Bagi Tian dua hari terakhir ini dirinya seperti sedang berada di negeri antah berantah dan seperti sedang menjalani sebuah mimpi yang absurd.
Semua diawali dengan tiba di kota kecil Arini, tepatnya satu hari sebelum akad nikah.
Tian, Saraswati dan Rudi sesuai dengan keinginan Saraswati yang merupakan sang maestro, mereka menginap di sebuah hotel terbaik di kota itu yang tidak lain merupakan salah satu hotel cabang milik keluarga Djenar yang ada di ibu kota.
Keesokan paginya mereka bertiga langsung meluncur ke rumah Arini guna melangsungkan akad nikah.
Setelah prosesi yang teramat sangat sederhana itu selesai tak berapa lama ayah Arini langsung dijemput oleh tim medis dari Rumah Sakit terbaik di kota itu yang lagi-lagi pemilik saham terbesarnya tentu saja Keluarga Djenar, kemudian tak lama berselang mereka berempat kembali ke bandara dan pulang ke ibukota dengan menggunakan pesawat pribadi.
Sesampainya di ibukota mereka pun berpisah di bandara.
Rudi mengantarkan Saraswati untuk kembali kerumah, sedangkan Arini tentu saja bersama Tian, pulang ke salah satu unit apartemen Tian yang letaknya di pusat kota.
Saat penerbangan berlangsung kurang lebih satu jam dihabiskan Tian dengan tidur.
Merasa lelah, juga tidak memiliki keinginan untuk meladeni atau hanya sekedar berbincang dengan istri barunya yang duduk tepat disampingnya.
Tian tertidur sampai akhirnya ia terbangun saat merasakan bahunya diguncang lembut oleh seseorang.
Saat Tian mengerjap ia langsung mendapati wajah Arini disana.
“Bangun Pak Tian, kita sudah sampai.”
Tian tidak berucap, namun sepasang matanya langsung mengarah keluar jendela pesawat, baru tersadar sepenuhnya bahwa hari mulai gelap.
Benar saja. Burung besi itu bahkan nyaris berhenti sempurna. Rupanya tadi Tian benar-benar terlelap sehingga guncangan saat landing pun tidak terasa.
Tak berapa lama mereka beriringan keluar cabin pesawat tanpa obrolan berarti, mengikuti hempasan langkah khas yang tegas dan sedikit arogan milik Saraswati yang berjalan didepan bak seorang selayaknya nyonya besar.
“Tian, apakah kamu yakin kalian akan ke apartemen?” tanya Saraswati sebelum mereka berpisah.
“Iya, nek, aku kan sudah mengatakannya.”
Saraswati menatap Tian dengan pandangan protes. “Kenapa tidak bawa Arini tinggal di rumahmu saja sih?"
Tian membisu.
"Tian, jangan lupa bahwa sekarang Arini adalah istrimu yang sah,” bisik Saraswati lagi, pandangannya kini tertuju pada Arini yang berdiri tidak seberapa jauh dari mereka.
“Nanti saja, Nek, kan kemarin aku sudah bilang kalau ada beberapa bagian rumah yang di renovasi sedikit. Disana keadaannya masih berdebu dan berantakan, Nek..”
Tentu saja itu hanya alasan Tian belaka, karena sedari awal Tian memang tidak pernah berniat membawa Arini kerumahnya. Itu saja.
Saraswati yang menyadari Tian yang tetap bersikap keras kepala akhirnya memilih mengalah dulu dan tidak bertanya lagi. Ia juga tidak enak kalau perdebatannya dengan cucunya akan terdengar oleh Arini.
Kehadiran Rudi untuk menyampaikan berita bahwa Sudir dan Yono yang merupakan supir pribadi Saraswati sudah menunggu di lobby penjemputan, sedikit membantu Tian untuk meloloskan diri dari pembicaraannya dengan Saraswati.
Saraswati mendekati Arini, berbisik sesuatu ditelinga wanita itu entah apa, kemudian memeluk Arini lembut.
Arini membalas pelukan Saraswati sebelum melepas kepergian wanita tua itu.
Mobil yang dikemudikan Sudir melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota. Tian melirik sekilas Arini yang ada disampingnya yang sedari tadi sama seperti dirinya tak kunjung bicara. Wanita itu duduk merapat dekat jendela dengan pandangan yang mengarah penuh kearah jalan yang ada dibalik kaca.
“Sebaiknya kita makan malam dulu.” Tian berucap datar, membuat kepala Arini serentak menoleh padanya.
"Iya." Arini mengangguk saja, bingung harus menjawab apa karena sangat terlihat bahwa Tian seolah tidak benar-benar peduli dengan apapun tanggapannya, meskipun sudah nyata-nyata berbicara padanya.
Huhf, Tian bahkan bicara tanpa menatap sama sekali, bak sengaja mengirimkan aura permusuhan yang genderang perangnya sedang ditabuh oleh dirinya sendiri.
“Sudir, kita singgah di restoran biasa yang dekat apartemen saja.” ucap Tian lagi, dingin, masih tanpa melihat Arini yang akhirnya memilih mengalihkan pandangannya keluar lagi sambil menelan saliva karena merasa diabaikan begitu saja.
“Baik, Pak,” Sudir mengiyakan.
Hening lagi.
Selang kurang lebih dua puluh menit mereka sampai di restoran yang dimaksud, yang ternyata merupakan salah satu restoran mewah ternama di ibu kota.
Dalam hati Arini sedikit kecut saat tau makan malam mereka nanti pastilah menu-menu western yang sudah pasti tidak bersahabat dengan lidahnya yang kampungan.
Meskipun demikian, Arini sama sekali tidak memiliki keberanian untuk protes atas pilihan bos sekaligus suaminya itu.
Arini turun dari mobil, mengekori langkah Tian yang sudah lebih dulu turun dan berjalan begitu saja, masih dengan gayanya yang cool tanpa berkata apa-apa.
Dalam hati Arini merenggut mendapati perlakuan suaminya yang teramat dingin itu.
Sejauh ini Tian memang belum ada sekalipun benar-benar berniat mengajaknya bicara.
Apa mungkin dimata lelaki itu dirinya sejenis makhluk halus tak kasat mata yang tidak terlihat?
Cihh, memangnya harus sekesal itukah saat harus menerima kenyataan bahwa istrinya ternyata hanyalah seorang karyawan rendahan yang ada disalah satu kubikel kantornya?
Kalau seperti itu lalu kenapa juga ia setuju begitu saja untuk menikah?
Bukankah dia memiliki kekuasaan tak terhingga?
Harusnya dia bisa menolak kalau merasa sulit untuk bekerja sama dalam skenario pernikahan mereka ini ...!
Huhh ...!
Sejujurnya Arini juga merasa sangat kesal dengan semua perlakuan Tian yang belum apa-apa sudah semena-mena padanya, tapi Arini langsung menelan kekesalannya bulat-bulat setiap kali wajah ringkih ayahnya melintas dibenak.
Arini masih setia mengekori langkah lebar Tian, yang nyaris setiap orang yang berpapasan dengannya menunduk hormat, kemudian ganti menatap Arini dengan tatapan aneh bin penasaran.
‘Memangnya apa yang salah denganku? Kenapa semua orang menatapku seolah ingin menelanjangi diriku dengan tatapan-tatapan tajam mereka ...? Memangnya aku se-aneh apa sehingga tidak boleh berjalan dibelakang Ceo tampan yang super duper angkuh seperti Pak Tian ...?'
Arini membatin keheranan, namun kakinya tetap melangkah ...
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments
Dinda Kharisma
mau tanya thor..arini ma tiang nikah suri kah atau resmi negara dn agama..walau pernikahan nya sederhana ..
kasian arini nya kalau cuma nikah siri
2022-09-04
1
sri hasan basri, S.Pd.
minim percakapan, maaf ...kesannya kayak baca diary, tpi bahasanya mudah dimengerti.
2021-11-15
2
Eni Trisnawati Mmhe Winvan
author banyak cerita nya
2021-11-07
1