Keributan di Alam Merah (2)

Biasanya jika di dalam film aksi kalau mengalami situasi begini, karkter utamanya akan mencari cara untuk melarikan diri. Namun aku tidak akan berpikiran begitu. Bertarung lebih seru daripada lari.

Berhubung kami terpojok, aku tak bisa bergerak bebas untuk menggunakan kekuatanku. Aku juga tidak mempunyai kekuatan untuk memanipulasi tanah untuk menyerang mereka ataupun mengedepankan pertahanan diri. Kalau begitu, aku akan melawan mereka menggunakan Zack sebagai prajurit.

Kulemparkan bom asap untuk membutakan pandangan mereka. Asap ini mengepul menghalangi pandangan terhadap gerakan kami. Sejujurnya, asap ini juga membuatku tidak bisa melihat mereka. Tapi tak apa, mereka berada di lorong dan tak akan bisa bergerak banyak.

Kukeluarkan tombak untuk menyerang mereka. Aku mengambil ancang-ancang bersiap untuk menusuk mereka.

Trang!!

Saat tombakku berhasil menusuk menembus asap, tombakku terhenti oleh sesuatu. Dilihat dari efek suaranya, mungkin tombakku menyentuh sebuah perisai. Segera kutarik lagi tombakku. Sekilas setelah kutarik tombakku, muncul dua tombak yang dilemparkan dari balik asap. Dengan refleks aku menangkis kedua tombak itu dengan menyenggolnya dari samping menggunakan tombakku.

“Kayanya main sembunyi-sembunyi juga malah kita yang dirugikan yah.” Ucapku.

“Kalo gitu biar aku aja yang maju,” Zack tersenyum menandakan dirinya sedang percaya diri untuk melawan mereka. “Bagi alat tinju biar mereka babak belur.”

Aku menuruti keinginan Zack, aku mengubah tombakku menjadi sarung tangan tinju yang biasa dipakai oleh para petinju. “Nih.”

Saat Zack menerimanya, “Bukan yang ini! Yang besi itu loh. Apa ya namanya–“

“Keling?” potongku.

“Ya, itu!”

Aku merubah kembali sepasang sarung tangan tinjunya menjadi knuckle besi. “Yaudah, nih.”

“Nah, mantap.” Zack memakai knucklenya dan memperkuatnya. Ia berlari ke arah depan lalu melontarkan tinjunya. Meskipun terhalangi oleh asap, aku yakin dia pasti memukul perisainya. Ia terus memukul dan memukul menyebabkan suara benturan logam terdengar berulang kali.

Kali ini dia mundur, mungkin dia sudah menyerah. “Coba asapnya hilangin dulu, Den, ganggu. Aku ga bisa fokus nyerangnya karna gatau harus mukul di mana.”

“Oke oke.” Aku menuruti perintah Zack. Dia maju untuk kembali menyerang. Sedangkan aku menghilakangkan asap tebal ini dengan mengipasinya menggunakan kipas dari anyaman bambu. Aku menggunakan ini karena lebih praktik dan sudah terbiasa menggunakannya.

Saat asapnya menghilang, terlihat dua buah tombak sedang melayang ke arahku. Dengan refleks aku langsung membuat tameng yang sebelumnya kubuat lalu menahan tombaknya. Namun karena penguatannya belum sempurna, ujung tombaknya menembus tamengku hingga menusuk lenganku. Untung saja lukanya tidak cukup dalam hingga menembus sampai tulangku.

Aku langsung mencabut kedua tombaknya serta melepaskan tamengnya. Segera aku membuat botol berisikan alkohol dan kusiram ke bagian lengan yang terluka.

Kini aku mulai sedikit emosi atas tindakan mereka. Aku membuat senjata yang sama seperti mereka di tangan kananku. Tetapi saat menyerangnya, aku tidak melempar tombaknya, melainkan menyongkel perisainya dari tanah. “Zack, coba awas dulu. Mau kucoba congkel tamengnya.”

Aku menancapkan tombakku di tanah tepat di bawah tameng untuk mencongkelnya. Saat tombakku kuangkat sedikit, tamengnya ikut terangkat. Ternyata mengandalkan keadaan sekitar lebih baik daripada menghadapi secara langsung. Kuangkat tombakku sedikit lebih tinggi lagi hingga kaki musuh terlihat oleh kami. Seketika Zack ikut mengangkat tamengnya menggunakan sebilah sabit besar. Padahal sebelumnya aku belum pernah membuatkannya sabit. Oh, itu sabit yang diberikan oleh arwah makam sebelumnya.

Zack terus mengangkatnya hingga tamengnya berada di atas kepala. Dengan cepat dia memutar pegangan sabitnya dan mengayunkannya tepat di arah perisai yang bagiannya penyok yang sedari tadi dipukul bertubi-tubi oleh Zack. Sabitnya berhasil menembus pertahanan utama mereka dan menusuk kepalanya.

Zack tiba-tiba merebut tombak yang ada di tanganku. Dia membiarkan sabitnya menancap di tameng. Dengan sigap dia mengambil ancang-ancang dan segera menusuk dada monster yang ada di hadapannya sampai akhirnya monsternya mati.

Menganggap pertahanan mereka sudah tidak ada, dua orang dari mereka maju ke depan sembari masing-masing dari mereka menghunuskan sebilah pedang ke arah Zack. Dengan sigap aku menarik bajunya untuk menghindari serangan dari musuh.

“Makasih.” Ucapnya. Kemudian dia mengambil tamengku yang tergeletak di tanah. Saat dia mengeraskan tamengnya, kulihat lubang yang tadi terbuat kemudian menyatu seketika ,tetapi masih meninggalkan bekas kerusakannya.

“Gak sakit apa, itu masih ada yang runcingnya?” tanyaku.

Zack hanya melirik pada tamengnya dan tidak menghiraukanku. Dia langsung maju kembali ke depan menghadapi kedua monster di hadapannya. Kedua monster itu kembali menghunuskan pedangnya ke arah Zack, dan Zack menangkis kedua pedang itu dengan tameng di tangannya. Ajaibnya, tameng itu tidak tertembus meskipun tadi saat aku memakainya tameng itu sangat rapuh.

Zack mulai menyerang mereka satu persatu. Knuckle yang sedari tadi digunakannya masih dipakai olehnya. Dia memberikan awahan pada tangan kirinya untuk memukul monster yang ada di sebelah kiri. Tangan kanannya mendorong dan menangkis kedua pedang di hadapannya mengarah ke atas lalu memperdekat jarak mereka. Saat terasa cukup dekat, Zack mulai melayangkan pukulan turbo ke arah wajah dari monster yang di sebelah kiri. Setelah membuat berdarah wajah si monster, dia mengganti targetnya ke yang sebelahnya. Karena sulit untuk memukul yang di sebelah kanan menggunakan tangan kiri, dia mengganti pukulannya menggunakan tangan kanannya. Kali ini dia mengarahkan pukulannya ke arah samping sehingga yang terkena pukulannya ialah di bagian pipi. Sekarang bukanlah kelingnya yang menyentuhnya melainkan ujung dari tameng hexagon yang menusuknya.

Setelah merasa cukup aman, Zack mengambil kembali sabit yang menancap di perisai musuh. Dia berhasil mendapatkan sabitnya kembali. Tetapi setelah itu, kami melihat dua monster lainnya lari keluar dari gua ini. Aku berpikir mereka hanya ketakutan setelah melihat semua yang terjadi.

Zack lamgsung ambruk dilanjutkan dengan duduk menyandar ke tembok karena kelelahan. “Sip. Udah beres kan? Capek gini gerakin tangan terus. Udah mah ditinggal kabur, ga bantuin tawuran pula. Cewek sialan.”

Aku tersenyum setelah mendengarnya lalu ikut duduk di sampingnya. “Orang egois emang gitu sifatnya. Jadi wajar aja kalo dia ga peduli sama kita mah.”

“Ah, udahlah. Aku pengen tidur aja dulu. Den, minta bantal dong.”

Aku menurutinya dan segera membuat sebuah bantal. Namun saat membuatnya, hanya tercipta percikan berwarna biru di tanganku. Aku tertawa ragu untuk hal ini. “Eheheh. Kalo bikin bantal gimana ya?”

“Lah? Bukannya kau bisa nyiptain semua benda?”

“Bisa sih bisa. Cuman kalau bendanya gatau komponen pembuatannya apa aja, aku cuman bisa bikin pake mana. Nah, masalahnya manaku sekarang abis.”

“Duh aku juga gatau. Di film kartun biasanya pake bulu ayam, tapi masa bulu ayam bisa bikin bantal ngembang. Kalo gitu bagi kayu aja yang kotak.

“Yaudah nih. Lebih bagus dari bantal ini mah.” Kuberikan sebongkah kayu yang menyerupai bentuk bantal.

Zack menerimanya kemudian bersiap untuk tidur. Selang beberapa detik, ia langsung terlelap dalam tidurnya. Memang jika saat kelelahan, orang untuk tidur sangatlah mudah.

Sebelum ikut berisitrahat, aku memastikan terlebih dahulu kedua monster ini agar sudah mati. Maka dari itu, aku mengambil sabitnya Zack untuk menebas kepala mereka.

...~Π~...

Lima menit kemudian....

Aku membangunkan Zack dengan menepak-nepak pipinya. “Zack, Zack. Bangun, oi! Kita udah kelamaan disini. Takutnya ada yang dateng lagi.”

Zack dengan muka yang masih ngantuknya kaget dan langsung bangun. “Hah? Apa? Udah berapa lama aku tidur?”

“Lima jam.” Kataku.

“Asli?!.” Zack mulai panik.

“Asli, ga boong. Lima jam kurang 295 menit.”

Seketika ekspresi Zack menjadi datar lalu berdiri mengikuti posisiku. “Tuman!” dia menampar pipiku dengan muka datarnya.

...~Π~...

Kami kemudian keluar dari gua dan bergegas menuju portal tempat kami masuk. Kami berniat keluar karena kurasa kami telah melakukan misi kami. Yaitu menyelamatkan korban penculikan–atau pencurian?. Sudahlah itu tidak penting.

Kami berjalan menyusuri jalan yang sama seperti saat kami kemari hingga akhirnya kami sampai di tempat awal kami masuk. Tetapi terdapat masalah saat kami sampai di sini. Portalnya terikat oleh untaian rantai seperti yang sebelumnya kutemui. Mungkin aku harus mengatasi inti dari dunia ini sebelum diperbolehkan kabur.

Aku mendengar suara hentakan kaki yang sangat banyak di belakang. Saat aku menoleh ke belakang, terlihat pasukan iblis banteng sedang mendekatiku. “Ish, ish. Jadi yang tadi kabur tuh buat lapor ke komandannya, ya. Gimana nih, Zack?”

“Mau gimana lagi? Udah mah ga bisa keluar. Di depan banyak yang nyerbu.”

“Yaudah kita pake rencana dadakan aja.”

“Rencana apa pula.”

“Bentar aku ngecek dulu natergyku.” Aku mengecek natergyku berniat untuk mengkonversikannya menjadi mana. ‘Life Check.’ Kulihat sisa natergy yang ada di tubuhku hanya terpakai habis di bagian helm. Ukuran natergyku menyerupai bentuk zirah. Jadi jika habis di bagian kepala, maka kusebut helm.

Kulakukan pengecekan terhadap manaku juga, ‘Magic Check.’ Tangan kiriku mengeluarkan seberkas cahaya biru yang sangat sedikit. Lalu kuhadapkan dengan tangan kananku dengan posisi telapak tangan kiri di atas menghadap telapak tangan kanan. Kusalurkan natergy untuk dikonversikan menjadi mana. Seluruh natergy dari kaki sampai badanku hilang seketika menyisakan yang ada di tangan. Hal ini membuat membuat bola manaku membesar, mungkin seukuran dua kali dari bola sepak.

“Lah, lah! Kok bisa gitu?” Zack terheran-heran melihatnya.

“Inilah yang namanya sulap.” Gurauku. “Berhubung fisikmu lebih kuat daripada aku, jadi kau yang maju ya. Nih kubuatin zirah dari titanium, atau mau kubuatin robot aja yang gede? Biar gampang injek-injek mereka.”

“Bentar, bentar. Kalau aku maju sendirian, terus kau mau ngapain?”

Aku menyeringai setelah mendengar pertanyaan Zack. Aku langsung buru-buru membangun sebuah robot di atas pijakan Zack dengan menapakkan telapak tanganku di atas tanah. Perlahan-lahan hologram yang berada di bawah kakinya mulai mengangkatnya hingga membangun sebuah robot dan dia berada di ruang kendalinya. Bentar, bentar. Kok robotnya mirip kaya Gundam ya? Terus itu pedangnya di punggungnya ga kepanjangan, apa?

Aku berteriak dari bawah kepada Zack, “Semangat tempurnya. Aku adios dulu mau ngumpet sekalian istirahat.”

Zack membalas, “Astaga, Den! Ini gimana cara ngendaliinnya?!”

“Pake insting aja. Lagian mesinnya kaya pake alat VR, kok. Tinggal gerak nanti robotnya ikutan gerak.”

“Yaudah. Nanti aku balik lagi jangan marah kalo keinjek.”

“Iya!”

Setelah itu aku pergi ke bagian belakang portal lalu membuat sebuah tikar dari bambu untukku istirahat. Tak lupa bantal yang terbuat dari anyaman rotan. Disitulah aku menskip waktuku–dengan kata lain aku tidur.

...~Π~...

Di saat aku membuka mataku, hal yang pertama kali kulihat adalah.... Eh bentar, kok langitnya putih?! Ini bukan artinya aku udah mati kan? Aku kaget karena tadi langitnya berawarna merah, sekarang malah bewarna putih. Aku menduga aku sudah mati saat ini. Eh, tapi kalo mati kan harusnya aku ada di alam akhirat dan yakin langitnya ga bakalan warna putih.

Saat menengok ke arah kiri, aku melihat Zack dengan wajah yang sedang melototiku. “Uwwaaaaaa!!!” aku berteriak kaget karena tadi sedang membayangkan aku berada di akhirat. Kukira Zack adalah malaikat maut yang sedang menanyakan perbuatanku selama di dunia.

“Bwahahahaha.” Zack tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku. Dia menertawaiku seakan-akan ini adalah hal yang lucu baginya. “Duh, ga kuat liat responmu kaya gitu.” Dia mengusap air matanya yang keluar akibat tertawa.

Dengan napasku yang masih terengah-engah, aku bangun lalu duduk. “Jago aja ni anak ngagetin orang lain.” Aku menengok ke arah Zack, “Ngomong-ngomong, mana Salsa?”

Zack menunjuk ke arah rumah dari sang pengembala kambing yang tadi kami lihat, “Tuh.”

Aku melihat dari kejauhan Salsa sedang membungkuk-bungkukkan badan seraya sedang meminta maaf pada pemilik rumah.

Dia selesai dengan percakapannya dan mulai menuju kemari. Mukanya terlihat biasa saja seolah-olah tidak melakukan kesalahan satupun.

“Abis ngapain disana?” tanyaku.

“Aku tadi mengobrol dengan pemilik domba, dan dia menyangka kitalah yang menculik domba-dombanya. Aku pun membenarkan perkataannya karena tidak ingin melibatkan warga biasa berhubungan dengan masalah kita. Tetapi aku berkata bahwa kita sedang simulasi menggembala domba. Oleh karena itu aku meminta maaf padanya.”

“Ooohhh.” Ucapku dan Zack.

“Kalau begitu, ayo cepat kembali ke sekolah dan melaporkannya pada Pak Aryo.” Ucap Salsa.

Aku kemudian bangkit dari dudukku dan disusul oleh Zack. Kami bergegas kembali ke sekolah untuk melaporkan hal yang terjadi pada Pak Aryo. Kali ini aku tidak mengeluarkan becak lagi karena tahu rasanya mengayuh becak itu lumayan berat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!