kau sama buruknya denganku saat memperkenalkan diri. Tak ada hal yang menarik dari dirimu.” Keringat dingin bercucuran di wajahku. “Jadi mengapa kau tahu bahwa akan akan ada bencana di bumi?”

“Untuk urusan itu kau tidak perlu tahu, dan tidak ada gunanya aku memberitahumu.”

“Kalau begitu, mengapa kau memberitahuku soal hal tersebut?”

“Kau boleh menganggapku sebagai penolong umat manusia. Aku memberitahumu agar bumi tidak punah dan dikuasai para monster jahat.”

“Lalu apa yang harus kulakukan?”

“Kau cukup menghentikan kekacauannya saja. Aku tidak tahu berapa lama bencananya akan terjadi, jadi siap-siaplah menghadapi ratusan atau bahkan ribuan makhluk asing.”

Dalam kalimat terakhir yang dia ucapkan, dia pun kembali kedalam selimut bayangan hitam. Perlahan persegi itu mulai mengecil dan akhirnya lenyap. Aku masih tidak bisa berhenti gemetaran setelah kejadian tersebut. Kakiku yang sangat kaku sekarang bergetar seolah sedang terjadi gempa bumi.

Kurenungkan terlebih dahulu pikiranku agar tenang. Bencana yang akan datang sebentar lagi, menghancurkan ekosistem di bumi, populasi makhluk hidup terancam punah, dan yang paling penting hanya ada satu cara untuk menghentikannya yaitu membasmi mereka.

Kubaringkan badanku kembali di kasur dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Monster yang dapat menghancurkan isi bumi, tidaklah keren.

Kedamaian bumi haruslah tetao dipertahankan. Bagaimanapun caranya, harus ada yang dapat menghentikan bencananya atau tidak masa depan akan hancur total dan bumi dikuasai para monster.

Terpopuler

Comments

Fakih Wajdi

Fakih Wajdi

den sigma

2023-05-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!