Artex

Di jalanan yang sepi, aku berjalan dengan gadis yang baru saja kutemui. Dalam keadaan lapar dan lelah, aku terus memaksa berjalan tanpa henti.

"Mungkin sebaiknya kita beristirahat dulu." Ucap si gadis kecil.

"Ide bagus," balasku. "Mari kita beristirahat di bawah pohon itu." Saking penatnya, aku langsung duduk bersandar di bawah pohon rindang ini.

Namun saat enak-enaknya beristirahat, si gadis kecil memberiku sebuah apel. "Untukmu, tuan."

"Terimakasih untuk apelnya. Tapi aku bukan tuanmu." Aku mengambil apel yang diberikan olehnya. Akibat dari kelelahanku, saat aku ingin memakannya, mataku keburu menutup untuk tidur. Sempat aku mendengar suara gadis itu berteriak, entah apa yang dia ucapkan.

...~Π~...

Aku merasa sedang berada di atas ranjang. Saat membuka mataku aku melihat gadis yang bersamaku sedang tertidur di sampingku. "Hey, dimana kita?" ucapku pelan. Namun dia tidak merespon sama sekali. Aku mencoba membangunkannya dengan menggoyangkan badannya dan dia pun bangun.

Dia menggosok matanya lalu memelukku terburu-buru. "Syukurlah kau selamat!"

"Hey, hey. Lebih baik jelaskan dulu dimana kita saat ini."

"Daiah. Setidaknya itulah nama yang kuberikan untuk tempat ini." Ucap seseorang dari arah pintu sambil membaca sebuah buku.

"Siapa kau?!" Aku kaget setelah mendengar ucapannya dan mengarahkan pisau padanya. Bisa-bisanya setelah dimasukkan ke penjara, aku diculik lagi oleh orang yang tak kukenal.

"Siapa namaku tidaklah penting. Daripada itu, dimana kau mendapatkan buku ini?" jawabnya.

"Sepertinya kau tipe orang yang sulit diajak kerja sama ya." Pisaunya kuserap kembali lalu bangkit dari ranjang. "Kembalikan buku bersama tasnya."

"Jawab dulu pertanyaanku!"

"Hoo.... Jadi begitu ya caramu bermain. Kalau kau ingin tahu, tadi sebelum kabur dari penjara, aku sudah membunuh seseorang."

"Hah! Jadi kau mencoba menggertak ya? Coba saja kalau bisa." Dia berjalan mendekati meja. Dia mengambil sebuah pisau lalu memberikannya padaku. "Coba saja tusuk aku dengan ini."

Aku yang tekadnya kalah dibandingkan dia hanya bisa diam.

"Kenapa diam saja?!" dia menggerakkan tanganku untuk menusuk-nusuk telapak tangannya. "Lakukanlah seperti ini!"

Kini aku mulai geram dengannya. Kulepaskan pegangan pisaunya lalu kucengkram wajahnya dan membuat tusuk bambu yang diarahkan pada lehernya. "Aku tahu aku sudah kelewatan, tetapi kau malah melebih-lebihkannya."

Dia menelan ludahnya sendiri. "Sudah cukup. Lagipula aku belum punya keberanian untuk bunuh diri."

Aku melepaskan cengkramannya. Namun hal yang tak biasa terjadi. Telapak tangannya yang tadinya berlubang kini sembuh kembali. "Tunggu, ada apa dengan tanganmu ini?! Kemana luka yang barusan?!"

"Seperti yang kau lihat. Aku bisa menyembuhkan berbagai macam lukaku, istilah lainnya beregenerasi."

"Apa kau ini vampir?!"

"Vampir? Makhluk macam apa itu."

"Serius kau tidak mengetahui vampir?!"

"Tidak. Ras yang kuketahui hanya manusia dan siruman."

"Tunggu dulu. Kesampingkan soal vampirnya. Siruman yang kau maksud apa?"

"Jadi sekarang malah kau yang kebingungan." Pria itu kemudian berjalan menuju sebuah lemari mengambil sesuatu. Lembaran lusuh berwarna kuning. "Inilah siruman yang kumaksud." Dia menunjukkan sebuah gambaran serigala.

"Apa itu? Serigala jadi-jadian?" tanyaku.

"Lebih tepatnya manusia serigala. Semua ras siruman memiliki wujud fisik menyerupai binatang dan manusia. Singkatnya mereka binatang yang mirip manusia."

"Jadi mereka mirip siluman ya. Eh, siluman dengan siruman. Kenapa mirip ya?"

"Entah apa yang kau maksud dengan siluman. Tetapi hanya sekian yang kuketahui tentang siruman."

"Tidak apa, aku mengerti."

"Lalu apa itu vampir?"

"Ah, vampir ya. Sebetulnya aku juga tidak yakin vampir itu ada di dunia nyata. Tetapi dalam cerita, vampir itu makhluk yang bisa beregenerasi. Entah bagaimana cara mereka melakukannya."

"Begitu ya." Kemudian raut wajahnya berubah. Dia tersenyum ke arahku. "Artex."

"Ada apa nih?" aku langsung bersiaga karena kaget. "Tiba-tiba senyum lalu mengucapkan sepatah kata?"

"Tidak, aku hanya memperkenalkan diri. Namaku Artex Alvander."

"Ooh. Begitu ya. Kalau begitu, namaku Den."

"Lalu siapa gadis yang kau bawa ini?"

"Dia—" Aku kebingungan karena aku belum pernah sama sekali mendengar namanya. "Aku juga tidak tahu. Aku belum pernah menanyakan namanya."

"Nena!" sahut si gadis kecil.

"Nena yah. Lucu sekali, cocok denganmu." Ucap Artex.

Saat bertemu dengan teman baru, entah mengapa aku teringat dengan Zack. Bahkan aku tidak melihat satupun kecocokan di antara mereka. Mungkin perasaan rinduku saja dengan rumah. "Ngomong-ngomong. Dimana tasku."

"Tenang saja, aku menaruhnya di samping tempat tidur." Jawab Artex.

Aku menoleh ke arah ranjang dan benar tasku sedang bersandar di sana. Kulihat isi tasnya masih utuh meskipun aku tidak tahu berapa banyak buku yang kubawa. "Mengenai buku yang kau baca, apa kau mengerti tulisannya."

"Yah, setelah kulihat keseluruhan halamannya aku tidak mengerti satupun huruf pada bukunya." Dia memberikan bukunya padaku.

Ternyata benar. Di dunia ini tidak ada yang mengenal huruf latin.

"Darimana kau mendapatkan buku macam itu?" sahut Artex.

"Sebenarnya aku ingin merahasiakannya . Tapi—"

"Baiklah, tidak usah diberitahu jika itu memang rahasia." Potong Artex. "Tetapi aku ingin memastikan sesuatu." Dia mendekati lemari dan mengambil kertas dan sebuah bulu di atas meja di samping lemarinya. Lalu dia memperlihatkan apa yang dia tulis padaku. "Coba baca tulisan ini."

"Abadi." Jawabku. "Memangnya kenapa?"

"Aku hanya memastikan bahwa kau bukan penyusup dari negara lain." Artex meletakkan kembali kertasnya di atas meja. "Ngomong-ngomong. Mengapa kau tertidur di jalanan dengan anak panah yang menancap di atas apel di tanganmu?

"Jadi kau tidak melihatnya?!" sahut Nena.

"Memangnya ada apa?" tanya Artex

"Tadi dia ditembak oleh orang asing yang menggunakan baju serba hitam, dan dia pingsan seketika!"

"Tunggu, pingsan?" tanyaku keheranan. "Aku hanya tidur sejenak saat itu. Bahkan aku tidak sadar bahwa aku ditembak."

"Benarkah?"

"Ya."

"Syukurlah!" lagi-lagi dia memelukku. "Untung saja kau tidak terkena racun yang mematikan."

"Daripada itu. Artex, apa kau tahu dimana kota terdekat di sini?"

"Tentu saja." Jawab Artex.

"Bisa kah kau menunjukkan jalannya padaku? Tapi sebelum itu, kota yang kau maksud Compass bukan?"

"Ya. Nama kotanya Compass. Namun, jarak dari sini ke Compass mencapai satu kilometer."

"Tidak apa. Lagipula aku bisa mempercepat perjalanannya."

"Baiklah, aku juga berencana pergi ke sana besok. Tetapi, akan lebih baik jika lebih cepat."

Kami pun pergi ke luar rumah menuju kota Compass. Sebelum berjalan, aku membuat becak terlebih dahulu yang bertenaga mesin motor. Sama seperti yang kubuat sebelumnya. Aku menyangka Nena akan protes karena aku baru melakukan hal seperti ini. Namun dia tidak protes sama sekali. Hanya rasa gembira yang terlihat di wajahnya.

...~Π~...

Di jalan, Artex mengobrol banyak dengan Nena. Aku yang mengemudi hanya bisa mendengarnya dari belakang. Sulit bagiku untuk berbicara karena fokus melihat jalanan.

"Hei, Den. Memangnya kenapa kau ingin pergi ke Compass?" sahut Artex.

"Yah, baru-baru ini aku datang ke Compass dengan seseorang. Dua orang dengan kusirnya. Kami berencana pergi ke seluruh desa roh untuk memberi sejumlah informasi. Namun saat malam hari aku malah dibawa oleh seseorang dan dimasukkan ke penjara dengan Nena."

"Roh, ya. Ternyata mereka bukan sekedar mitos."

"Ngomong-ngomong, kenapa kau tinggal di tempat terpencil sendirian?"

"Itu.... Sejujurnya aku tidak ingin membeberkan kenaifanku. Tapi tak apa, sekali-kali aku ingin terbuka pada orang lain. Dulu aku didatangi seseorang yang membuatku diusir dari desa. Selepas itu aku berjalan tanpa tujuan hingga berakhir di kota Radial. Memang banyak orang yang melirik padaku, tapi aku selalu beranggapan semua warga kota sama buruknya dengan yang di desa. Maka dari itu, tak lama kemudian aku pergi berkeliling untuk mencari orang yang memberiku kutukan ini."

"Tunggu. Kutukan?" potongku.

"Kau ingat saat tanganku meregenerasi saat di rumahku?"

"Ya, aku ingat. Tapi mengapa kau sebut itu sebagai kutukan?"

"Itulah yang menyebabkanku diusir dari desaku sendiri. Saat aku diberi kemampuan seperti ini, hawa yang ada di dalam ruangan sangat gelap. Bahkan aku sampai ketakutan merasakannya." Dia menyandarkan punggungnya dan menghadap ke atas. "Yah, mungkin karena perasaan siaga saat didatangi orang asing."

"Lalu?"

"Lalu aku pergi dari desa hingga akhirnya aku menetap di rumahku saat ini."

"Lalu kenapa kau tinggal sendirian di tempat sepi seperti itu?"

"Hei, kau sudah menanyakannya barusan!"

"Tapi bukan jawaban itu yang kuinginkan."

"Lalu?"

"Yah, alasan kau tinggal di situ saja."

Artex menghela napas, "Aku tidak suka direpotkan seperti ini."

"Maaf saja. Sudah jadi kebiasaanku merepotkan orang lain atau diriku sendiri." Gurauku.

"Sudah kukatakan sebelumnya, aku berkelana untuk mencari orang yang memberiku kutukan ini. Aku ingin mencari tahu alasan dia memberiku kutukan ini. Serta memintanya untuk menghilangkan kutukannya."

"Oh, begitu ya. Maaf aku suka tidak konsen saat terpikir untuk menanyakan sesuatu."

"Sudahlah." Artex berusaha menenangkan dirinya. "Kita berhenti di sana. Jangan buat dirimu mencolok atau para ilmuwan akan menangkapmu."

"Ditangkap untuk apa?"

"Sebagai penelitian tentang kekuatanmu."

Mungkin sekitar seratus meter dari gerbang, kami berhenti sejenak untuk menghilangkan becak yang kami tunggangi. Artex berharap agar aku tidak kena masalah jika ada seseorang yang melihat kendaraan yang tidak biasa.

"Praktis juga kekuatanmu."

"Memang praktis jika dilihat dari sudut pandang bukan pengguna. Nyatanya aku harus mengetahui terlebih dahulu tentang mekanismenya."

"Semacam alkimia?"

"Ya," aku ragu apakah itu benar atau tidak, "mungkin."

"Jadi, bisa saja kau membuat manusia utuh dengan kekuatanmu."

"Tentu saja tidak bisa. Manusia bisa hidup jika memiliki nyawa, dan aku tidak akan pernah bisa menciptakan sesuatu seperti itu."

"Berarti, kekuatanmu hanya sebatas ini."

"Begitulah."

Kemudian kami bergerak mendekati gerbang kota. Akhirnya, setelah beberapa lama duduk di kursi penumpang dan supir, kami sudah dekat dengan tempat tujuan kami. Tempat dimana aku dibawa dan dijebloskan ke dalam penjara budak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!