Sinar matahari pagi yang mulai meninggi menerobos melewati celah tirai jendela yang sedikit tersingkap.
Tian baru saja mengerjapkan matanya dengan rasa malas. Ia menggeliat, menarik tubuhnya berkali-kali sebelum mendudukkan diri dipinggir ranjang. Mencoba mengumpulkan helai demi helai kesadarannya.
Sofa panjang dihadapannya terlihat kosong. Sosok Arini yang semalam berada di sana sudah tidak nampak. Bahkan saat Tian mengedarkan pandangannya kesana kemari sosok Arini tetap tidak ia temukan di setiap penjuru kamar.
‘Kemana perginya wanita keras kepala itu? Apa setelah perdebatan mereka semalam dia mekad melarikan diri?'
Dalam hati Tian menerka-nerka seraya mengusap tengkuknya berkali-kali.
Kepalanya menggeleng kuat-kuat.
‘Asshh ... Bodo amat!’
Desisnya tak peduli sambil beranjak masuk kedalam kamar mandi.
Mengingat sudah seberapa banyak pekerjaannya yang terbengkalai sia-sia selama dua hari, Tian pun memutuskan untuk langsung mandi dan meniadakan rutinitas olahraganya di pagi hari yang seperti biasa ia lakukan.
Setelah beberapa saat ia keluar dari kamar mandi, langsung menuju lemari, dan mengambil beberapa helai pakaian dari dalam sana.
Tian memang harus segera ke kantor karena urusan beberapa pekerjaan yang melibatkan mega proyek yang hampir mendekati deadline.
Selesai berpakaian lengkap ia pun bersiap untuk keluar kamar.
Begitu pintu kamar terbuka langsung tercium aroma lezat yang sangat menggoda indera penciuman Tian, membuat perutnya yang kosong tiba-tiba meronta.
Sebenarnya Tian bukanlah tipe orang yang sering sarapan.
Jadwal kesibukannya yang padat membuatnya sering melewatkan waktu sarapannya, apalagi jika ia sedang berada di apartemen.
Berbeda halnya kalau berada dirumahnya, Tian memiliki bik sumi dan pak udin yang tentunya dengan siaga akan memenuhi dan menyediakan semua kebutuhan Tian.
Pasangan suami istri paruh baya itu memang sudah sejak lama menjadi orang kepercayaan di keluarga Djenar sehingga Tian mempercayakan keduanya untuk merawat rumah megah yang sering terabaikan, karena sejauh ini Tian lebih suka pulang ke apartemen yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor pusat demi memudahkan segala aktifitas pekerjaannya.
Melangkahkan kaki kearah dapur membuat aroma khas masakan itu semakin tajam menggelitik hidung.
Disana, sosok gadis yang semalaman tidur di sofa sambil memunggunginya terlihat sibuk di dapur apartemennya yang biasanya dingin dan senyap.
Menyadari kehadiran Tian, Arini yang sedang memegang spatula itu sedikit terkejut.
“Egh, Pak Tian ...” desisnya gugup sambil mengusap dada.
“Ngapain kamu? Pagi-pagi sudah ribut begini ...”
“Maaf, Pak." Arini tertunduk jengah.
Tian mengeluarkan dompet dari saku celana, kemudian mengambil dua buah kartu yang sudah disiapkan Rudi sebelumnya yang tentu saja semua itu sesuai dengan instruksi Tian.
“Ini, ambillah." ujar Tian, dingin.
“Apa itu, Pak?”
“Ambil dulu.” sambil kembali mengacungkan dua buah kartu tersebut kearah Arini.
Ragu Arini mendekat dan menerimanya.
Ternyata itu adalah sebuah kartu atm, satunya lagi sepertinya credit card yang dua-duanya berlogo platinum.
“Pakai kartu itu untuk semua kebutuhan kamu sehari-hari.”
“Tapi Pak..”
“Jangan protes.” kalimat dingin itu cukup membuat Arini sontak membisu. “Semua password, termasuk password pintu depan
apartemen semuanya sudah saya ganti menjadi tanggal pernikahan kita.”
Arini menatap Tian lekat. Entah kenapa hatinya berdesir dan menghangat mendengar kalimat barusan, karena meskipun ia bisa merasakan penolakan Tian terhadap dirinya, tapi Tian masih bisa menyiapkan semua itu untuknya, bahkan telah memikirkan untuk mengganti password pintu digital apartemen dengan tanggal pernikahan mereka.
‘Astaga.. ternyata lelaki ini punya sisi yang manis juga..’
Arini tidak bisa mencegah perasaannya yang berbunga-bunga mendapati sedikit perhatian Tian. Ia bahkan langsung lupa bagaimana semalam dirinya tertidur sambil menahan tangis akibat perkataan kejam lelaki itu padanya.
Meskipun Arini tau bahwa Tian melakukannya semata-mata hanya agar memudahkan dirinya untuk mengingat sederet angka password yang ada tapi tetap saja Arini tidak bisa mencegah hatinya untuk tersentuh dan berdebar samar.
“Jangan ge-er kamu. Semua itu saya lakukan supaya kamu gampang mengingatnya.” tukas Tian lagi seolah mengerti dengan pancaran ekspresi terpukau yang tercetak jelas pada wajah polos dihadapannya.
Wajah Arini sontak memerah. Ia merasa malu saat menyadari Tian bisa membaca jalan pikirannya yang memang agak sedikit kebaperan.
“Terima kasih, Pak Tian..” ucapnya lirih sambil kembali menunduk.
“Hmm,”
“Pak Tian..”
“Kenapa lagi?”
“Saya.. saya belum tau makanan apa yang Pak Tian sukai saat sarapan, jadi saya memutuskan untuk membuat beberapa. Ini ada nasi goreng, dan ini..”
“Saya tidak biasa sarapan.” Tian berucap dingin, memotong kalimat Arini yang belum selesai.
Arini terhenyak dan kalimat dingin itu, tapi lagi-lagi ia berusaha menguasai dirinya.
“Oohh..”
Senyumnya nyaris tenggelam karena nyalinya yang kembali menciut oleh sepasang mata elang dihadapannya, tapi ia bersikeras menguatkan hati.
“K-kalau begitu.. ini saya buatkan kopi. Pak Tian suka minum kopi kan? saya beberapa kali melihat Pak Rudi membawakan kopi untuk Pak Tian.”
Tian menatap wajah mungil yang tetap tersenyum dihadapannya. Mereka-reka.
Seolah pantang menyerah, Arini tetap mempertahankan senyum dibibirnya meski jantungnya sendiri terasa seperti sudah ingin berpindah tempat saking begitu kuat debarannya.
Tian beranjak begitu saja, tanpa peduli pada pertanyaan Arini, apalagi pada senyum manis itu.
Tapi Arini yang sejak semalam sudah bertekad untuk berusaha mencairkan hati yang sedingin salju dikutub utara itu tentu saja tidak ingin menyerah begitu saja.
“Pak Tian mau pergi kemana sepagi ini..?” sambil meneliti penampilan Tian yang sudah rapi.
“Tentu saja saya mau ke kantor. Kamu sendiri kenapa tidak bersiap ke kantor..?”
“Hari ini saya masih cuti, Pak..”
Tian hanya mengangkat alisnya sedikit, bersiap pergi lagi tapi suara itu telanjur menahannya.
“Pak Tian..”
Berbalik, “Ada apa ?”
“Apakah saya masih diijinkan bekerja ? maksud saya.. setelah cuti saya ini berakhir..”
“Terserah kamu.” Dingin. Bersiap beranjak lagi tapi lagi-lagi urung.
“Pak Tian..”
“Apa lagi sih?!” menatap kesal.
“Sebentar saya akan menyiapkan makan siang. Apa ada sesuatu yang ingin Pak Tian makan..?”
Tatapan itu tetap bersinar lembut. Tian sempat terpaku sejenak menatapnya sebelum akhirnya kembali menghembuskan nafas berat. Ia menatap kedua bola mata Arini dalam-dalam, mencoba mereka-reka lagi apa yang sedang ingin dibuktikan wanita dihadapannya ini.
‘Apa sekarang dia sedang berusaha memainkan peran seorang istri yang sesungguhnya..?’
Tanpa sadar Tian tersenyum kecut, menggelengkan kepalanya lagi-lagi dengan ekspresi datar.
“Arini..” panggilnya datar.
“Iya, Pak..?”
“Mulai besok kamu tidak perlu membuat sarapan karena saya tidak biasa sarapan.”
“Tapi, Pak..”
“Jangan membantah.”
“Baik Pak..” nyaris kelu.
“Kamu juga tidak perlu menyiapkan makan siang,”
“Ha..? T-tapi.. Pak..”
Suara Arini menggantung begitu menangkap sepasang mata yang melotot dihadapannya. Tak ada pilihan lain bagi Arini selain menganguk lemah.
"Baiklah Pak..”.
“Dan makan malam atau apapun itu.”
Lanjut Tian lagi, terdengar semakin ‘kejam’ ditelinga Arini, tapi sepertinya lelaki itu belum ingin berhenti sampai disitu.
”Tidak perlu melakukan pekerjaan apapun untuk saya. Bahkan kopi ini..”
Sambil mengangkat gelas kopi yang masih mengepul dan menyesapnya seteguk. Hanya seteguk sebelum ia menaruhnya kembali ke atas meja. Wajahnya terlihat masam.
“Ini tidak enak.”
Kali ini bahkan lutut Arini ikut goyah mendengar penilaian buruk itu.
“Kalau saya mau saya bisa membuatnya sendiri."
Sambil menggunakan dagunya menunjuk pongah pada mesin kopi yang ada disalah satu sudut dapur modernnya.
“Lagipula kamu sendiri-kan sudah tau kalau saya biasa ke café dekat kantor untuk sekedar minum kopi, atau saya juga bisa menyuruh Rudi untuk memesan kopi yang sesuai selera saya seperti yang biasanya kamu lihat. Intinya, kamu tidak perlu repot-repot mengurusi saya.”
Arini terhenyak menerima setiap kalimat yang meluncur lancar itu. Bibirnya semakin terasa kelu, tidak hanya itu.. hatinya pun ikut menjadi ngilu, tapi ia tetap menahannya.
“Saya lebih suka minum kopi yang biasa saya minum.” kalimat penutup yang begitu dingin. Tian berlalu begitu saja dari hadapan Arini yang hanya bisa menatap punggung kekar itu sampai hilang di balik tembok pembatas ruangan, dengan mulut yang masih terkatup.
.
.
.
Bersambung..
Bantu author meningkatkan performa dengan meninggalkan jejak like and comment yah. jangan lupa tekan juga icon favorite dan subscribe juga profil author..🤗
Lophyuu all...😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments
Dinda Kharisma
arini buat terkesan dulu tuh s es balok..habis itu cuekin..yakin bakal kelayakan sendiri
2022-09-04
2
sri hasan basri, S.Pd.
resiko menjalani hidup dg orang jaya yg pongah...harus tahan hati, buat tak peduli, dia2, aku2, kan beres.
2021-11-15
2
Eni Trisnawati Mmhe Winvan
hedeeeh nyeseeeeekkk bingit
2021-11-07
1