Hasil yang Mengejutkan

Aku terbangun dari tidurku. Saat aku membuka mata, entah kenapa yang kulihat tetap terlihat gelap seperti aku masih menutup mata. Aku mencoba meraba wajahku lalu aku menyentuh sesuatu yang halus dan berjumlah banyak. Aku kaget lalu segera bangkit karena menyadari yang kupegang adalah rambut. Kulihat Virie yang sedang duduk di sampingku dan... apakah aku tertidur di pangkuannya?

“Maaf membangunkanmu.” Ucapnya.

“Tidak apa. Padahal tadinya aku menuliskan ini untuk memberitahumu agar membangunkanku jika sudah sampai.”

“Ah. Tulisan ini ya. Aku tidak mengerti apa arti tulisannya.”

“Eh,” aku terkejut dia tidak tahu huruf latin. “Begitu ya.”

“Lihat. Danaunya indah sekali.” Virie memandang ke luar jendela.

“Maaf, aku kurang memahami tentang pemandangan alam. Setiap harinya aku hanya berada di lingkungan rumah dan sekolah.” Namun begitu, aku juga ikut melihat ke arah jendela. Danau yang terlihat bersih dipenuhi banyak nelayan yang sedang memancing.

“Ngomong-ngomong, dimana kita saat ini?” tanyaku.

“Kita sedang berada di bagian luar Kota Aspharantia, kotanya manusia.”

Jika kami sedang berada di wilayah manusia, maka kemungkinan tempat yang dituju masih jauh. Aku sabar menunggu sambil melanjutkan membaca buku tentang senjata api.

...~Π~...

Mungkin kami telah menghabiskan sekitar tiga puluh menit mencapai desa roh. Eh, tunggu dulu. Yang kulihat di depan hanyalah hutan belantara yang lebat. Dimana pemukimannya? “Kau yakin ini tempatnya?” tanyaku pada Virie.

“Tentu saja.” Jawabnya.

Kusir yang mengendarai kuda membukakan pintu. Virie keluar dari kereta dengan elegan. Aku menyusulnya sambil membawa tasku dan... apa ini tasnya Virie? Tas selendang yang terbuat dari anyaman kayu dan kulit binatang untuk selendangnya.

“Dimana kita?” tanyaku.

“Desa Solum. Tempat tinggalnya para roh bumi.”

Roh bumi? Berarti ada kemungkinan mereka digolongkan berdasarkan elemen-elemen di dunia ini. Berhubung sedang berbicara mengenai elemen para roh, aku penasaran elemen apa yang dimiliki Virie. “Kalau mereka roh bumi, lalu kau roh apa?”

“Kami terlahir dianugerahi dengan kekuatan cahaya. Oleh karena itu sebagian dari kami banyak yang mengalami reinkarnasi dengan cara menanamkan jiwa kami pada bayi yang baru lahir dengan melihat masa depan.

“Oh. Pantas saja senjata yang mereka gunakan bersinar dan berwarna kuning. Eh, tapi tunggu. Barusan kau bilang menanamkan jiwa? Apakah kalian memiliki kekuatan dewa?! Dan juga kalian bisa melihat masa depan?”

“Maaf, itu hanya cerita belaka. Sebenarnya kami menentukan nasib kami ingin bereinkarnasi atau tidak. Tetapi karena banyak orang yang masih memiliki kewajiban untuk mempertahankan desa, jadi banyak dari mereka yang memilih untuk bereinkarnasi. Jiwa kami memiliki tekad untuk mendeteksi apakah akan reinkarnasi atau tidak, jika tidak maka kami akan lenyap lalu pergi ke alam akhir. Namun jika kami ingin bereinkarnasi, maka jiwa kami mengkonfirmasi dan melakukan perjalanan secepat cahaya menuju masa depan dan merasuki tubuh seorang bayi.”

“Ribet juga yah.”

Setelah berjalan cukup lama, tak kusangka. Setelah melalui banyak pohon dan melewati pohon yang berjajaran berhimpitan memanjang, kami akhirnya tiba di sebuah desa—Desa Solum. Keadaannya sama seperti desanya Virie. Hampir semua bangunannya murni terbuat dari pohon, mungkin seluruhnya. Hanya saja disini lebih gelap.

Tidak ada satupun orang yang nampak disini. Bahkan penjaga pun tidak ada. Lalu datang seorang pribumi membawa tongkat, kemudian ia tunduk menghadap Virie. “Ada apa gerangan putri Virie datang ke desa kami?”

“Aku ingin bertemu dengan kepala desa. Ada hal yang harus kusampaikan.”

“Kalau begitu, Yang Mulia sedang rapat di aula. Mohon tunggu sebentar sampai mereka selesai.”

“Berapa lama kira-kira mereka akan selesai?”

“Saya tidak tahu. Dari yang saya lihat, rapat mereka terdiri dari sepuluh orang penting.”

“Baiklah, kalau begitu.”

“Jika anda berkenan, silakan jalan-jalan dahulu di sekitar.”

“Ya. Aku juga ingin menemui seseorang.”

Kami berjalan menyusuri rumah-rumah yang ada. Lika-liku bangunan kami lewati hingga akhirnya sampai di sebuah rumah dengan gambar—tunggu, apakah itu erlenmeyer?

Virie mengetuk pintu dan tak lama ada yang merespon. Pintu seketika terbuka dan ada seseorang di hadapan kami. Tingginya sekitar 8cm di bawahku. Gadis berambut pink dengan baju yang, cukup vulgar. Kenapa cewe disini pada gini ya seleranya. Malah pake baju yang nutupin dada doang sama celana yang kaya boxer.

“Ah, Virie! Sudah lama tidak bertemu.” Gadis itu memeluk Virie. “Ada hal apa sampai-sampai kau datang ke sini?”

“Aku ingin bertemu dengan kepala desa untuk menyampaikan kabar sesuatu. Namun ia sedang rapat dengan para dewan.” Jawab Virie.

“Ooh. Dia sedang mengurus tatanan pertahanan desa ini. Tidak akan lama kok.” Gadis itu tersenyum. “Ngomong-ngomong, siapa orang dengan wajah aneh di belakangmu itu?”

Sial, maskernya kayanya ngilang pas tadi tidur di kereta. Pikirku.

“Ah, dia adalah pahlawan dari dunia lain—”

Aku mengacungkan telapak tanganku sebagai sapaan. “Halo.”

“Sekaligus calon suamiku.” Lanjut Virie.

“Waah. Hebat sekali! Baru di usia muda kau sudah menemukan calon suamimu sendiri.” Gadis itu terlihat sangat periang. Lalu ia menghampiriku dan mendekatkan wajahnya. “Siapa namamu?”

Aku dengan gugup menjawab “Den.”

“Den, ya.” Kepalanya berputar mengarah Virie. “Hei, Virie. Bolehkah aku memilikinya?”

“Tidak boleh!” tegas Virie.

“Tidak asik, ah.” Kemudian ia menatapku kembali. “Tapi tak apa. Aku akan berusaha menggodamu agar kau memilihku.”

Coba aja kalo bisa. Mau Virie atau kau ga akan kukawinin. Mending tidur sama PS5 daripada sama wanita yang ga kucintai.

“Sherin!” bentak Virie.

“Iya, iya.” Orang yang diduga Sherin itu mundur menjauhiku. “Ngomong-ngomong, kau ingim berdiskusi tentang apa dengan kakakku?”

Virie menghela napas. “Hah.... Saat ini aku tidak ingin menghamburkan energiku dengan menjelaskan beberapa hal padamu. Tanya saja dia.” Ia melirik ke arahku.

“Eh, aku?” aku kaget setelah mendengar kata-kata yang tidak ingin kulakukan. “Maaf tapi aku tidak pandai dalam bercerita panjang lebar.”

“Tidak apa. Singkat saja boleh kok.” Balas Sherin.

“Baiklah.” Aku mengatakannya sambil membuat bidak catur di tanganku. “Kita anggap bidak ini adalah aku. Lalu raja hitam ini sebagai raja iblis atau apalah itu menghampiriku dan menyatakan peperangan dengan kami bersepuluh dari dunia kami—“

“Tunggu, tunggu! Mengapa kau bisa menciptakan benda kecil itu secepat ini? Teknik macam apa yang kau gunakan?” dia memotong penjelasanku.

“Inil merupakan bentuk dari kekuatanku. Masing-masing dari kami memiliki kekuatan yang berbeda.”

“Jadi bukan semacam teknik?”

“Tentu saja bukan. Lagipula teknik apa yang kau maksud?”

“Tentu saja teknik kerajinan!”

“Oh, kerajinan ya. Aku cukup menggunakannya dalam proses pembuatannya.”

“Lalu bagaimana caramu membuatnya secepat itu?”

“Menggunakan imajinasiku.”

“Bukan dengan alat atau mesin atau sebagainya?”

“Bukan.”

“Yah....” Sherin terlihat kecewa mendengarnya.

“Memangnya kenapa?”

Tiba-tiba ekspresinya terlihat semangat lagi. “Kenapa katamu?! Akulah sang pengrajin terhebat di desa ini! Tidak ada yang bisa menandingi kekreatifanku dalam menciptakan sesuatu!” Kurasa dia sedang menyombongkan dirinya.

Tiba-tiba Virie menyela, “Bukan bermaksud merendahkanmu, tetapi bukannya hanya kau saja di desa ini yang mendalami ilmu kerajinan?”

Nampaknya Sherin malu saat ini. Ia memalingkan wajahnya ke samping. “Iya juga sih.” Kemudian wajahnya berbalik lagi dan menatap Virie. “Tapi kan ada kau juga yang ikut membuat barang denganku!”

“Ah, masa kanak-kanak ya. Saat itu aku ikut bermain denganmu karena kakakmu yang menyuruhku untuk demikian.”

Kini Sherin terlihat sedih lalu mendekati Virie. “Viriee! Teganya kau meninggalkan impian kita berdua!”

“Impianku hanya satu di dunia ini, yaitu menjadi ratu.”

Ratu katanya? Tinggi kali. Aku aja cuman pengen jadi novelis. Kerja tinggal menghayal. Paling-paling seminggu dapet berapa episod.

Aku melanjutkan kembali penjelasanku yang tadi dengan membuat ratu putih. “Kembali ke penjelasan. Setelah itu, Virie datang kepadaku karena mengalami hal yang sama. Dia mengajakku untuk bersekutu dan aku menyetujuimya hingga kami bepergian sampai sini.”

“Begitu saja?” tanya Sherin.

“Ya. Memangnya mau apa lagi?” jawabku.

“Tidak, aku hanya berpikir kau sudah menjalani hari-hari yang buruk setelah bersama Virie.”

Oh itumah jelas pernah. Hari paling buruk dalam hidupku, dan gamau diinget-inget lagi. Aku ingin mengungkapkannya tetapi aku berpikir bahwa dengan melakukannya aku merasa seperti menyombongkan diriku karena telah mengalami sesuatu yang orang dewasa dapatkan. Yah, tapi itu tak masalah bagiku. Aku menganggapnya suatu tragedi yang merugikan sebelah pihak.

Tak lama kemudian, orang yang tadi menyapa di depan desa menghampiri kami. “Mohon maaf mengganggu perbincangan kalian. Aku ingin menyampaikan pesan Yang Mulia untuk mengajak kalian menemuinya.”

“Dia sudah beres ya.” Sahut Sherin.

“Kalau begitu, kami pergi dulu.” Ucap Virie.

“Ya. Semoga kakakku tidak bersikap kejam padamu.”

“Mari ikut denganku.” Ucap orang barusan.

Selagi kami berjalan menjauhi Sherin, ia melambaikan tangannya. “Dah!”

...~Π~...

Kami menyusuri kembali rumah-rumah yang ada hingga akhirnya sampai di sebuah bangunan besar. Penjaga tadi membukakan pintu untuk kami dan mempersilakan masuk. Saat berada di dalam, nampak dua orang sedang menunggu. Seorang pria berpakaian bagus sedang duduk di kursi menghadap meja bundar memandang ke arah meja dengan ekspresi serius. Setelah sampai di seberang kursinya, Virie seketika membungkukkan badannya. Aku yang tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa berdiri terdiam melihatnya.

“Hei, bocah! Tunjukkan tata kramamu di hadapan Yang Mulia! Jika kau tidak punya rasa hormat, keluarlah dari sini!” penjaga yang sedang berdiri membentak—ku?

Aku merasa sakit hati karena dibentak olehnya setelah datang jauh ke sini. Tetapi aku lebih senang jika harus menunggu di luar karena tidak perlu bersusah-payah mengobrol. Aku berbalik dengan niat berjalan ke luar, namun—

Virie kembali tegak. “Mohon tunggu sebentar. Dialah alasan mengapa aku datang kemari. Aku ingin berbicara dengan raja mengenai masalah penting.”

Aku terdiam sejenak lalu berbalik lagi dan berkata dalam hatiku, yah gajadi kabur nih.

Seseorang yang dianggap raja oleh Virie tiba-tiba merespon. “Ah. Virie, ya. Maaf atas ketidak acuhanku. Aku sedang memikirkan masalah yang dihadapi desa ini.” Lalu dia mengisyaratkan kepada penjaganya untuk pergi. “Maaf membuatmu mendengar hal seperti ini. Silakan duduk terlebih dahulu. Jadi, ada apa geranganmu datang kesini?”

“Raja Verdan mengutusku untuk berdiskusi denganmu. Ada suatu hal genting yang menimpa dunia ini, juga dunianya orang di sebelahku.”

“Apa itu?”

“Beberapa bulan sebelumnya, Desa Urias didatangi oleh seseorang berjubah hitam dengan tujuan untuk menghancurkan dunia ini. Dia berdalih akan menyerang dengan berangsur-angsur sampai kita tidak bisa menghadapinya lagi.”

“Lalu bagaimana setelahnya jika kita tidak bisa melawannya lagi?”

“Aku ragu akan hal itu. Tetapi jika hanya desa kami yang ikut berperang, peluang untuk kalah masihlah banyak. Maka dari itu kami datang kesini untuk memberi tahu sekaligus mengajak untuk mempersiapkan diri dalam peperangan.”

“Namun, apa yang akan kudapat jika kita memenangkan peperangan ini?”

“Kita tidak perlu alasan untuk mempertahankan tanah air kita. Cukup dengan tujuan untuk perdamaian dunia, maka tidak ada yang perlu diharapkan lagi.”

“Begitu, ya. Kalau begitu, aku menolaknya!”

Virie cukup terkejut setelah mendengarnya. Jawaban yang tak diduga dari mulut seorang kepala desa yang cukup berwibawa. “Kalau boleh tahu, apa alasanmu menolaknya?”

“Mudah saja. Desa Solum sedang kekurangan pasukan. Bahkan sampai saat ini warga desa sedang merenung atas tragedi tahun kemarin. Jadi para calon pelindung desa masih belum memiliki ego yang kuat untuk mewujudkan perdamaian.”

“Baiklah kalau begitu. Maka tak perlu lama-lama lagi aku berdiam disini.” Virie mulai berdiri.

“Tunggu dulu. Sebegitu lembek kah tekadmu untuk mengumpulkan sekutu?”

“Aku hnya tidak ingin menghabiskam terlalu banyak waktu untuk berdiskusi dengan tujuan yang tidak diharapkan. Masih ada desa yang harus kukunjungi untuk bersekutu.”

Kepala desa terdiam membatu.

“Kalau begitu, aku pamit dulu. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu, Shyrin.”

Saat kami berdua beranjak pergi, kepala desa masih terlihat membisu. Sungguh usaha yang sia-sia untuk datang kemari. Bagaikan melempar pancing tiada umpan.

Akhirnya kami pergi menuju kereta kuda dan berangkat menuju desa lain yang belum kuketahui. Perjalanan yang tidak terlalu bisa diharapkan untuk hasil akhirnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!