“S-saya ... Saya tidur di sofa saja ...” dengan gugup Arini mundur kebelakang.
“Sofa?” ulang Tian menautkan dua alisnya.
“I-iya, Pak Tian, s-saya tidur di sofa saja ...”
“Ck ... Ck ... Ck ... Belum dua puluh empat jam jadi istri saya, kamu sudah berani memutuskan sesuatu secara sepihak begini. Luar biasa ...”
Arini membisu seraya menautkan kedua tangannya yang lembab dan berkeringat dingin.
Ingin rasanya ia protes bahwa dirinya tidak bermaksud seperti itu, melainkan Tian yang membuat situasinya menjadi berbeda, seolah-olah saat ini justru dirinya yang menolak lelaki itu.
“Kamu membuat saya terkesan ..." desis Tian lagi dengan nada menyindir seraya menatap Arini yang masih membisu. "Karena nenek selalu bilang bahwa kamu adalah wanita penurut. Tapi kenapa yang terlihat saat ini justru sebaliknya ya? Menurutku sih kamu justru tipe wanita yang keras kepala, padahal sikapmu di kantor cukup polos. Tak disangka sifat aslimu justru tidak mudah dikendalikan ...” ucap Tian enteng, masih dengan posisi menyamping sambil menopang kepala dengan sebelah tangan, menghadap penuh kearah Arini.
Arini tidak menyangka jika ia telah meninggalkan kesan pertama yang buruk dimata Tian.
Tapi bukankah sejak awal justru dirinya yang selalu berusaha mencoba mengacuhkan semua sikap Tian yang tidak bersahabat dan seolah menganggapnya seorang musuh?
“Baiklah, kalau sikapmu seperti ini maka dengarkan aku baik-baik ...”
Nada kalimat yang bernada mencemooh itu terdengat semakin berat dan serius.
“Kamu tidak perlu merasa takut, karena sekalipun saya bukan tipe pria yang akan menolak wanita untuk naik keranjang saya, tapi saya juga bukan tipe lelaki pemaksa ..."
Tian diam sejenak, seraya menatap lekat wajah pucat Arini yang berdiri kaku didepan sofa dengan ekspresi wajah yang terlihat berusaha mencerna setiap perkataannya.
“Apakah kamu butuh waktu untuk berdamai dengan harga diri kamu dulu?”
Pertanyaan remeh itu membuat Arini terhenyak.
Ia menatap Tian lekat, namun yang didapati Arini hanyalah senyum mengejek yang kembali menghiasi wajah Tian.
“Fine, ambilah waktumu untuk berpikir. Kelak saat kamu merasa siap berdamai dengan harga diri dan keegoisanmu malam ini, saya harap kamu tidak akan sungkan untuk naik ke ranjang ini ..."
Seolah tak bisa mempercayai pendengarannya sendiri, Arini hanya bisa menatap Tian dalam diam, namun Tian terlihat acuh, padahal wajah Arini telah berubah pucat pasi usai menerima kalimatnya yang kejam.
“Heh, ada apa dengan wajahmu itu?”
“S-saya ... Maafkan saya Pak, tapi s-saya sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaan Pak Tian. Sungguh ..."
“Nevermind ...”
Arini menelan ludahnya.
“Sebaiknya renungkan saja apa kesalahanmu malam ini.”
‘Kesalahan? Kesalahan apa?'
Arini membahin.
“Pak Tian, maafkan saya. Tapi apa tidak sebaiknya kita bisa saling mengenal secara perlahan terlebih dulu agar ...”
"Halah ..."
Kalimat Arini terpotong begitu saja saat Tian mengibaskan tangannya.
“Itu tidak perlu,”
“Tapi, Pak Tian ...”
“Memangnya untuk apa semua itu?” Tian menatap Arini sambil menyeringai. “Kamu itu sama sekali bukan tipe saya. Jadi tidak perlu repot-repot menjalani proses konyol yang muluk-muluk seperti itu ..."
Arini tidak menyadari bahwa ekspresi wajahnya yang terhenyak berkali-kali setiap menerima ucapan jahat Tian yang mengoyak harga dirinya itu merupakan hiburan tersendiri bagi Tian.
Semuanya terasa sangat menyenangkan, terlebih saat Tian memikirkan dengan remeh sejauh mana Arini bisa bertahan dengan sikap yang sok jual mahal dihadapannya.
Akh, seorang wanita ...
Mana ada bedanya mereka ...?
Pada kenyataannya semua wanita sama saja!
Mudah untuk ditaklukkan, asalkan kamu punya uang!
Tian merasa dirinya hanya butuh sedikit kesabaran jika ingin menang telak, meskipun itu akan berarti bahwa dia juga harus menerima konsekwensinya.
Beruntung saat ini meskipun berada dalam satu kamar bersama seorang wanita namun baru kali Tian tidak berniat untuk melakukan apa-apa.
Kendatipun juniornya sempat terusik oleh aroma unik milik Arini yang berseliweran di udara yang sama dengannya, tapi Tian masih mampu mengendalikan diri dan mengontrol deru nafsunya sendiri.
Untuk gadis kampungan ini Tian lebih memilih untuk bermain-main terlebih dahulu sebelum memikirkan lebih lanjut bagaimana caranya mendepak ‘hukuman’ Saraswati untuk hidupnya yang berharga ini.
Arini masih terdiam, tidak membalas Tian sama sekali padahal baru saja dirinya dijadikan bulan-bulanan lelucon kejam yang berasal dari mulut suaminya, tepat di malam pertama mereka.
Sementara Tian malah berpikir karena Arini diam saja, mungkin wanita itu terlalu lelah untuk berdebat dengannya, atau bisa saja ia segan karena Tian adalah bos ditempatnya mengais rupiah selama tiga bulan terakhir ini.
“Apa yang kamu lihat? Apa jangan-jangan kamu sudah berubah pikiran?"
"Apa ...?"
"Kemarilah kalau kamu benar-benar sudah tidak sabar tidur di ranjang ini bersamaku ...” Tian berucap asal-asalan, dengan santai tangannya menepuk-nepuk bagian ranjang yang ada disamping tubuhnya.
Arini menatap wajah Tian lamat-lamat sembari mundur dua langkah.
“Tidak ...” tolak Arini tegas, kemudian dengan nekad ia berbalik menuju sofa.
Tian tergelak menyadari wajah Arini yang merah padam, entah kenapa ia merasa begitu senang bisa mempermainkan Arini seperti itu.
Tian bangkit dari tidurnya menuju lemari pakaian, tangannya menyambar celana pendek dan kaos yang ada ditumpukan paling atas.
Melihat Tian yang cuek saja melempar handuknya sembarangan keatas kursi yang ada di pojok, membuat Arini buru-buru memutar tubuhnya lagi, demi membelakangi pemandangan horor tersebut sambil dalam hati spontan mengumpat.
'Benar-benar pria tak tau malu ...!'
Tian memakai pakaiannya dengan santai kemudian kembali keranjang besarnya. Melemparkan tubuh lelahnya begitu saja diatas ranjang empuk miliknya yang berukuran super besar.
Arini menghela napas menyaksikan sikap pongah dan semena-mena yang ditunjukkan suaminya itu, sebelum akhirnya menaruh tubuhnya sendiri diatas sofa panjang. Bersiap untuk menghempaskan tubuh seutuhnya yang juga begitu lelah ke atas sofa, manakala suara Tian kembali menyapa gendang telinganya.
“Jadi begini rasanya malam pertama jika menikahi wanita yang keras kepala ...”
“Pak Tian, sudah saya katakan sejak awal bahwa saya tidak bermaksud begitu.” sergah Arini sambil berbalik kembali menatap Tian.
“Aku lebih percaya apa yang aku lihat, daripada yang aku dengar." terkesan sarkas.
Kali ini Arini tidak lagi berusaha membantahnya, namun Tian bisa memastikan pemandangan sepasang bola mata yang sedikit berkaca dibawah temaramnya lampu kamar, sebelum Arini menjatuhkan tubuhnya perlahan di sofa dan memunggunginya.
Meskipun hati Tian sedikit terusik oleh pemandangan itu, toh akhirnya keegoisannyalah yang menang.
XXXXX
Sementara itu ...
Arini yang berusaha memejamkan kedua matanya sekuat tenaga tidak bisa lagi mencegah rasa sesak yang menghimpit ketat didalam dada.
Bulir bening pun melesak tanpa tercegah, melewati dua pipinya yang halus.
Pria itu ...
Sebastian Putra Djenar ...
Ceo di tempatnya bekerja ...
Suaminya ...
Yah, pria itu ...
Adalah pria terkasar, terbreng sek, dan terjahat yang pernah ia temui seumur hidupnya ...!
Arini mengutuk dalam hati. Air matanya mengalir lagi dalam hening ...
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments
Rosdiana Niken
sabar Arini nanti author bikin bucin tuh si Tian
2022-05-30
2
Lili
tian mulutnya pedes kyk seblak level 10 .. arini ayoo tampol mulut tian pake ciuman 😅😅
2022-05-29
2
Marlida Yusuf
kenapa jadi seperti cerita aja
2022-01-25
1